Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara

Sarana Menyalurkan Pemikiran dan Keresahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Demokrasi Indonesia: Pembelajaran dari Buku How Democracies Dies dalam Konteks Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

5 Desember 2024   11:22 Diperbarui: 5 Desember 2024   11:22 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi (Sumber: Ideogram.ai)

Di Indonesia, ketegangan politik antar kelompok pendukung calon presiden, legislatif, atau kepala daerah kerap tereskalasi menjadi perpecahan sosial yang mendalam. Pemilu 2019 menjadi contoh konkret bagaimana polarisasi politik memperburuk hubungan sosial di tingkat masyarakat, dengan konflik terbuka antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang hampir menciptakan ketegangan sektarian. Mengingat bahwa dalam pesta demokrasi 2024, fenomena serupa mungkin terulang dengan semakin banyaknya calon dari berbagai latar belakang politik, tantangannya adalah bagaimana menciptakan ruang bagi perbedaan untuk diperdebatkan dengan cara yang sehat dan produktif, tanpa mengorbankan kohesi sosial.

Populisme, terutama yang dilandasi dengan sentimen anti-elit, telah menjadi tren yang semakin kuat di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Populisme sering muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap elit politik yang dianggap gagal memenuhi harapan rakyat, serta ketidakadilan sosial yang berlarut-larut. Dalam konteks Indonesia, sejumlah calon pemimpin politik sering kali menggunakan retorika populis untuk menggalang dukungan dari rakyat, terutama dengan menyederhanakan kompleksitas masalah sosial dan politik. Salah satu cara yang umum dilakukan adalah dengan menyerang atau mengkritik elit politik yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.

Namun, seperti yang dicatat oleh Levitsky dan Ziblatt, populisme bisa berbahaya bagi demokrasi ketika pemimpin populis mulai merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti checks and balances dan kebebasan berpendapat. Pemimpin populis cenderung melihat diri mereka sebagai representasi tunggal dari rakyat, yang akhirnya mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tangan satu individu atau kelompok. Mereka seringkali menanggalkan atau meremehkan mekanisme kontrol yang seharusnya menjadi pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. 

Lebih jauh lagi, populisme yang ekstrem bisa menciptakan atmosfer politik yang sangat polarisasi, karena calon-calon populis sering kali membangun retorika yang mengutamakan "kami vs mereka" dalam memandang kelompok politik lawan. Hal ini dapat memperburuk ketegangan sosial yang sudah ada dan merusak integrasi sosial yang dibutuhkan untuk menjalankan demokrasi yang sehat.

Fenomena populisme dan polarisasi tidak hanya berisiko memperburuk ketegangan sosial, tetapi juga bisa melemahkan mekanisme demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Dalam praktiknya, populisme dapat mengarah pada penurunan kualitas pemilu, dengan semakin menurunnya partisipasi politik kelompok-kelompok oposisi dan berkurangnya ruang bagi suara-suara yang beragam. Partai politik dan calon-calon pemimpin yang terjebak dalam narasi populis sering kali lebih fokus pada kemenangan instan daripada pada penguatan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih panjang, seperti keadilan sosial, kesetaraan politik, dan akuntabilitas pemerintah.

Lebih lanjut, populisme yang merusak prinsip demokrasi juga dapat membentuk kecenderungan otoriter di masa depan. Pemimpin yang mengandalkan popularitas dan suara massa sering kali meremehkan sistem pemerintahan yang berbasis pada rule of law dan pemisahan kekuasaan. Mereka lebih memilih untuk mengonsolidasikan kekuasaan di tangan eksekutif, sehingga merusak checks and balances yang ada dalam sistem pemerintahan. Jika ini dibiarkan, maka mekanisme demokrasi seperti pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta perlindungan hak asasi manusia dapat terancam.

LANGKAH-LANGKAH MEMPERTAHANKAN DEMOKRASI

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi demokrasi Indonesia dalam jangka panjang? Levitsky dan Ziblatt mengajukan beberapa rekomendasi untuk melindungi dan memperkuat demokrasi sebagaimana berikut:

  • Menguatkan Norma Demokrasi
    Salah satu cara untuk mencegah keruntuhan demokrasi adalah dengan menguatkan norma-norma pengendalian diri dan toleransi, baik di antara pemimpin maupun warga negara.

  • Menjaga Independen Media dan Lembaga-Lembaga Demokratis
    Media dan lembaga-lembaga demokrasi, seperti pengadilan dan komisi pemilihan umum, harus tetap independen dan tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan politik.

  • Pendidikan Kewarganegaraan dan Partisipasi Politik
    Warga negara harus dilibatkan dalam pendidikan politik dan harus mengerti bagaimana sistem demokrasi bekerja. Ini termasuk menghormati keberagaman pandangan dan belajar untuk berdialog dengan pihak yang berbeda.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun