Salah satu contoh nyata dari autocratic legalism dapat ditemukan dalam pembahasan yang terburu-buru dan minimnya partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang penting, seperti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang-undang yang seharusnya berfungsi untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan memberantas korupsi justru digunakan untuk memperkuat kekuasaan yang sudah ada, mengurangi daya kritis, dan menghalangi perubahan yang seharusnya lebih demokratis.
Dalam konteks Pemilu 2024, terdapat kekhawatiran bahwa pelaksanaan pemilu kali ini lebih dirancang untuk mempermudah kemenangan bagi kelompok politik tertentu. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, bahkan mengkritik Pemilu 2024 sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Kalla menilai bahwa adanya potensi penyalahgunaan regulasi dan sumber daya negara untuk mempengaruhi hasil pemilu merupakan manifestasi dari autocratic legalism, di mana sistem pemilu dimanipulasi untuk melanggengkan kekuasaan yang ada, bukan untuk menciptakan proses yang adil dan bebas.
Fenomena autocratic legalism ini, meskipun terjadi di Indonesia, bukanlah hal yang baru. Di tingkat internasional, kita dapat melihat contoh serupa di Venezuela, di bawah pemerintahan Hugo Chavez, yang menggunakan hukum dan peraturan yang ada untuk memperkuat kekuasaannya. Chavez seringkali melakukan amandemen konstitusi dan perubahan-perubahan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tampaknya sah secara hukum. Ini menunjukkan bahwa autocratic legalism adalah fenomena yang terjadi di berbagai negara, dan dapat sangat merusak integritas sistem demokrasi.
Dari analisis ini, jelas bahwa kita perlu lebih waspada terhadap potensi autocratic legalism dalam proses politik kita. Masyarakat harus terlibat aktif dalam menjaga agar hukum tidak hanya digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang tidak adil, tetapi juga untuk melindungi nilai-nilai dasar demokrasi, seperti keadilan, transparansi, dan partisipasi publik. Hukum harus menjadi pelindung bagi kepentingan rakyat, bukan alat untuk memperkokoh dominasi politik kelompok tertentu.
MENGUATKAN NORMA DEMOKRASI MELALUI PENGENDALIAN DIRI DAN TOLERANSI
Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menekankan dua norma dasar yang penting untuk menjaga kelangsungan dan kualitas demokrasi: pengendalian diri dan toleransi. Kedua norma ini harus dijunjung tinggi oleh pemimpin dan partai politik agar demokrasi berjalan dengan adil, sehat, dan inklusif.
Pengendalian diri berarti pemimpin politik dan partai tidak boleh menggunakan kekuasaan negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip checks and balances dan akuntabilitas, yang menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sempit.
Di Indonesia, pengendalian diri kerap terabaikan. Sebagai contoh, partai penguasa sering kali memanfaatkan sumber daya negara dan aparat untuk mempengaruhi opini publik atau menguntungkan calon tertentu. Penyalahgunaan kekuasaan seperti ini dapat merusak integritas pemilu dan demokrasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, lembaga pengawas seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memiliki kekuatan untuk menindak pelanggaran yang merusak transparansi dan akuntabilitas, serta memastikan independensi mereka dari tekanan politik.
Toleransi adalah norma yang mengharuskan adanya ruang untuk oposisi politik dan perbedaan pandangan dalam sistem demokrasi. Toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi tentang memberi kesempatan bagi setiap suara untuk didengar dan dihargai, termasuk suara yang berbeda dengan kekuasaan yang dominan.
Di Pemilu dan Pilkada 2024, penting untuk memastikan bahwa kompetisi politik tetap adil dan terbuka. Sistem pemilu dan regulasi yang ada harus memastikan bahwa semua calon, baik dari partai besar maupun kecil, memiliki akses yang sama untuk berkompetisi. Sebagai contoh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang mengharuskan calon presiden memiliki minimal 20 persen kursi di DPR, sering kali dipandang sebagai hambatan bagi calon independen dan dapat mengurangi keberagaman dalam pemilu.
Jika toleransi dikesampingkan, maka demokrasi dapat dengan mudah jatuh ke dalam otoritarianisme, di mana hanya satu suara yang dominan dan oposisi dibungkam. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa ruang bagi oposisi politik tetap terbuka dan bahwa pemilu dilakukan dengan cara yang tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu.