Kebudayaan Bali yang kaya dan beragam terinspirasi oleh ajaran agama Hindu yang mendalam, menciptakan suasana religius yang kental dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, dari seni, tata cara upacara, hingga tata nilai sosial. Jika bicara mengenai kebudaayaan Bali serta Agama Hindu pasti tidak akan ada habisnya, Agama HIndu di Bali memang terkenal dengan keunikan dan kekentalan budayanya.
Salah satu kebudayaan Umat Hindu di Bali adalah ada banyak memiliki hari raya dan disetiap hari raya umat Hindu pasti memiliki makna dan arti yang berbeda-beda.Â
Nah, Februari hingga Maret 2024 merupakan bulan yang sibuk bagi Umat Hindu di Bali dengan tiga hari raya besar yang mendekati, yaitu Hari Raya Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Dimulai dari hari raya Galungan dan Kuningan yaitu di mana umat Hindu merayakan kemenangan Dharma (Kebaikan) melawan Adharma (Kejahatan). Â
Tradisi perayaan yang mengiringi acara tersebut biasanya dimulai beberapa hari sebelumnya, berbagai kegiatan untuk mempersiapkan hari raya Galungan dan Kuningan tampak di setiap rumah tangga umat Hindu, seperti adanya janur atau biasa disebut penjor disetiap rumah-rumah masyarakat Hindu adalah salah satu ciri khas dari perayaan galungan dan kuningan di Bali. Untuk menyambut hari raya Galungan dan Kuningan, masyarakat Bali juga sibuk dengan menyiapkan banten.Â
Banten sendiri memiliki makna dan fungsi yang penting bagi umat Hindu. Banten adalah sarana persembahyangan yang dihaturkan oleh umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebuah upakara atau banten memiliki beberapa fungsi yang menetapkan tujuan dan manfaatnya yang spesifik. Â Adapun Fungsi dari bangten yakni :
- Peran utama banten adalah sebagai representasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala inkarnasinya, seperti byakala yang merupakan simbol Dewa Brahma, durmenggala sebagai simbol Dewa Wisnu, dan prayascita sebagai simbol Dewa Siwa. Ini adalah ungkapan rasa syukur umat Hindu atas karunia kehidupan, anugerah, dan perlindungan yang diberikan pada alam semesta ini.
- Peran kedua dari banten adalah sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan alam semesta, termasuk meredakan kekuatan negatif seperti nyomia bhuta kala agar tidak mengganggu.
- Peran ketiga dari banten adalah sebagai bentuk persembahan, seperti banten gebogan, ajengan, atau tipat kelanan.
- Peran keempat dari banten adalah sebagai medium untuk memohon berbagai hal, seperti kesayutan tulus ayu, sida lungguh, anteng sakti, sida karya, sida purna, amerta dewa, dan berbagai permohonan lainnya.
- Peran kelima dari banten adalah sebagai alat penyucian, seperti yang ada dalam komponen banten yakni byakala, durmanggala, prayascita, caru, dan segehan.
Hal yang membuat perayaan Galungan dan Kuningan semakin menarik pada tahun 2024 karena hari raya Kuningan berdeketan pula dengan adanya hari raya Nyepi Tahun Baru Caka 1946.Â
Hari raya Kuningan merupakan bagian dari serangkaian perayaan Hari Raya Galungan, yang diperingati beberapa hari setelah Galungan. Kata "Kuningan" memiliki asal-usul dari kata "uning" yang berarti "ingat" dan "kuning" yang berarti "makmur".
Selain itu, Kuningan juga memiliki makna sebagai "kauningan" yang menggambarkan pencapaian pertumbuhan spiritual melalui refleksi diri untuk menghindari risiko atau bahaya. Jadi, perayaan Kuningan memiliki makna yang melibatkan ingatan, kemakmuran, serta upaya untuk mencapai pertumbuhan spiritual dan perlindungan dari bahaya. Sehari setelah Kuningan disebut dengan Manis Kuningan.Â
Pada hari ini biasanya di Bali menyelenggarakan  upacara Malelawang. Malelawang berasal dari kata Mala yang berarti letuh dan lawang yanag berarti pintu masuk pekarangan, biasanya Malelawangan dilakukan dengan aktivitas  Barong Bangkung yang di dominasi anak-anak atau pemuda-pemuda di samping untuk meraimakan suasana hari raya.Â
Namun, ada beberapa orang yang merayakan manis kuningan dengan berkumpul bersama keluarga ataupun pergi berlibur. Â Menariknya pada saat manis Kuningan Maret 2024 bertepatan dengan adanya ogoh-ogoh untuk menyambut hari raya Nyepi yang membuat manis kuningan kali ini semakin berasa kekentalan dari budaya Hindu di Bali.Â
Hari raya nyepi itu sendiri merupakan hari raya umat Hindu untuk menyambut tahun baru saka yang bertujuan untuk menciptakan suasana yang hening, tanpa kebisingan atau kegemparan kehidupan, serta bebas dari nafsu dan keserakahan manusia, dengan tujuan untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (manusia).Â
Hari raya Nyepi ini identik dengan adanya pengarakan ogoh-ogoh, ogoh-ogoh itu sendiri adalah bagian dari tradisi Hindu di Indonesia, terutama di Bali, yang digunakan dalam perayaan Nyepi atau Tahun Baru Saka.Â
Mereka merupakan representasi dari Bhutakala, yang merupakan gabungan dari kata "bhuta" yang berarti makhluk halus atau roh, dan "kala" yang berarti waktu.Â
Bhutakala melambangkan kekuatan alam semesta dan waktu yang tak terbatas dan tak terukur. Umumnya, setelah upacara utama selesai, ogoh-ogoh diarak sambil diiringi oleh musik bleganjur atau gamelan tradisional Bali. Rangkaian acara pawai dengan ogoh-ogoh yaitu:
1. Sebelum acara dimulai, peserta upacara meminum minuman keras tradisional (arak).
2. Ogoh-ogoh dipandu dalam prosesi menuju sema atau tempat persemayaman umat Hindu sebelum kemudian dibakar (termasuk pada saat pembakaran mayat).
3. Setelah diarak mengelilingi desa atau perkotaan, ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar.
Pada manis kuningan kali ini masyarakat Hindu Bali pasti merasakan hal yang berbeda karena harus menjalankan tradisi sebelum hari raya Nyepi, yakni dimulai dengan prosesi Melasti, Mecaru serta Pengrupukan yang disertai dengan perayaan ogoh-ogoh itu sendiri.Â
Adapun upacara yang harus dilakukan sebelum hari raya nyepi yakni upacara Melasti. Upacara Melasti dilakukan sebelum kedatangan Hari Raya Nyepi. Semua perlengkapan upacara atau benda pemujaan di Pura dibersihkan dengan cara disucikan di laut atau sungai.Â
Bagi umat Hindu, laut dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha. Melasti atau melelasti memiliki arti menghilangkan kekotoran alam dengan menggunakan udara kehidupan.Â
Kemudian, dilanjutkan dengan upacara Tawur atau mecaru. Upacara ini merupakan penyucian (Bhuta Kala), membasmi segala kotoran yang dilangsungkan di tiap-tiap rumah, desa, dan wilayah lainnya.Â
Pelaksanaan Mecaru dilakukan pada hari Tilem Sasih Kesange, yang merupakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Pengupukan memiliki makna untuk mengusir Bhuta Kala dari halaman rumah dan sekitarnya. Ritual ini dilakukan setelah Mecaru, dengan menyebarkan nasi tawur, mengelilingi area dengan Mesiu, dan membuat suara-suara. Hari Raya Nyepi bisa diinterpretasikan sebagai waktu untuk membersihkan diri manusia dan alam.Â
Secara sederhana, Nyepi bertujuan untuk menghilangkan kekotoran dan kesalahan masa lalu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan di tahun yang baru. Setelah semua selesai dilaksnakan barulah pengarakan ogoh-ogoh dilakukan, pengarakan tersebut biasanya dilakukan dengan memutari desa atau kota.
Perayaan ogoh-ogoh merupakan tradisi yang kaya akan budaya dan seni, menghadirkan kegembiraan dan semangat kebersamaan dalam memperingati peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Bali.Â
Dalam harmoni warna dan semangat, Parade Ogoh-Ogoh di Bali menghiasi perayaan manis kuningan dengan keindahan yang tak terlupakan, menyatukan tradisi dan kegembiraan dalam momen yang magis dan memikat.Â
Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa harus selalu melestarikan kebudayaaan dengan sentuhan Nilai Agama, agar selalu terciptanya kedamaian, keharmonisan serta keseimbangan antar umat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI