Menilik pada sejarah, bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian, China merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.
Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka.
Awalnya, ada 3 kapal tongkang dalam ekspedisi. Namun hanya satu kapal yang mencapai pantai Sumatra. Dipimpin oleh Ang Mie Kui, kapal berhasil tiba di pantai Riau karena mengikuti kunang-kunang yang oleh warga lokal dikenal sebagai 'siapi-api', ini juga yang menjadi dasar asal mula nama daerah tersebut.
Setiba didaratan pesisir itu, migran tersebut lantas memutuskan untuk menetap di sini dan bersumpah tidak akan kembali ke tanah air mereka. Para migran ini pun membakar tongkangnya dan berjanji untuk mengembangkan diri di kota yang punya julukan Hong Kong Van Andalas itu.
Tradisi bakar tongkang diyakini sudah ada sejak tahun 1826. Festival ini berakar dalam sejarah ketika para imigran China pertama kali menginjakkan kaki di daerah yang sekarang dikenal sebagai Bagansiapi-api. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H