A. Latar Belakang
"Pancasila bukan hanya sekadar ideologi, tetapi adalah jiwa dan nafas bangsa yang harus dihidupkan dalam setiap tindakan dan kebijakan negara."
— Moh. Hatta
Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, telah menjadi fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencerminkan keinginan para pendiri bangsa untuk menciptakan sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan berkeadaban. Dengan kelima silanya, Pancasila menawarkan prinsip-prinsip moral, sosial, dan politik yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, menjaga persatuan, serta menjamin kebebasan dan demokrasi.Â
Setiap sila mengandung nilai-nilai yang diharapkan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," menegaskan pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan publik. Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," menekankan perlunya perlindungan hak asasi manusia dan keadilan sosial.Â
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia," mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," menjadi dasar bagi sistem demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," menekankan pentingnya keadilan sosial dan ekonomi bagi semua warga negara.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila sering kali diserang oleh kanker-kanker kebijakan terutama ketika berhadapan dengan kepentingan politik tertentu. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah munculnya fenomena Autocratic Legalism.Â
Fenomena ini merujuk pada praktik di mana hukum digunakan bukan untuk menegakkan keadilan dan melindungi rakyat, melainkan untuk memperkuat kekuasaan otoriter dan menekan oposisi. Autocratic legalism mengikis esensi demokrasi yang seharusnya dilindungi oleh Pancasila, dan menciptakan distorsi dalam penerapan nilai-nilai luhur tersebut.
Dalam praktiknya, Autocratic Legalism telah memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, mulai dari penggunaan undang-undang yang ambigu untuk menekan kebebasan berpendapat hingga melemahnya lembaga-lembaga pengawas yang seharusnya berfungsi untuk menjaga akuntabilitas pemerintahan.
Fenomena ini tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan politik yang ada. Oleh karena itu, penulis menganggap penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana autocratic legalism mempengaruhi Pancasila dan dampaknya terhadap demokrasi suatu negara.
B. Pembahasan
1. Utopia Demokrasi dalam Negara Pancasila
Sebelum membahas lebih lanjut, seyogyanya kita memahami terlebih dahulu mengenai makna kata "Utopia". Utopia adalah konsep ideal (khayalan) mengenai masyarakat yang dalam segala aspek kehidupan mengalami kesempurnaan dan tanpa masalah atau kekurangan. Istilah ini merujuk pada buku Thomas More yang berjudul "Utopia" yang menggambarkan bagaimana sebuah visi ideal yang seringkali sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai dalam kenyataan, namun difungsionalkan sebagai inspirasi atau panduan untuk memperbaiki kondisi yang ada.
Demokrasi adalah sebuah istilah dari, oleh dan untuk rakyat. Secara utopis, demokrasi dalam Negara Pancasila adalah sebuah visi ideal di mana prinsip-prinsip Pancasila diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam utopia ini, kedaulatan rakyat diwujudkan secara bulat melalui partisipasi aktif setiap warga negara dalam proses politik. Setiap keputusan diambil melalui musyawarah mufakat, sesuai dengan sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Tidak ada suara yang diabaikan, dan setiap kepentingan individu dihormati dengan adil dan bijaksana.
Selain itu, dalam utopia ini, keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima," benar-benar terwujud.Â
Tidak ada kesenjangan ekonomi yang mencolok, dan setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Semua kebutuhan dasar terpenuhi, sehingga setiap orang dapat hidup dengan martabat dan kesejahteraan. Persatuan Indonesia, sesuai dengan sila ketiga, menjadi fondasi yang kuat dalam masyarakat utopia ini.Â
Keberagaman budaya, agama, dan etnis dihargai dan dijunjung tinggi. Setiap warga negara saling menghormati dan hidup dalam harmoni, menjaga kesatuan bangsa dengan semangat gotong royong. Kebebasan berpendapat dijamin, tetapi selalu diiringi dengan tanggung jawab untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan bersama. Dalam utopia demokrasi Pancasila, setiap individu dan komunitas berkontribusi pada pembangunan bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat.
2. Â Pendalaman atas makna "Autocratic Legalism"
Autocratic Legalism berasal dari dua suku kata, yaitu otokrasi yang bermakna suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan satu orang atau kelompok kecil. Ini berbeda dengan demokrasi yang menempatkan kekuasaan di tangan banyak orang melalui proses perwakilan dan partisipasi.Â
Kemudian legalism bermakna suatu konsep di mana segala sesuatu yang diberlakukan sebagai hukum negara dianggap sah dan memiliki legitimasi. Dalam konteks Autocratic Legalism, hukum digunakan untuk melegitimasi tindakan otokratis, meskipun tindakan tersebut mungkin tidak adil atau melanggar hak asasi manusia.
Bahaya utama dari Autocratic Legalism adalah ia memberikan kesan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pemerintah sah karena sesuai dengan hukum negara. Ini dapat mengarah pada penerimaan tanpa kritik terhadap undang-undang dan kebijakan yang sebenarnya merugikan hak-hak individu dan mengonsolidasikan kekuasaan otokratis.
Bivitri Susanti dalam pembelajarannya pernah mengungkapkan, bahwa ciri-ciri Autocratic Legalism adalah sebagai berikut:
- Penggunaan Hukum untuk Melegitimasi Kekuasaan, yang berarti hukum digunakan untuk memberikan legitimasi pada tindakan pemerintah, meskipun tindakan tersebut mungkin tidak adil atau melanggar hak asasi manusia.
- Penggunaan Hukum untuk Menghancurkan Institusi Pengawas, yang berarti Institusi yang seharusnya mengawasi pemerintah dilemahkan melalui perubahan hukum atau kebijakan.
- Penggunaan Hukum untuk Mengontrol Masyarakat Sipil yang berarti, Hukum digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berorganisasi.
Fenomena ini bisa dilihat di berbagai negara seperti Venezuela, Hungaria, Turki, dan Rusia, di mana pemerintah menggunakan hukum untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan menekan oposisi yang pada umumnya dapat dilihat dalam berbagai undang-undang dan kebijakan yang memperkuat kekuasaan eksekutif dan melemahkan institusi pengawas.
3. Dampak Autocratic Legalism Terhadap Pancasila dan Demokrasi
Praktik ini menimbulkan dampak signifikan terhadap Pancasila dan demokrasi di Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara, sejatinya mengedepankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial. Namun, Autocratic Legalism mengancam nilai-nilai ini dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum yang sebagaimana berikut:
Pertama, Autocratic legalism merongrong sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Dalam praktik ini, hukum seringkali digunakan untuk memberangus oposisi politik dan mengintimidasi mereka yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan menghilangkan rasa keadilan di masyarakat.Â
Sebagai contoh, Human Rights Watch dalam laporannya pada 11 Januari 2023, mencatat peningkatan signifikan dalam kasus penangkapan aktivis dan pembungkaman media yang kritis terhadap pemerintah. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana hukum dapat disalahgunakan untuk menekan kebebasan berekspresi dan hak politik, yang merupakan inti dari prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kedua, Autocratic Legalism mengancam sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Demokrasi yang sehat memerlukan partisipasi aktif dari rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Namun, ketika hukum digunakan untuk membungkam oposisi dan memanipulasi hasil pemilu, prinsip kerakyatan dan permusyawaratan menjadi hilang.Â
Menurut laporan Freedom House pada 4 Februari 2023, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 62 pada tahun 2020 menjadi 59 pada tahun 2022. Penurunan ini mencerminkan meningkatnya kontrol otoriter dan berkurangnya kebebasan sipil, yang merusak mekanisme demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi rakyat secara aktif dan adil.
Ketiga, Autocratic Legalism berdampak pada sila kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Ketidakadilan hukum yang diterapkan secara selektif menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar. Ketidakadilan ini membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan pemerintahan.Â
Studi Transparency International pada 30 Maret 2023 menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan pada skor 38. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat korupsi dan penggunaan hukum untuk melindungi kepentingan elite yang berkuasa, bukannya untuk menegakkan keadilan sosial.
Dampak Autocratic Legalism terhadap Pancasila dan demokrasi di Indonesia sangat merusak. Penggunaan hukum yang tidak adil dan manipulatif menghancurkan nilai-nilai fundamental Pancasila, melemahkan institusi demokrasi, dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
Untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila dan memperkuat demokrasi, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Masyarakat harus terus berjuang untuk memastikan bahwa hukum tidak disalahgunakan, dan pemerintah harus berkomitmen untuk menerapkan hukum secara adil dan transparan.
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Pancasila adalah fondasi moral dan politik yang harus dijaga dan dilestarikan oleh seluruh elemen bangsa. Namun, Autocratic Legalism telah menciptakan distorsi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam konteks demokrasi dan keadilan sosial. Hukum, yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi rakyat, telah disalahgunakan untuk memperkuat kekuasaan otoriter dan menekan kebebasan sipil. Fenomena ini tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial dan memperlebar kesenjangan sosial di Indonesia.Â
2. Rekomendasi
Untuk menyelamatkan Pancasila dari ancaman Autocratic Legalism, diperlukan upaya kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Pertama, masyarakat sipil harus aktif dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berkumpul.Â
Organisasi non-pemerintah, media, dan akademisi memiliki peran krusial dalam memantau dan melaporkan setiap penyalahgunaan hukum, serta mendidik publik mengenai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan kasus-kasus pelanggaran hukum harus dipertahankan agar penyimpangan dapat ditindak secara efektif.
Kedua, reformasi hukum harus menjadi prioritas utama. Sistem hukum Indonesia harus dijaga agar tetap independen dan bebas dari tekanan politik. Undang-undang yang memberikan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan, perlu direvisi atau bahkan dicabut jika perlu, untuk memastikan bahwa hukum berfungsi sebagai alat keadilan, bukan sebagai instrumen penindasan. Implementasi prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan hukum yang diambil.
Ketiga, pendidikan tentang Pancasila perlu diperkuat secara menyeluruh. Upaya ini mencakup penyuluhan yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila dan dampak negatif dari praktik autocratic legalism terhadap demokrasi. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang jelas mengenai pentingnya prinsip-prinsip Pancasila dalam kehidupan bernegara, serta bagaimana praktik otoritarian dapat merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun sejak era Reformasi.
Hanya dengan langkah-langkah ini, Pancasila dapat terus berfungsi sebagai landasan yang kokoh dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera. Upaya kolektif ini harus menjadi bagian integral dari komitmen untuk menjaga integritas nilai-nilai Pancasila dan memperkuat sistem demokrasi di Indonesia.
Sekian dari saya, terima kasih
"Mencintai kebenaran itu sama dengan mencintai Pancasila. Sebagai pedoman kebenaran maka Pancasila itu harus selalu menjadi fundamen etik dan sekaligus fundamen moral bagi kita untuk selalu berani menyuarakan kebenaran."-Â Sukidi
Sekian dari saya, terim kasih
#SALAM PANCASILA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H