Mohon tunggu...
Panji Haryadi
Panji Haryadi Mohon Tunggu... Penulis -

Gemar menulis mengenai sejarah dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Politik Identitas

9 Desember 2017   21:44 Diperbarui: 9 Desember 2017   21:53 7454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Peter Schrank. Photo: The Economist

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 'identitas' diartikan menjadi "ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri". Sementara di dalam kamus Oxford, 'identity' didefinisikan menjadi "The fact of being who or what a person or thing is" (Fakta menjadi siapa atau apa seseorang atau benda itu), atau apabila diterjemahkan secara lebih luwes agar lebih mudah dipahami, identitas dapat diartikan sebagai "fakta-fakta yang melekat pada seseorang sehingga dia dapat dibedakan dengan manusia lainnya."

Dalam skala yang lebih luas, identitas dapat mencakup persamaan-persamaan yang ada pada banyak individu, dalam ilmu logika ini lah yang disebut sebagai logical division, atau sederhananya disebut dengan 'penggolongan' (Mundiri: 2001). Contoh-contoh penggolongan pada manusia misalnya: manusia berkulit putih, orang-orang berbahasa Melayu, manusia usia produktif, dan lain-lain.

Dalam konteks apapun, penggolongan terhadap segala sesuatu itu dapat dilakukan, termasuk penggolongan identitas secara politik. Dalam sejarah perjalanan manusia, proses identifikasi politik ini sudah terjadi bahkan sejak manusia itu diciptakan. Kisah Iblis yang protes kepada Tuhan karena diperintahkan untuk tunduk kepada manusia. Iblis yang merasa identitas dirinya lebih unggul (terbuat dari api, lebih taat beribadah, sudah sejak lama mengabdi, dan lain-lain) tidak sudi untuk tunduk kepada manusia yang dia anggap lebih rendah (terbuat dari tanah, merusak, tidak tahu apapun, dan lain-lain). Kisah ini dipercaya oleh penganut agama-agama Monotheist.

Pada kehidupan manusia di dunia, identitas politik ini tumbuh secara natural pada diri manusia, yang paling sederhana dan instingtif adalah berkumpulnya manusia dengan ciri-ciri fisik yang sama, atau biasa kita sebut dengan 'ras'(L Stoddard: 1920). Seiring dengan bertambah banyaknya manusia dengan segala kompleksitasnya, proses identifikasi ini menjadi semakin menyempit, manusia digolongkan berdasarkan bahasanya, cara berpakaiannya, cara bertahan hidupnya, sistem pengetahuannya, dan lain-lain (Koentjaraningrat: 1986).

Pertarungan politik kuno di berbagai belahan dunia pun selalu diwarnai oleh kepentingan identitas suatu golongan. Sebut saja di Eropa ada pertarungan antara Athena melawan Sparta, di Timur Tengah ada Bani Abbassiyah melawan Bani Umayyah, di Asia Timur ada Mongolia melawan Tiongkok, dan masih banyak lagi.

Terkhusus untuk Indonesia, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah secara cermat membendung identitas golongan-golongan di Indonesia dengan sebuah jargon yang bernama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Pemerintah pada waktu itu beranggapan bahwa segala sesuatu yang berbau SARA harus ditekan karena berpotensi untuk menimbulkan perpecahan. Cara yang ditempuh, dan mungkin dirasa cukup efektif oleh Soeharto adalah dengan membentuk karakter pemerintahan yang otoriter (Greg Fealy: 2004).

Secara tradisional, jauh sebelum masuk era modern, Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memang merupakan suatu kawasan yang paling beragam suku bangsanya dibandingkan dengan kawasan manapun di dunia ini (Mark Beeson: 2004). Salah satu bukti autentik keberagaman tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan sesehari oleh orang-orang di Indonesia. Berdasarkan laporan BPS tahun 2010, di Indonesia ditemukan sebanyak 1.211 bahasa daerah.

Secara keagamaan, pada era kerajaan-kerajaan sampai kolonial, Indonesia digambarkan sebagai suatu daerah yang sangat terbuka terhadap agama apa pun. Pramoedya Ananta Toer menggambarkannya dengan sangat baik dalam sebuah buku yang berjudul Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer: 1995).

Kemudian pada fase menjelang kemerdekaan, kolonial Belanda menggolongkan identitas itu ke dalam pengkategorian yang lebih besar lagi, yaitu masyarakat kelas satu yang merupakan orang-orang Eropa; masyarakat kelas dua, yaitu kelompok masyarakat pendatang seperti etnis China, India, dan Arab; dan yang terakhir adalah masyarakat kelas tiga, yakni suku-suku asli di Indonesia yang disebut dengan inlander (Paling tidak itulah yang diketahui oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, sebab pada masa kini, dengan ditemukannya temuan-temuan baru, sesungguhnya cukup sulit untuk menentukan siapa sebenarnya penduduk asli Indonesia). Hal tersebut digambarkan dengan baik oleh buku karangan Pramoedya lainnya, Tetralogi Pulau Buru (Pramoedya Ananta Toer: 1980).

Mengelola Identitas yang Beragam

Pada 28 Oktober 1928, para pemuda yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik dibanding orang-orang Indonesia kebanyakan, mengadakan sebuah kongres kepemudaan yang melahirkan sebuah deklarasi yang disebut-sebut sebagai cikal bakal dari berdirinya Indonesia. Di kemudian hari deklarasi tersebut dikenal dengan istilah 'Sumpah Pemuda'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun