Mohon tunggu...
Panji Haryadi
Panji Haryadi Mohon Tunggu... Penulis -

Gemar menulis mengenai sejarah dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Politik Identitas

9 Desember 2017   21:44 Diperbarui: 9 Desember 2017   21:53 7454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Peter Schrank. Photo: The Economist

Sumpah Pemuda merupakan suatu bentuk kesadaran awal bahwa di tengah beragamnya masyarakat Indonesia, dibutuhkan sebuah identitas baru yang dapat menjadi pemersatu. Berikut ini adalah isi teks asli Sumpah Pemuda yang menggunakan ejaan lama:

"Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."                     

Di kemudian hari, menjelang hari kemerdekaan, para pendiri bangsa sempat berdebat sengit mengenai Pancasila, yang dipersoalkan adalah sila pertama yang berisi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Konon, ada seorang tokoh dari Indonesia Timur yang menyatakan Indonesia Timur lebih baik memisahkan diri apabila sila tersebut ditetapkan. 

Melalui kompromi, akhirnya disepakatilah sila pertama seperti yang kita kenal sekarang ini, "Ketuhanan Yang Maha Esa" (Republika: 2016). Sekali lagi ini adalah persoalan identitas. Namun pada masa itu, mengutip pernyataan Syafii Maarif, "politik identitas haruslah dinilai sebagai sesuatu yang positif dan bahkan sebagai keharusan sejarah" (Syafii Maarif: 2009).

Setelah merdeka, persoalan identitas ini tidak serta merta hilang, dia kerap muncul dalam beragam peristiwa, namun kali ini dalam konotasi yang negatif, karena menyebabkan pertumpahan darah di antara sesama putra bangsa. Misalnya, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tahun 1949, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh yang dimulai dari tahun 1976 dan baru berakhir pada tahun 2005, dan tentu saja PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berakhir di tahun 1965. 

Masih banyak lagi contoh lainnya, kita tidak akan masuk terlalu jauh ke sana, namun, yang hendak disampaikan adalah persoalan identitas ini adalah persoalan yang tidak pernah kunjung selesai. Dan sejatinya ini menuntut pengelolaan dan penjagaan secara terus menerus dan terpelihara.

Era Kebebasan Demokrasi

Istilah Politik Identitas (Politics of Identity) pertama kali diperkenalkan oleh L.A. Kauffman di tahun 1990 sebagai respon untuk menjelaskan menguatnya gerakan politik kaum minoritas di Amerika Serikat seperti kulit hitam dan Hispanic (Syafii Maarif: 2009). Namun secara faktuil, meskipun tidak memiliki landasan teoritis akademisnya yang "terpatenkan" secara mendunia, sesungguhnya Indonesia sudah jauh lebih lama mengenal politik identitas. 

Walaupun sudah diterpa persoalan mengenai identitas yang bertubi-tubi, nyatanya Indonesia masih tetap kokoh berdiri sampai hari ini. Sampai-sampai Roger Mitton, pengamat politik Myanmar dari Myanmar Times, mengatakan apa yang terjadi di Indonesia adalah sebuah keajaiban. Dengan segala persoalan pertikaian etnis di Myanmar, apabila dibandingkan dengan Indonesia, Myanmar sebenarnya masih terhitung homogen, katanya (Roger Mitton: 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun