Apakah itu salah? Secara hukum itu tidak salah, namun secara nilai luhur bangsa Indonesia itu merupakan degradasi cita-cita bangsa. Begini penjelasannya, politik identitas yang terus disuarakan oleh kedua belah pihak berujung kepada sesuatu yang disebut dengan truth claim(klaim kebenaran). Klaim kebenaran mempunyai prinsip "saya benar, anda salah".Â
Narasi-narasi yang disuarakan oleh kedua belah pihak adalah dikotomi positif dan negatif dalam titik ekstrem, misalnya: "jika anda memilih dia, maka anda orang bodoh", "orang baik berkumpul dengan orang baik", atau "barang siapa memilih kafir, masuk neraka," dan lain sebagainya.
Narasi-narasi politik identitas di Indonesia secara tidak langsung menegasikan cita-cita luhur bangsa Indonesia itu sendiri yang sangat menghormati kesepakatan di antara banyak golongan yang terwujud di dalam Pancasila. Dengan demikian, politik identitas sebenarnya hanya mendorong jurang perpecahan dan memecah belah kesatuan Indonesia.
Penutup
Indonesia secara tradisional merupakan sebuah wilayah yang penduduknya sangat beragam. Dalam soal keberagaman di dalam suatu negara, Indonesia menempati peringkat teratas dibandingkan dengan negara manapun. Bagi kawasan-kawasan lain, peristiwa berdirinya Indonesia merupakan suatu kemustahilan, maka eksistensi berdirinya Indonesia bagi sudut pandang pemikir barat merupakan suatu keajaiban.
Politik Identitas sah-sah saja selama itu dalam konteks memelihara nilai-nilai identitas yang positif bagi kaumnya, toh identitas kesukuan, atau pun keagamaan dilindungi oleh hukum di Indonesia, bahkan jika tidak dilindungi pun manusia akan berhimpun dengan kelompoknya. Berhimpunnya manusia dalam suatu kelompok adalah fitrahnya manusia.
Berdirinya Indonesia adalah atas dasar kesepakatan bersama golongan-golongan yang berbeda tersebut dalam suatu nilai luhur yang disebut dengan Pancasila. Meminjam istilah Syafii Maarif, kesadaran terhadap masa lalu adalah sebuah 'nalar sejarah'. Indonesia mesti berhati-hati dengan politik identitas yang berjubah kebaikan, baik itu klaim agama secara tekstual maupun klaim kebhinekaan yang hendak menegasikan golongan-golongan. Dua-duanya bisa berujung kepada sifat fatalistik dan fasis.
 Banyak pengamat memprediksikan, momen politik 2018 dan 2019 masih akan diwarnai politik identitas yang kuat. Para politisi menilai cara-cara kampanye dengan politik identitas ternyata efektif untuk dapat meraih kemenangan. Perlu dicatat, ciri-ciri politik identitas sebenarnya sederhana, yakni klaim kebenaran dan menegasikan kelompok lain selain dirinya. Politik yang sehat adalah politik yang berdasarkan rasionalitas dan menjunjung tinggi cita-cita bersama, bukan golongan. Sesengit-sengitnya persaingan politik, kita ini masih saudara yang dibingkai dalam suatu kesatuan negara Indonesia.
Panji Haryadi
Catatan: Artikel ini disampaikan dalam Sekolah Dasasila Bandung Vol. II : Demokrasi dan Multikultural yang diselenggarakan oleh Forum Studi Asia Afrika. Acara ini diselenggarakan di Bandung di Gedung Museum Konferensi Asia Afrika pada tanggal 9 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H