Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara

Sarana Menyalurkan Pemikiran dan Keresahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Constitutional Disobedience: Konsekuensi Lemahnya Daya Ikat Putusan MK dalam Pengujian Undang-Undang

22 Mei 2022   22:07 Diperbarui: 22 Mei 2022   22:18 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seharusnya bank tanah tidak perlu diluncurkan terlebih dahulu karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membekukan UU Cipta Kerja sebagai cantolan bank tanah. Putusan MK tersebut dimaknai secara konstitusional bersyarat, membeku saja dia, MK tidak menginginkan UU tersebut berlaku sehingga tidak boleh ada peraturan lanjutan dan kebijakan strategis yang mengacu padanya.

Begitupula dengan Prof Maria Sumardjono selaku Guru Besar FH UGM, beliau menyatakan bahwa terbitnya perpres tersebut tidak sejalan dengan putusan MK, khususnya pada poin ketujuh amar putusan. Prof Maria mengingatkan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku, namun sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan atau inkonstitusional bersyarat sejak putusan dibacakan sampai selesai dilakukannya perbaikan.

Poin ketujuh putusan MK tersebut menyatakan bahwa segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan. Serta, tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Menurutnya, Badan Bank Tanah ini termasuk dalam klaster Pengadaan Tanah yang masuk dalam kategori kebijakan strategis dan berdampak luas sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan amar putusan MK tersebut.

Analisis Pembahasan

Berdasarkan kajian mendalam penulis, memang benar bahwasannya putusan MK bersifat final and binding dan keberlakuannya erga omnes. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan amar dan akibat hukumya, putusan MK secara umum bersifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukum) dan constitutief (menjadikan keadaan hukum tertentu dan menciptakan keadaan hukum baru). Dalam pengujian undang-undang, putusan MK yang mengabulkan permohonan bersifat declaratoir katena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Problematika utama dalam hal pengujian undang-undang di lingkungan MK adalah lemahnya daya ikat putusan MK dikarenakan tidak memiliki sifat condemnatoir (suatu putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi), yang kemudian ketiadaan sanksi dalam perkara pengujian undang-undang tersebut mengakibatkan fenomena dimana pihak termohon dari suatu perkara yang diputus oleh MK melakukan constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap putusan MK dengan tidak menaati dan melaksanakan putusan yang dimaksud.

Dalam tulisan ini, jelas bahwasannya Pemerintah melakukan constitutional disobedience dengan tidak mengindahkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara jelas, tegas dan lugas untuk membekukan daya ikat UU Cipta Kerja dan menangguhkan segala kebijakan strategis yang bedampak luas, serta melarang terbitnya peraturan pelaksana baru yang mengacu pada UU Cipta Kerja.

Lebih lanjut, idealnya daya ikat putusan MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan penyelenggara negara, akan tetapi perlu ditunjang oleh instrumen yang bersifat memaksa guna mewujudkan ketaatan terhadap prinsip dan nilai-nilai konstitusi.

berdasarkan pada sifat dan karakteristik hukum yang memaksa, penulis mengusulkan sebuah instrumen alternatif untuk menjaga ketaatan dan kepatuhan masyarakat dan penyelenggara negara dari tindakan pembangkangan atas prinsip dan nilai-nilai konstitusi yang dalam kasus ini termuat dalam putusan MK.

Solusi tersebut dapat dilakukan melalui pembebanan sanksi terhadap tindakan pembangkangan dengan tujuan untuk mengakibatkan efek jera pada pihak-pihak yang melakukan pembangkangan. Oleh katena itu, penulis sepenuhnya setuju dengan gagasan berupa pemberian sanksi dwangsom (uang paksa) sebagaimana diusulkan oleh Novendri M. Nggilu dalam Jurnal Konstitusi yang berjudul Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitutional Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi adalah solusi yang tepat.

Metode pembebanan sanksi dwangsom yang dimaksud adalah dengan dilakukan sebagaimana cara yang dilakukan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga, apabila terjadi pembangkangan terhadap putusan MK, maka  uang paksa akan dibebankan bagi para pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi yang termuat dalam amar putusan MK. 

Pembebanan tersebut akan diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab secara kelembagaan apabila pembangkangan dilakukan oleh lembaga, dan dibebankan kepada perorangan apabila pembangkangan dilakukan oleh orang perseorangan warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun