Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara

Sarana Menyalurkan Pemikiran dan Keresahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Demokrasi Indonesia: Pembelajaran dari Buku How Democracies Dies dalam Konteks Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

5 Desember 2024   11:22 Diperbarui: 5 Desember 2024   11:22 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Demokrasi adalah upaya bersama untuk mencapai impian bersama, bukan pertarungan antar pihak." 

- John Dewey

PENDAHULUAN

Pesta demokrasi sepanjang tahun 2024 telah usai. Acara lima tahunan ini menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia, yang secara langsung menggunakan hak suara mereka dalam prinsip one man, one vote untuk memilih presiden, anggota legislatif, serta kepala daerah di seluruh tanah air. Proses demokrasi yang semestinya mencerminkan kedaulatan rakyat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die, tidak terlepas dari ancaman yang sering kali tidak muncul dalam bentuk kekerasan terbuka, melainkan melalui pengikisan norma-norma dasar demokrasi yang lebih halus dan sulit terlihat.

Levitsky dan Ziblatt menegaskan bahwa ancaman terhadap demokrasi sering kali berlangsung perlahan melalui mekanisme yang legal namun melemahkan sistem secara mendasar. Mereka menyebut fenomena ini sebagai autocratic legalism, di mana kekuasaan yang sah digunakan untuk membatasi kebebasan politik dan menurunkan kualitas demokrasi tanpa secara langsung melanggar hukum. Fenomena ini menyoroti bagaimana kebijakan yang tampaknya sah dapat disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan atau mengurangi ruang partisipasi publik.

Dalam konteks Indonesia, Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menjadi panggung nyata di mana ancaman-ancaman ini dapat dirasakan. Kasus-kasus yang muncul dewasa ini, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 20243terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, menimbulkan polemik luas di masyarakat. Selain itu, pergerakan elemen masyarakat secara besar-besaran melalui hashtag #PeringatanDarurat untuk mengawal putusan MK lain terkait ambang batas pencalonan dan batas usia pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mencerminkan keresahan publik terhadap kebijakan yang dianggap mengurangi aksesibilitas demokrasi oleh DPR RI yang constitutional disobedience dan seolah-olah mengabaikan aspirasi rakyat  dalam menindaklanjuti revisi UU Pilkada.

Melalui tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana pembelajaran dari How Democracies Die dapat menjadi landasan strategis untuk menjaga agar demokrasi Indonesia tetap kokoh, meskipun di tengah dinamika dan tantangan besar seperti Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.

AUTOCRATIC LEGALISM DALAM PEMBELOKAN DEMOKRASI

Salah satu pembelajaran penting yang diajukan oleh Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracies Die adalah fenomena autocratic legalism, yang merujuk pada praktik di mana pemimpin politik menggunakan instrumen hukum dan prosedur yang sah untuk membatasi ruang demokrasi. Dalam konteks ini, pemimpin atau rezim yang berkuasa tidak perlu melanggar hukum secara eksplisit, melainkan dapat memanfaatkan sistem hukum untuk memperkuat kendali mereka, mengurangi ruang bagi oposisi, dan menghambat kebebasan politik. Istilah ini menggambarkan bagaimana kekuasaan yang sah bisa disalahgunakan untuk mengekalkan dominasi politik, meskipun proses dan prosedurnya tetap legal dan terkesan sah di mata hukum.

Autocratic legalism sering kali tidak tampak sebagai ancaman yang jelas atau terbuka, namun dampaknya jauh lebih merusak karena secara perlahan mengikis prinsip-prinsip dasar demokrasi. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini bisa dilihat dalam penggunaan undang-undang dan kebijakan yang dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek, yang pada akhirnya merugikan ruang demokrasi dan kebebasan politik.

Salah satu contoh nyata dari autocratic legalism dapat ditemukan dalam pembahasan yang terburu-buru dan minimnya partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang penting, seperti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang-undang yang seharusnya berfungsi untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan memberantas korupsi justru digunakan untuk memperkuat kekuasaan yang sudah ada, mengurangi daya kritis, dan menghalangi perubahan yang seharusnya lebih demokratis.

Dalam konteks Pemilu 2024, terdapat kekhawatiran bahwa pelaksanaan pemilu kali ini lebih dirancang untuk mempermudah kemenangan bagi kelompok politik tertentu. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, bahkan mengkritik Pemilu 2024 sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Kalla menilai bahwa adanya potensi penyalahgunaan regulasi dan sumber daya negara untuk mempengaruhi hasil pemilu merupakan manifestasi dari autocratic legalism, di mana sistem pemilu dimanipulasi untuk melanggengkan kekuasaan yang ada, bukan untuk menciptakan proses yang adil dan bebas.

Fenomena autocratic legalism ini, meskipun terjadi di Indonesia, bukanlah hal yang baru. Di tingkat internasional, kita dapat melihat contoh serupa di Venezuela, di bawah pemerintahan Hugo Chavez, yang menggunakan hukum dan peraturan yang ada untuk memperkuat kekuasaannya. Chavez seringkali melakukan amandemen konstitusi dan perubahan-perubahan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tampaknya sah secara hukum. Ini menunjukkan bahwa autocratic legalism adalah fenomena yang terjadi di berbagai negara, dan dapat sangat merusak integritas sistem demokrasi.

Dari analisis ini, jelas bahwa kita perlu lebih waspada terhadap potensi autocratic legalism dalam proses politik kita. Masyarakat harus terlibat aktif dalam menjaga agar hukum tidak hanya digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang tidak adil, tetapi juga untuk melindungi nilai-nilai dasar demokrasi, seperti keadilan, transparansi, dan partisipasi publik. Hukum harus menjadi pelindung bagi kepentingan rakyat, bukan alat untuk memperkokoh dominasi politik kelompok tertentu.

MENGUATKAN NORMA DEMOKRASI MELALUI PENGENDALIAN DIRI DAN TOLERANSI

Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menekankan dua norma dasar yang penting untuk menjaga kelangsungan dan kualitas demokrasi: pengendalian diri dan toleransi. Kedua norma ini harus dijunjung tinggi oleh pemimpin dan partai politik agar demokrasi berjalan dengan adil, sehat, dan inklusif.

Pengendalian diri berarti pemimpin politik dan partai tidak boleh menggunakan kekuasaan negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip checks and balances dan akuntabilitas, yang menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sempit.

Di Indonesia, pengendalian diri kerap terabaikan. Sebagai contoh, partai penguasa sering kali memanfaatkan sumber daya negara dan aparat untuk mempengaruhi opini publik atau menguntungkan calon tertentu. Penyalahgunaan kekuasaan seperti ini dapat merusak integritas pemilu dan demokrasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, lembaga pengawas seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memiliki kekuatan untuk menindak pelanggaran yang merusak transparansi dan akuntabilitas, serta memastikan independensi mereka dari tekanan politik.

Toleransi adalah norma yang mengharuskan adanya ruang untuk oposisi politik dan perbedaan pandangan dalam sistem demokrasi. Toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi tentang memberi kesempatan bagi setiap suara untuk didengar dan dihargai, termasuk suara yang berbeda dengan kekuasaan yang dominan.

Di Pemilu dan Pilkada 2024, penting untuk memastikan bahwa kompetisi politik tetap adil dan terbuka. Sistem pemilu dan regulasi yang ada harus memastikan bahwa semua calon, baik dari partai besar maupun kecil, memiliki akses yang sama untuk berkompetisi. Sebagai contoh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang mengharuskan calon presiden memiliki minimal 20 persen kursi di DPR, sering kali dipandang sebagai hambatan bagi calon independen dan dapat mengurangi keberagaman dalam pemilu.

Jika toleransi dikesampingkan, maka demokrasi dapat dengan mudah jatuh ke dalam otoritarianisme, di mana hanya satu suara yang dominan dan oposisi dibungkam. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa ruang bagi oposisi politik tetap terbuka dan bahwa pemilu dilakukan dengan cara yang tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Untuk menjaga agar kedua norma inI tetap terjaga, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus bekerja secara independen dan transparan. Mereka harus memiliki kewenangan yang cukup untuk menindak pelanggaran yang merusak proses demokrasi. Selain itu, masyarakat juga harus aktif dalam mengawasi jalannya pemilu dan Pilkada, memastikan bahwa hukum dan regulasi tidak digunakan untuk tujuan yang tidak sah atau untuk mempertahankan kekuasaan sempit.

MEDIA DAN KEBEBASAN PERS

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, kebebasan pers dan media yang independen memainkan peran krusial. Namun, dalam konteks politik Indonesia yang kerap kali terpolarisasi, media sering kali tidak bebas dari tekanan politik, baik dari pemerintah maupun dari kelompok-kelompok politik tertentu. Media yang seharusnya menjadi alat untuk mengedukasi dan memberi informasi kepada publik, sering kali berfungsi sebagai alat untuk memperburuk polarisasi dan menyebarkan narasi-narasi yang mendukung kepentingan tertentu.

Levitsky dan Ziblatt menyoroti bahwa serangan terhadap media dan kebebasan pers adalah salah satu indikasi utama bahwa demokrasi sedang terancam. Jika media di Indonesia semakin terkendali oleh kekuasaan politik tertentu, maka publik akan kehilangan akses pada informasi yang objektif. Lebih buruk lagi, jika hoaks dan disinformasi dibiarkan berkembang tanpa kontrol yang memadai, maka proses demokrasi termasuk Pemilu dan Pilkada akan terancam tidak berjalan dengan adil.

Memandang Pesta Demokrasi 2024 yang telah usai, penting bagi media untuk memainkan peran independen dan profesional, memberikan ruang bagi berbagai pandangan politik, serta membantu masyarakat untuk memahami isu-isu penting secara objektif. Tanpa kebebasan media, warga negara akan kesulitan membuat keputusan yang cerdas berdasarkan informasi yang benar. 

PENGGUNAAN KEKUASAAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN POLITIK

Penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan politik tertentu menjadi salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi Indonesia, baik dalam Pemilu maupun Pilkada. Ketika aparat negara, seperti polisi, militer, atau lembaga negara lainnya, digunakan untuk mendukung calon atau kelompok politik tertentu, maka proses demokrasi yang seharusnya bebas, adil, dan transparan akan terdistorsi. Dalam How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengingatkan bahwa demokrasi bisa hancur ketika kekuasaan dipusatkan dan digunakan untuk membungkam oposisi. Ini terjadi melalui berbagai cara, seperti manipulasi pemilu, penindasan terhadap aktivis politik, atau intervensi aparat keamanan dalam kampanye politik. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka bukan hanya kualitas demokrasi yang terancam, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada.

Pada Pemilu dan Pilkada 2024 terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan , terutama dengan mobilisasi aparat negara untuk mendukung calon yang sejalan dengan kekuasaan yang ada. Beberapa laporan di masa lalu menunjukkan bahwa partai politik yang berkuasa kadang memanfaatkan lembaga negara untuk keuntungan politik, baik melalui penggunaan sumber daya negara yang tidak proporsional maupun dengan memobilisasi aparat untuk menekan lawan politik. Misalnya, dalam Pilkada-pilkada sebelumnya, ada upaya yang jelas untuk menekan calon-calon dari oposisi dengan cara intimidasi fisik atau psikologis, serta pemanfaatan birokrasi untuk mendukung kemenangan calon yang pro-pemerintah. Selain itu, manipulasi media dan akses informasi politik juga sering digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan menguntungkan calon tertentu, yang tentunya tidak mencerminkan prinsip demokrasi yang sehat dan setara.

Jika fenomena ini terus berlanjut pada periode selanjutnya, maka demokrasi Indonesia akan menghadapi ancaman serius. Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga agar proses tersebut berlangsung adil dan bebas dari intervensi kekuasaan yang tidak sah. Penggunaan kekuasaan negara untuk mendukung kepentingan politik tertentu dapat merusak prinsip dasar demokrasi, seperti kesetaraan politik dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. Dampak jangka panjangnya, selain merusak kredibilitas pemilu, juga bisa menyebabkan polarisasi sosial yang semakin tajam, di mana kelompok-kelompok tertentu merasa terpinggirkan dan kehilangan kepercayaan pada sistem politik. Hal ini tentunya bisa menggoyahkan stabilitas politik Indonesia dan memperburuk kondisi sosial secara keseluruhan.

POLARISASI EKSTRIM DAN SENTIMEN ELIT

Polarisasi politik terjadi ketika perbedaan ideologi dan kepentingan politik menjadi begitu tajam sehingga mengarah pada konfrontasi yang semakin intens antara kelompok yang saling bertentangan. Hal ini sangat berisiko dalam sistem demokrasi, karena dapat mengganggu keterbukaan, dialog, dan konsensus yang seharusnya menjadi ciri utama demokrasi yang sehat. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die mengingatkan bahwa polarisasi dapat menciptakan jurang yang dalam antara kelompok politik, yang mengarah pada pemahaman bahwa lawan politik bukan sekadar berbeda pendapat, tetapi sebagai musuh yang harus dikalahkan dengan segala cara. Ketika norma toleransi politik hilang, perdebatan politik tidak lagi bersifat konstruktif, tetapi berubah menjadi perang retorika yang merusak kepercayaan antar warga negara.

Di Indonesia, ketegangan politik antar kelompok pendukung calon presiden, legislatif, atau kepala daerah kerap tereskalasi menjadi perpecahan sosial yang mendalam. Pemilu 2019 menjadi contoh konkret bagaimana polarisasi politik memperburuk hubungan sosial di tingkat masyarakat, dengan konflik terbuka antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang hampir menciptakan ketegangan sektarian. Mengingat bahwa dalam pesta demokrasi 2024, fenomena serupa mungkin terulang dengan semakin banyaknya calon dari berbagai latar belakang politik, tantangannya adalah bagaimana menciptakan ruang bagi perbedaan untuk diperdebatkan dengan cara yang sehat dan produktif, tanpa mengorbankan kohesi sosial.

Populisme, terutama yang dilandasi dengan sentimen anti-elit, telah menjadi tren yang semakin kuat di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Populisme sering muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap elit politik yang dianggap gagal memenuhi harapan rakyat, serta ketidakadilan sosial yang berlarut-larut. Dalam konteks Indonesia, sejumlah calon pemimpin politik sering kali menggunakan retorika populis untuk menggalang dukungan dari rakyat, terutama dengan menyederhanakan kompleksitas masalah sosial dan politik. Salah satu cara yang umum dilakukan adalah dengan menyerang atau mengkritik elit politik yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.

Namun, seperti yang dicatat oleh Levitsky dan Ziblatt, populisme bisa berbahaya bagi demokrasi ketika pemimpin populis mulai merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti checks and balances dan kebebasan berpendapat. Pemimpin populis cenderung melihat diri mereka sebagai representasi tunggal dari rakyat, yang akhirnya mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tangan satu individu atau kelompok. Mereka seringkali menanggalkan atau meremehkan mekanisme kontrol yang seharusnya menjadi pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. 

Lebih jauh lagi, populisme yang ekstrem bisa menciptakan atmosfer politik yang sangat polarisasi, karena calon-calon populis sering kali membangun retorika yang mengutamakan "kami vs mereka" dalam memandang kelompok politik lawan. Hal ini dapat memperburuk ketegangan sosial yang sudah ada dan merusak integrasi sosial yang dibutuhkan untuk menjalankan demokrasi yang sehat.

Fenomena populisme dan polarisasi tidak hanya berisiko memperburuk ketegangan sosial, tetapi juga bisa melemahkan mekanisme demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Dalam praktiknya, populisme dapat mengarah pada penurunan kualitas pemilu, dengan semakin menurunnya partisipasi politik kelompok-kelompok oposisi dan berkurangnya ruang bagi suara-suara yang beragam. Partai politik dan calon-calon pemimpin yang terjebak dalam narasi populis sering kali lebih fokus pada kemenangan instan daripada pada penguatan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih panjang, seperti keadilan sosial, kesetaraan politik, dan akuntabilitas pemerintah.

Lebih lanjut, populisme yang merusak prinsip demokrasi juga dapat membentuk kecenderungan otoriter di masa depan. Pemimpin yang mengandalkan popularitas dan suara massa sering kali meremehkan sistem pemerintahan yang berbasis pada rule of law dan pemisahan kekuasaan. Mereka lebih memilih untuk mengonsolidasikan kekuasaan di tangan eksekutif, sehingga merusak checks and balances yang ada dalam sistem pemerintahan. Jika ini dibiarkan, maka mekanisme demokrasi seperti pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta perlindungan hak asasi manusia dapat terancam.

LANGKAH-LANGKAH MEMPERTAHANKAN DEMOKRASI

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi demokrasi Indonesia dalam jangka panjang? Levitsky dan Ziblatt mengajukan beberapa rekomendasi untuk melindungi dan memperkuat demokrasi sebagaimana berikut:

  • Menguatkan Norma Demokrasi
    Salah satu cara untuk mencegah keruntuhan demokrasi adalah dengan menguatkan norma-norma pengendalian diri dan toleransi, baik di antara pemimpin maupun warga negara.

  • Menjaga Independen Media dan Lembaga-Lembaga Demokratis
    Media dan lembaga-lembaga demokrasi, seperti pengadilan dan komisi pemilihan umum, harus tetap independen dan tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan politik.

  • Pendidikan Kewarganegaraan dan Partisipasi Politik
    Warga negara harus dilibatkan dalam pendidikan politik dan harus mengerti bagaimana sistem demokrasi bekerja. Ini termasuk menghormati keberagaman pandangan dan belajar untuk berdialog dengan pihak yang berbeda.

  • Mengurangi Polarisasi Politik
    Menciptakan ruang bagi dialog antar kelompok politik yang berbeda dan memitigasi polarisasi politik yang berlebihan adalah kunci untuk menjaga stabilitas demokrasi.

KESIMPULAN

Seperti yang diingatkan dalam buku How Democracies Die oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, demokrasi tidak dapat dianggap sebagai hal yang pasti bertahan. Ia membutuhkan perhatian dan perlindungan, terutama dalam momen-momen krusial seperti Pemilu dan Pilkada. Demokrasi bisa terancam ketika norma-norma dasar, seperti kebebasan pers, hak-hak oposisi, dan independensi lembaga negara, mulai terkikis.

Salah satu ancaman utama adalah penggunaan kekuasaan negara untuk mendukung kepentingan politik tertentu, yang dapat merusak integritas pemilu dan Pilkada. Intervensi aparat negara atau manipulasi kebijakan dapat menciptakan sistem politik yang tertutup dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Buku How Democracies Die mengingatkan kita meskipun kita sering berpikir bahwa demokrasi itu abadi, kenyataannya demokrasi membutuhkan perlindungan dan perhatian berkelanjutan agar tidak tergerus oleh kekuatan-kekuatan yang berusaha menghancurkannya dari dalam. Levitsky dan Ziblatt mengajak kita untuk waspada terhadap ancaman-ancaman tersebut, terutama yang datang dari pemimpin yang terpilih dan para pendukungnya yang merusak norma-norma dasar demokrasi.

Demokrasi, kata mereka, hanya akan bertahan jika para pemimpin dan warga negara bersama-sama menjaga dan memperkuatnya, serta tidak membiarkan pembusukan internal yang terjadi perlahan-lahan menghancurkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun