Mohon tunggu...
Panji Haryadi
Panji Haryadi Mohon Tunggu... Penulis -

Gemar menulis mengenai sejarah dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Zionisme (Bagian 3): Deklarasi Balfour, Pintu Masuk ke Palestina

16 Desember 2017   20:30 Diperbarui: 16 Desember 2017   22:28 4721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arthur Balfour (tengah) pada tahun 1925. Dia adalah orang pertama yang menyetujui gagasan bahwa orang-orang Yahudi lebih dari sekedar komunitas religius. Photo: Universal History Archive / Getty

"Dengan Deklarasi Balfour di tangan, kemenangan besar Zionisme telah diraih dan itu menjadi pintu pembuka bagi gerakan-gerakan selanjutnya."

Artikel sebelumnya di Kompasiana: Memahami Zionisme (Bagian 2): Tanah yang Dijanjikan

Pada artikel sebelumnya kita telah membahas alasan Yahudi Eropa yang telah mewujud dalam sebuah gerakan bernama Zionisme yang mengklaim tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan di dalam Alkitab. 

Untuk memudahkan pembaca mengenai runutan peristiwa konflik Israel-Palestina, kita akan membagi runutan tersebut dalam fase-fase. Fase-fase itu adalah pra-zionisme, zionisme, Negara Israel, Fase Penaklukkan seluruh daerah historis Palestina, dan Fase Intifadah.[1]

Fase pertama adalah pra-zionis, yaitu fase di mana Yahudi Eropa mengalami penindasan dan marginalisasi di seluruh daratan Eropa. Fase tersebut sudah kita bahas pada artikel bagian pertama. Fase keduaadalah zionisme, yakni ketika Yahudi Eropa sudah menemukan tujuan untuk mencari tempat baru dan mencari pembenaran biblikalnya. 

Untuk mewujudkan rencananya ini, Yahudi Eropa mulai mengorganisir diri, mendirikan organisasi-organisasi pendukung, dan sambil terus melakukan migrasi ke tempat yang dituju, mereka juga mendekati kekuatan besar di kawasan. Selain itu mereka juga mencari landasan hukum sebagai dasar legitimasi pergerakannya.

Fase ketiga, berdirinya Negara Israel, yaitu fase di mana Zionisme mewujud dalam suatu bentuk negara dengan memanfaatkan momentum bangkitnya negara-negara jajahan di dunia setelah Perang Dunia II. Fase keempat, yaitu fase di mana Israel menaklukkan seluruh daerah historis Palestina. Fase kelima,yaitu fase intifadah, yaitu gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel yang berlangsung sampai dengan hari ini.

Sebagian dari fase kedua kita sudah membahasnya pada artikel bagian kedua. Artikel kali ini masih melanjutkan apa saja yang terjadi pada fase kedua.

 

Kongres Zionis Pertama

Adalah Theodor Herzl, seorang jurnalis Austria, orang yang paling berpengaruh di balik diadakannya Kongres Zionis Pertama pada tahun 1897. Kongres ini merupakan cikal bakal berdirinya organisasi zionis dunia. Kongres ini awalnya direncanakan akan berlangsung di Munich dengan pesertanya adalah komunitas Yahudi Jerman, baik yang sudah kaya maupun yang masih dalam kondisi miskin. 

Namun kongres ini harus dipindahkan ke Basel, Swiss, karena mendapat pertentangan dari Yahudi sekuler yang tidak menyetujui ide-ide Zionis. Ada dua target utama di dalam kongres tersebut, yaitu mendirikan sebuah organisasi yang tangguh, dan mengesahkan Basel Plan (Rencana Basel).[2]

Organisasi Zionis (pada tahun 1960 namanya berubah menjadi Organisasi Zionis Dunia) didirikan untuk melaksanakan mandat politik yang konkrit, yaitu sebagai badan koordinasi dalam misi melobi negara-negara Eropa agar menyetujui berdirinya negara baru Yahudi.

Organisasi ini memiliki cabang eksekutif internal dan kemampuan penggalangan dana tersendiri. Koordinasi dilakukan dalam pertemuan tahunan (kemudian dua tahunan dan kemudian empat tahunan) untuk menetapkan kebijakan.[3]

Pencapaian signifikan kedua dari Kongres Zionis pertama adalah pengesahan Basel Plan, sebuah rencana yang dirancang oleh Max Nordau, salah seorang teman dekat Herzl. Basel Plan menyatakan "tujuan Zionisme adalah membangun pemukiman bagi orang-orang Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang."[4]

Di akhir konferensi, Herzl menulis dalam buku hariannya "Apabila saya harus meringkas Kongres Basel dalam sebuah kalimat---tentunya yang saya jaga agar tidak diketahui umum---bunyinya akan begini: di Basel, saya mendirikan Negara Yahudi. Jika saya mengatakannya dengan lantang hari ini, saya akan ditertawakan semua orang. Mungkin dalam 5 tahun, atau pastinya 50 tahun, semua orang akan mengetahuinya."[5]

 

Deklarasi Balfour

Herzl kemudian melanjutkan pekerjaan lobinya, dia berbicara kepada pemimpin Ottoman (Ustmaniyah) yang meragukan kelompok Yahudi di Palestina. Dia berusaha meyakinkan bahwa nantinya Yahudi akan tetap menghormati kedaulatan Ottoman di kawasan. Dia berusaha untuk memberi tekanan kepada Ottoman melalui pengaruh Jerman dan Rusia. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya kepada Inggris. 

Pada saat itu Inggris masih bersahabat dengan Kekaisaran Ottoman, karena Inggris berkepentingan agar rute aktivitas kerajaan mereka terjamin keamanannya ketika melintasi daerah kekuasaan Ottoman. Sebagaimana kita ketahui, pusat kerajaan Inggris di Selatan pada waktu itu berada di India.[6]

Herzl kemudian meninggal pada tahun 1904. Chaim Weizmann (yang di kemudian hari menjadi Presiden pertama Israel) menggantikan Herzl dan mengambil alih perundingannya dengan Inggris. Pada tahun 1917, Organisasi Zionis mendapatkan kemenangan terbesarnya saat Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan bahwa "Pemerintahan Kerajaan Inggris mendukung usaha pembangunan 'sebuah pemukiman nasional Yahudi' di Palestina, dan akan menggunakan usaha terbaik untuk memfasilitasi pencapaian objek ini, dan harus dipahami dengan jelas bahwa tidak ada yang boleh dirugikan terkait hak sipil dan beragama dari komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak dan status politik yang dinikmati Yahudi di negara lain."[7]

Deklarasi tersebut bukanlah deklarasi aslinya, dia telah mengalami beberapa editan dari Herbert Samuel, seorang anggota kabinet senior Inggris. Kata-kata yang diubah oleh Samuel adalah 'pemukiman nasional Yahudi' menjadi 'sebuah pemukiman nasional Yahudi'. 

Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terusirnya orang-orang Yahudi di negara lain. Dengan menambah kata 'sebuah', maka itu mengindikasikan hanya salah satu pemukiman Yahudi saja, bukan untuk seluruh Yahudi di dunia.[8]

Kemudian kata lainnya yang diubah adalah 'Negara Yahudi' menjadi 'Pemukiman Nasional Yahudi'. Hal tersebut dilakukan karena Inggris menginginkan Yahudi terikat dengan Inggris dengan hubungan jangka panjang, sebab apabila Inggris memberikan 'semuanya' di awal bisa jadi hubungan keterikatannya akan memudar. 

Selain itu, di tengah hiruk pikuk Perang Dunia I (PD I), Inggris masih meraba-raba kemungkinan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, maka yang paling aman adalah cukup memberikan status sebagai 'sebuah pemukiman nasional Yahudi', bukan negara.[9]

Inggris adalah kekuatan besar yang rasional, segala sesuatu kemungkinan untung-ruginya dipikirkan oleh mereka. Alasan dukungan Inggris lainnya terhadap Yahudi adalah, walaupun PD I belum usai, namun gejala-gejala siapa yang akan menjadi pemenang sudah mulai nampak. Maka dibuatlah skenario mendukung Yahudi dengan harapan orang-orang Yahudi akan membuat perlawanan terhadap Kaisar Jerman. 

Alasan lainnya adalah untuk memberikan kesan baik bagi Louis Brandeis dan Felix Frankfurter, keduanya adalah orang Yahudi yang menjadi penasehat Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Selain itu diketahui juga bahwa banyak dari orang-orang Bolshevik Rusia adalah orang-orang Yahudi.[10]

Bagaimanapun itu, dengan Deklarasi Balfour di tangan, kemenangan besar Zionisme telah diraih dan itu menjadi pintu pembuka bagi gerakan-gerakan selanjutnya. Maka, dimulailah proses lobi negara-negara Eropa lainnya untuk mendukung Zionis. 

Di kemudian hari, dengan kalahnya Ottoman dalam perang, maka Inggris mendapat mandat resmi dari Liga Bangsa-bangsa (sekarang berubah namanya menjadi Perserikatan Bangsa-bangsa) untuk menjadi administrator wilayah Palestina. Zionis menyadari itu sebagai peluang emas, maka dipeliharalah dengan ketat hubungan Zionis dengan Inggris.[11] (PH)

Bersambung....

Catatan Kaki:

[1] Eve Spangler, Understanding Israel/Palestine, (Boston: Sense Publisher, 2015), hlm 67.

[2]Ibid.,hlm 87.

[3]Ibid.hlm 87-88.

[4]Ibid.,hlm 88.

[5] Judy S. Bertelsen. (1976). Nonstate Nations in International Politics: Comparative System Analysis, (New York: Praeger), hlm. 37. Dalam Eve Spangler, Ibid.,hlm 88.

[6] Charles Smith. (2013). Palestine and the Arab Israeli Conflict: A History with Documents (New York: St. Martin's Press, 8th edition), hlm. 15. Dalam Eve Spangler, Ibid.

[7] M.E. Yapp. (1987). The Making of the Modern Near East, 1792--1923 (London: Longman) p. 290. Dalam Eve Spangler, Ibid.

[8] Eve Spangler, Ibid.

[9]Ibid.,hlm 88-89.

[10]Ibid.

[11]Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun