Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Konsentrasi Hukum Tata Negara FHUB

Sarana menyalurkan pemikiran, hobby, dan mengisi kegabutan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila sebagai Sintesis Agama dan Negara

15 Juli 2022   15:54 Diperbarui: 15 Juli 2022   16:07 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ketahui bersama bahwa Pancasila adalah pembawa semangat penyatuan berbagai simpul aliran pemikiran. Pancasila adalah jati diri bangsa yang menunjukan watak dan kepribadian Indonesia sebagai masyarakat yang plural baik dari segi agama, budaya, adat istiadat, bahasa, maupun etnik. 

Indonesia adalah bangsa yang kaya akan warisan budaya. Terdapat deretan pulau dengan keanekaragaman sosial dan budayanya masing-masing. Dari Papua hingga Sumatera, hidup berbagai komunitas lokal dari berbagai ragam identitas sosial. Namun, yang membuat takjub, semua bisa menyatu dalam satu bangsa, yang oleh Ben Anderson dilukiskan sebagai komunitas terbayang yang membentuk suatu negara, yakni bangsa Indonesia.

Kehebatan Pancasila telah banyak diakui masyarakat dunia. Bertrand Russel, salah seorang filsuf tersohor asal Inggris pernah memuji Pancasila sebagai sintesis kreatif yang sangat luar biasa. Pernyataan tersebut dia sampaikan saat Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila dalam pidatonya di PBB. 

Saat itu Bung Karno menyela pernyataan Russel yang mengatakan bahwa dunia terbelah (hanya) dalam dua kubu ideologi dunia, kubu yang satu condong pada Declaration of American Indepdence, dan kubu yang lain pada Manifesto Komunis.

Kemudian Bung Karno membantahnya secara tegas dengan pernyataannya yang memukau, "Maafkan Lord Russel. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence". Ia lalu melanjutkan:

Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuati yang jauh lebih cocok... Sesuatu itu kami namakan Pancasila."

Mendengar pernyataan tegas dari Bung Karno, Russel pun mengatakan ide Pancasila sebagai suatu bentuk persenyawaan gagasan sebagaimana disebutkan yang sangat brilian. Pancasila tidak pernah membebek pada ideologi Kiri ataupun Kanan, yang pernah membelah dunia ke dalam dua blok: Barat (AS dan para pengikutnya)  dan Timur (Uni Soviet dan para pengikutnya). Indonesia secara ideologi, tepatnya mengambil jalan tengah antara mainstream Kiri dan Kanan yang diwakili oleh ideologi Liberalisme-Kapitalisme dan Komunisme-Sosialisme.

Dalam konteks ini Pancasila harus diletakan sebagai Weltanschauung yang hendak mengatasi paham golongan atau perseorangan. Dalam ideologi liberalisme, individu menjadi pusat perhatian. Sedangkan dalam komunisme penekanannya lebih pada kolektivisme. Dengan begitu, keduanya justru melahirkan polarisasi yang cukup tajam. Pancasila adalah sebuah negara yang meyakini adanya kekuatan Transenden (Tuhan). Inilah yang sekaligus membedakan kedua paham (Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis). 

Ideologi Pancasila memiliki kualitas paripurna dalam mengatasi ketegangan dan krisis yang dialami oleh kedua olarisasi Kiri dan Kanan. 

Garis pembeda antara Pancasila dan kedua ideologi politik (Weltanschauung), terdapat pada nilai fundamennya, sementara Pancasila mengakui kehadiran dan peran agama dalam penyelenggaraan urusan negara atau politik, sosialisme maupun liberalisme memisahkan secara tegas ruang agama dan negara (sekulerisme ekstrem). 

Pancasila bukanlah ideologi sekuler murni, sebab ia tetap memperhitungkan agama sebagai basis nilai dalam memajukan sebuah bangsa dan negara. Sehingga, ciri tersebut membedakan Indonesia dari negara-negara sekuler lainnya yang menganut kedua prinsip (ideologi) politik.

Penerimaan nilai-nilai agama dalam konseptualisasi Pancasila mengindikasikan sejak awal bahwa agama harus diberi ruang dalam proses penciptaan tatanan keadilan sosial. Agama bahkan berperan besar dalam memerdekakan Indonesia dari cengkraman kolonialisme-imperialisme Barat. 

Di sisi lain, Indonesia adalah sebuah negara di mana mayoritas warganya termasuk pemeluk agama yang taat. Kedua parameter historis dan faktual itu menjadi penting untuk ditimbang, mengapa agama memainkan peran besar dalam menyuarakan cita-cita kesejahteraan masyarakat. 

Tidak ada satu pun agama yang mengajak pada kemunkaran. Hal ini sekaligus bermakna bahwa bahwa dalam dirinya, agama itu sendiri adalah seruan pada kebaikan bersama. Nilai juang itu tentu selaras dengan konsepsi politik (negara) itu sendiri yang hendak membangun susunan masyarkaat yang adil dan sejahtera (common good).

Persamaan nilai dan cita-cita yang terkandung dalam konsep negara dan agama mengandaikan bahwa keduanya tidak mesti dipisahkan dalam laku perbuatan maupun pergaulan hidup masyarakat beradab. Agama dan negara sama-sama membawa cita-cita luhur kehidupan sosial yang makmur dan beradab. 

Persenyawaan ini memungkinkan keduanya menjadi satu untaian semangat juang yang apabila dipadukan akan membawa manfaat luar biasa. Meski demikian, keduanya harus kenali wilayah operasinya, yang berarti keduanya jangan sampai dicampuradukkan menjadi satu urusan yang nantinya mudah dislalahgunakan.

Dalam negara sekuler, wilayah agama dan negara memang mendapat perhatian yang paling serius. Agama dianggap sebagai urusan pribadi (privat), sementara negara dilihat sebagai konsepsi politis yang bersifat publik. Pengandaian ini memunculkan asumsi bahwa antara urusan privat dan publik harus dipisahkan, bukan hanya dibedakan. 

Domain agama berada pada urusan masing-masing individu, keluarga dan sektor privat lainnya. Sedangkan engara mengurusi hal-hal kepublikan, berkaitan dengan penyediaan fasilitas publik (pasar, jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, jembatan, dll.), maupun bentuk-bentuk pelayanan publik lainnya.

Pemikiran sekuler yang tidak ingin mengompromikan nilai-nilai agama dengan pengelolaan negara (politik) mengakibatkan terpinggirnya peran agama dalam negara.  

Agama tidak hanya kurang mendapat perhatian, tetapi juga mengalami penggerusan peran, fungsi dan tanggungjawabnya dalam memikul beban politik kesejahteraan. Jelas ini sangat keliru dlaam konteks jalinan hubungan antara kehidupan beragama dengan kehidupan politik. 

Agama sebagai sumber nilai, ajaran, dan norma bagi tata masyarkat yang mengatasi keseimbangan spiritualisme dan materialisme mestinya menjadi pedoman berharga dalam menopang sebuah peradaban besar. 

Dengan begitu, agama mampu menghadirkan suasana kebatinan warga negara yang damai dan seimbang. Ini jauh berbeda dari apa yang dituduhkan oleh para penganut sekulerisme, bahwa agama hanya menyumbang persoalan.

Sebenernya persoalan utama antara negara dan agama bukan terletak pada nilai dasar yang terdapat pada kedua konsep. Negara memang dari awal merupakan sebuah konsep politik, yang berarti kehadirannya melibatkan kontrak politik dari setiap warga negara. Sebagai konsep politik, sejak awal kelahirannya negara sudah merepresentasikan kepentingan publik. 

Publik dalam artian ini dimaknai sebagai kebutuhan yang melampaui urusan individu, kelompok, atau entitas sosial tertentu dalam sebuah aneka kehidupan warga negara yang kompleks, ditinjau dari aspek keagamaan, keetnikan, kedaerahan, maupun elemen sosial partikular lainnya.

Agama dan negara (secara nilai) dianggap tak dapat disatukan menurut para sekularis bertolak pada asumsi bahwa negara merupakan urusan publik, sementara agama adalah urusan privat. Pemahaman bias ini berimplikasi pada pembelahan antara urusan agama dan politik dalam kerangka bernegara (polity). 

Pancasila sendiri melihat parsialitas ini sebagai pangkal masalah dari ketidakmampuan mensinergikan negara dan agama itu sendiri. Karenanya, Indonesia sejak pembentukannya menolak blok yang berkiblat kepada Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis. Keduanya asama-sama menjunjung tinggi nilai sekulerisme dalam kehidupan polity. 

Satu hal yang nyaris tidak pernah ditemukan dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dari masa prakemerdekaan hingga kemerdekaan.

Sebagai doktrin paripurna, Pancasila bertolak dari keyakinan terhadap pentinya penyatuan anasir agama dan entitas kebangsaan dalam konsep negara Indonesia. 

Bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan, meski tak juga harus dicampuradukkan. Keduanya dapat bersanding dan mendorong satu sama lain. Agama dibutuhkan dalam konteks penyokongan nilai-nilai moral dan etis bagi tata hidup yang harmonis dan emansipatif. 

Negara Indonesia tanpa agama-agama yang ada didalamnya hanya akan menjadi negeri yang barbar. Agama berperan besar dalam membentuk fondasi sosial masyarakat Indonesia, jauh sebelum konsepsi negara-negara diperkenalkan. Karenannya, menegasikan agama-agama yang ada tidak hanya mengingkari sejarah bangsa, tetap sekaligus melucuti jati diri bangsa Indonesia.

Problem utama sulitnya mempertemukan kepentingan negara dan agama terletak pada kebesaran hati masing-masing pemeluk agama untuk hidup akur dalam semangat diskursus publik yang deliberatif (mufakat unruk bersama). 

Maka, PR tersebut dikembalikan pada masing-masing umat beragama, bukan memotong kompas lewat penggeseran agama dalam urusan politik. Pemerintah semestinya mampu menyusun regulasi yang diharapkan dapat merangkul agama dalam urusan publik. 

Sebab, baik kehidupan politik maupun agama, sama-sama menginginkan terciptanya masyarakat beradab, adil dan sejahtera. Tidakklah problem sosial yang tadinya merupakan tanggung jawab negara, juga pada waktu yang sama merupakan tanggung jawab keagamaan? Lalu mengapa keduanya dianggap tidak dapat dipertemukan?

Indonesia merupakan salah satu prototipe terbaik dalam konteks penjahiran negara-agama. Agama dapat hidup bersanding dalam semangat berbangsa dan bernegara. 

Budaya Indonesia yang sangat kental dengan wawasan kebhinekaan memungkinkannya mampu mengatasi polemik budaya-bangsa dalam bingkai persatuan. 

Inilah yang menjadi pembeda antara Indonesia dengan negara-negara sekuler lainnya di dunia yang terus dilanda konflik keagamaan. 

Sebagai bangsa besar yang kaya kebudayaan, Indonesia banyak belajar dari berbagai peristiwa masa lalu untuk membuatnya lebih dewasa dan berkeadaban tinggi. Pancasila sebagai semen perekat bangsa juga tak dapat dimungkiri berperan besar dalam besar dalam menjaga keutuhan NKRI.

Isu formalisme agama dalam kerangka politik memang tak jarang mencuat di bumi Indonesia. Tetapi, pengaruhnya tidak seberapa dalam menggoyahkan fondasi kesatuan NKRI. 

Hal ini menunjukan bahwa Indonesia sangat berhasil dalam mengelola urusan agama dalam konteks bernegara. Agama tidak dijauhkan dalam konteks bernegara. Agama tidak dijauhkan dalam kontestasi bernegara. Agama tidak dijauhkan dalam kontestasi politik, tetapi diakomodasi tuntutan tuntunannya.

Wujud kedewasaan ini;ah yang membuat bangsa ini menjadi besar di mata dunia. Para pendiri bangsa memiliki visi yang jauh ke depan dalam memberikan dasar nilau, yang di atasnya republik ini dibangun. Pancasila sebagai kristalisasi nilai dari berbagai anasir umat dan bangsa terajut dengan sempurna dalam semangat dan visi kenegaraan. 

Karena itu, di saat negara-negara di dunia tak mampu mengawal nilai-nilai agama dengan baik dalam semangat delibrasi publik, Indonesia justru mencontohkan hal sebaliknya. Inilah yang harusnya menadji kebanggaan bangsa Indonesia.

Akhirnya, harus dikatakan bahwa Pancasila merupakan Weltanschauung yang tidak hanya kreatif dalam melakukan sintesis ideologi besar dunia, tetapi sekaligus yang melibatkan agama dan negara itu sendiri. Pancasila tidak sekadar jalan tengah seperti yang disinyalir oleh Russel, tetapi satu-satunya ideologi nasional yang melampaui ideologi-ideologi besar lainnya yang pernah ada. Sebagai karya bersama, Pancasila adalah genuitas kearifan bangsa yang darinya Indonesia merdeka diletakkan. Satu mahakarya anak bangsa yang menjadi kebanggaan Indonesia pada khususnya, dan dunia pada umumnya.

Sumber: Buku karangan R. SADDAM AL-JIHAD yang berjudul PANCASILA IDEOLOGI DUNIA: SINTESIS KAPITALISME, SOSIALISME, DAN ISLAM 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun