Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara

Sarana Menyalurkan Pemikiran dan Keresahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Constitutional Disobedience: Konsekuensi Lemahnya Daya Ikat Putusan MK dalam Pengujian Undang-Undang

22 Mei 2022   22:07 Diperbarui: 22 Mei 2022   22:18 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dasar Pijakan Permasalahan

Pada 25 November 2021, untuk pertama kalinya semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materil melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan yang dibacakan oleh Anwar Usman selaku Ketua MK, secara institusional MK pada intinya menyatakan bahwa dalam pembentukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan" dan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.

Lebih lanjut, bilamana UU yang dimaksud tidak dilakukan perbaikan sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka UU tersebut dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

selain itu, MK juga memerintahkan kepada Pemerintah selaku pelaksana undang-undang untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU yang dimaksud.

Dasar Yuridis Daya Ikat Putusan MK

Kita ketahui bersama, berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam perkara pengujian undang-undang dengan undang-undang dasar.

Dalam perkara yang diadili oleh MK, putusan MK bersifat final, sehingga langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.

Sifat final dalam putusan MK mencangkup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) yang mana konsekuensi dari putusan tersebut adalah langsung mengikat sebagai hukum sejak selesai diucapkan di dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum (Pasal 73 Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2020).

Selain itu, putusan MK keberlakuannya tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara (inter parties) tetapi harus ditaati oleh siapapun (erga omnes), yang tidak terkecuali oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Pokok Permasalahan

Pada 27 Desember 2021, Pemerintah menetapkan dan mengundangkan peraturan pelaksana baru yang jelas-jelas mengacu pada UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah.

Bivitri Susanti selaku Pakar Hukum Tata Negara memaknai bahwa peraturan pelaksana lanjutan tersebut tidak perlu buru-buru diundangkan terlebih dahulu karena ada Putusan MK yang secara substansial membekukan UU Cipta Kerja sebagai dasar pijakan pembentukan Badan Bank Tanah.

Seharusnya bank tanah tidak perlu diluncurkan terlebih dahulu karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membekukan UU Cipta Kerja sebagai cantolan bank tanah. Putusan MK tersebut dimaknai secara konstitusional bersyarat, membeku saja dia, MK tidak menginginkan UU tersebut berlaku sehingga tidak boleh ada peraturan lanjutan dan kebijakan strategis yang mengacu padanya.

Begitupula dengan Prof Maria Sumardjono selaku Guru Besar FH UGM, beliau menyatakan bahwa terbitnya perpres tersebut tidak sejalan dengan putusan MK, khususnya pada poin ketujuh amar putusan. Prof Maria mengingatkan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku, namun sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan atau inkonstitusional bersyarat sejak putusan dibacakan sampai selesai dilakukannya perbaikan.

Poin ketujuh putusan MK tersebut menyatakan bahwa segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan. Serta, tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Menurutnya, Badan Bank Tanah ini termasuk dalam klaster Pengadaan Tanah yang masuk dalam kategori kebijakan strategis dan berdampak luas sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan amar putusan MK tersebut.

Analisis Pembahasan

Berdasarkan kajian mendalam penulis, memang benar bahwasannya putusan MK bersifat final and binding dan keberlakuannya erga omnes. Akan tetapijika dilihat berdasarkan amar dan akibat hukumya, putusan MK secara umum bersifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukumdan constitutief (menjadikan keadaan hukum tertentu dan menciptakan keadaan hukum baru). Dalam pengujian undang-undang, putusan MK yang mengabulkan permohonan bersifat declaratoir katena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Problematika utama dalam hal pengujian undang-undang di lingkungan MK adalah lemahnya daya ikat putusan MK dikarenakan tidak memiliki sifat condemnatoir (suatu putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi), yang kemudian ketiadaan sanksi dalam perkara pengujian undang-undang tersebut mengakibatkan fenomena dimana pihak termohon dari suatu perkara yang diputus oleh MK melakukan constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap putusan MK dengan tidak menaati dan melaksanakan putusan yang dimaksud.

Dalam tulisan ini, jelas bahwasannya Pemerintah melakukan constitutional disobedience dengan tidak mengindahkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara jelas, tegas dan lugas untuk membekukan daya ikat UU Cipta Kerja dan menangguhkan segala kebijakan strategis yang bedampak luas, serta melarang terbitnya peraturan pelaksana baru yang mengacu pada UU Cipta Kerja.

Lebih lanjut, idealnya daya ikat putusan MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan penyelenggara negara, akan tetapi perlu ditunjang oleh instrumen yang bersifat memaksa guna mewujudkan ketaatan terhadap prinsip dan nilai-nilai konstitusi.

berdasarkan pada sifat dan karakteristik hukum yang memaksa, penulis mengusulkan sebuah instrumen alternatif untuk menjaga ketaatan dan kepatuhan masyarakat dan penyelenggara negara dari tindakan pembangkangan atas prinsip dan nilai-nilai konstitusi yang dalam kasus ini termuat dalam putusan MK.

Solusi tersebut dapat dilakukan melalui pembebanan sanksi terhadap tindakan pembangkangan dengan tujuan untuk mengakibatkan efek jera pada pihak-pihak yang melakukan pembangkangan. Oleh katena itu, penulis sepenuhnya setuju dengan gagasan berupa pemberian sanksi dwangsom (uang paksa) sebagaimana diusulkan oleh Novendri M. Nggilu dalam Jurnal Konstitusi yang berjudul Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitutional Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi adalah solusi yang tepat.

Metode pembebanan sanksi dwangsom yang dimaksud adalah dengan dilakukan sebagaimana cara yang dilakukan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga, apabila terjadi pembangkangan terhadap putusan MK, maka  uang paksa akan dibebankan bagi para pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi yang termuat dalam amar putusan MK. 

Pembebanan tersebut akan diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab secara kelembagaan apabila pembangkangan dilakukan oleh lembaga, dan dibebankan kepada perorangan apabila pembangkangan dilakukan oleh orang perseorangan warga negara.

Pembebanan uang paksa kepada pihak yang bertanggung jawab secara kelembagaan harus dibayarkan dengan dana pribadi, bukan dana yang bersumber dari dana lembaga atau kas negara/daerah.

Oleh karena itu, untuk mengakomodir usulan tersebut penulis juga menyarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif untuk melakukan perubahan terhadap UU MK, dengan tujuan mengatur ketentuan pembebanan dwangsom atau uang paksa dalam hukum positif di Indonesia.

Berikut usulan substansi pasal yang diusulkan oleh penulis:

“Dalam hal pihak-pihak yang terkait dengan norma yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa.”

Dalam bunyi pasal tersebut, penulis mendesain pembebanan sanksi terhadap pelaku pembangkangan atas putusan MK tidak hanya sebatas untuk menjaga stabilitas penegakan keadilan berdasarkan prinsip dan nilai-nilai konstitusi semata, melainkan juga sebagai upaya penguatan terhadap kedudukan UUD NRI Tahun 1945 sebagai perwujudan supremasi hukum yang tiap-tiap pasalnya bersumber dan dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun