"kita dalam mengadakan Negara Indonesia Merdeka itu, harus dapat meletakan negara itu atas suatu meja statis, yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakan rakyat, bangsa dan negara ini".
(Ir. Soekarno)
Analogi "meja statis" dan "bintang penuntun" merujuk pada konsepsi dasar negara (Pancasila), sekilas Bung Karno menginginkan agar pembentukan Negara Indonesia memiliki landasan pacu yang kukuh disertai semangat juang yang tinggi dalam membangun bangsa yang kuat dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga harus menjadi sabuk pengikat bagi elemen bangsa yang sekian lama telah mendiami Nusantara.
Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, jenius Nusantara juga mereflesikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.
Pancasila sebagai konsesus nilai telah jauh diimajinasikan oleh Bung Karno dalam analoginya yang terkenal: dasar statis dan lesitar (bintang penuntun). Soekarno membayangkan konsepsi Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa di atas mana negara Republik Indonesia dibangun serta menjadi bintang penuntun yang akan mengarahkan negara mencapai cita-cita perjuangannya. Soekarno melukiskan hal ini sebagaimana berikut:
Secara konstitusional, Pancasila diletakan sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia. Mengingat fungsinya sebagai fundamen bangsa dan negara maka keberadaanya tidak saja penting, tetapi mutlak diperlukan bagi pencapaian visi atau cita-cita sosial bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pedoman hidup sekaligus menjiwai seluruh praktik kekuasaan (politik) dalam rangka perwujudan kesejahteraan rakyat. Pancasila menjadi sumber etika dan moral dalam tata pergaulan hidup berikut cita ideal dari pada tujuan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan substansi dan raison d'etre-nya (keberadaan) nilai-nilainya, Pancasila memiliki kualifikasi sebagai norma dasar yang merupakan keyakinan normatif Indonesia. Sebagai norma dasar, Pancasila merupakan dasar "penilaian" (reflektif) tentang apa yang berharga dan apa yang penting, dan apa yang tidak, serta yang membentuk suatu kehidupan (termasuk kehidupan hukum) yang baik dan yang bermakna.
Pasca reformasi, Pancasila dapat disebut "terdeskreditkan" sebab dimasa lalu Pancasila pernah "diberhalakan" sebagai pembenaran ideologis dari segala sepak terjang kebijakan pada orde baru. Mirisnya Pancasila semakin ditinggalkan, berdasarkan survei LSI Denny JA Pancasila masih dikehendaki oleh 91,8 persen masyarakat. Namun angka itu terus menurun hingga pada tahun 2018 angka tersebut menjadi 69,1 persen.
Dalam konteks Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, seyogyanya segala Peraturan Perundang-undnagan di Indonesia memiliki 'cita rasa' Pancasila yang tercermin dalam setiap pembentukan dan pelaksanaan regulasi dan kebijakan. Berkaitan dengan hal tersebut, Akhmad Kemas Tajuddin, S.H., M.H. selaku Deputi Bidang Hukum , Advokasi dan Pengawasan Regulasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyatakan bahwa sejak tahun 2018 sampai 2022 terdapat 180 peraturan perundang-undangan yang dikaji oleh BPIP dan hasilnya terdapat 80% yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu, dewasa ini seringkali terdapat pembahasan baik itu secara formal atau informal (pengalaman pribadi penulis) terkait "Urgensi Pancasila untuk dijadikan sebagai hukum positif" dengan tujuan untuk membumikan kembali Pancasila khususnya dalam pembentukan dan pelaksanaan regulasi. Lantas bagaimanakah bila hal tersebut terjadi dan bagaimanakah konsekuensinya?
Hal pertama yang penulis pikirkan terkait gagasan tersebut adalah jelas akan mengkerdilkan Pancasila sebagai norma dasar karena berdasarkan pendapat kelsen, norma dasar adalah premis awal yang diasumsikan sebagai dasar di mana segala sesuatunya dimulai. Norma dasar tidak diturunkan dari manapun. Validitasnya juga diterima begitu saja. It is valid because it is presupposed to be valid, sehingga nomra dasar tidak perlu disesuaikan dengan norma lainnya.
Pancasila sebagai norma dasar memiliki fungsi untuk memberikan validitas pada norma-norma hukum yang ada dibawahnya. Jika dipadankan dengan teori kelsen tersebut, Pancasila tidak termasuk sebagai norma hukum karena faktor yang melegitimasi setiap norma hukum akan menjadi bagian dari hierarki norma hukum, kecuali norma dasar. Sebab posisi norma dasar sebagai premis awal, menyebabkan norma dasar melampaui tata hukum positif yang bersifat transcedental-logic dengan kedudukan di atas hukum positif.
Tanpa adanya norma dasar yang memberikan validitas pada konstitusi, norma-norma tidak akan memiliki karakter hukum, dan norma-noma di bawah konstitusi, produk hukum legislator, peradilan, dan organ pemerintahan juga tidak memiliki sifat hukum karena suatu norma hanya dapat diturunkan dari norma lain. Norma dasar menurut Kelsen memiliki fungsi, bahwa sebagai sistem normatif, sistem hukum membutuhkan “titik potong” dalam upaya mencari validasi.
Selaras dengan itu, Maria Farida selaku pakar hukum ketatanegaraan menyatakan bahwa Pancasila merupakan norma tertinggi sehingga tidak lagi dibentuk oleh norma di atasnya.
Pancasila ditetapkan terlebih dahulu yang kemudian fungsinya untuk tempat bergantung norma-norma hukum yang ada di bawahnya, sehingga Pancasila sebagai norma tertinggi keberlakuannya tidak dapat dilacak lagi tetapi harus diterima tanpa diperdebatkan lagi, baik itu sebagai hipotesis, fiktif, dan aksiomatif. Oleh karenanya, validitas Pancasila tidak perlu untuk dipertanyakan dan diperdebatkan kembali apalagi dengan mentransformasi Pancasila menjadi hukum positif yang justru "mengkerdilkan" Pancasila yaang merupakan hukum dasar.
Jika kita berlogika, transformasi Pancasila sebagai norma nonhukum menjadi norma hukum dapat berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab akan timbul masalah baru terkait lembaga mana yang berwenang untuk mewujudkan wacana tersebut mengingat sebagai awal segala norma hukum, Pancasila tidak dihasilkan oleh lembaga legislatif, tidak dibuat oleh organ pembuat hukum, dan keberadaannya diakui begitu saja.
Lantas siapa yang melahirkan Pancasila? Pancasila lahir sebagai jawaban orang-orang Indonesia atas pengalaman ko-eksistensi sebagai bangsa majemuk yang ingin hidup tenteram dan rukun. Oleh karena itu, keadilan, sikap adil, perikemanusiaan, dan keadian sosial misalnya, merupakan berberapa kata kunci (dalam Pancasila) untuk menjamin kokohnya Negara Kesaturan Republik Indonesia yang rukun dan tenteram.
Permasalahan lainnya jika Pancasila menjadi hukum positif dan masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah lembaga mana yang berwenang untuk menguji Pancasila dengan norma hukum dibawahnya (termasuk menafsirkan nilai-nilainya)? mengingat status quo saat ini Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Selain itu jika dikaji lebih mendalam lagi, Pancasila sebagai norma dasar dapat dikatakan melampaui grundnormnya kelsen dikarenakan Pancasila menurut Soekarno diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri, dan merupakan kristalisasi perasaan-perasaan, keinginan-keinginan serta isi jiwa bangsa Indonesia secara turun menurun.
Oleh karenanya Pancasila juga dapat dikatakan sampai pada derjajat volkgeist-nya (jiwa bangsa) Von Savigny yang terletak pada sifat Pancasila sebagai cerminan jiwa bangsa.
Menurut Savigny, tiap bangsa memiliki volkgeist. Terdapat hubungan organik antara hukum dengan volkegist. Bahkan, hukum sejatinya hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kerangka volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Legislasi oleh negara, hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati suatu bangsa.
Oleh karenanya, wacana untuk mentransformasikan Pancasila dari kondisi sekarang ini menjadi hukum positif dapat dikatakan sebagai suatu pemikiran yangkurang matang. Memang benar, wacana tersebut memiliki niat baik dengan tujuan untuk mengkonkretkan bentuk dan daya ikat Pancasila, namun patut untuk dikaji kembali secara mendalam melalui teori-teori hukum, sejarah dan politik hukum pembentukan Pancasila, serta konsekuensinya terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat menemukan legitimasi dan urgensi yang lebih kuat atas aktualisasi dari wacana tersebut.
Sekian tulisan singkat dari saya, bilamana ada kekurangan dalam penulisan mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Sumber:
1. Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Bernard L. Tanya Dkk;
2. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, Yudi Latif;
3. Pancasila dalam Teori Jenjang Norma Hans Kelsen, Dyah Ochtorina Susanti & A’an Efendi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H