Tuan Kim menghela nafas panjang. "Maaf karena sudah meninggalkanmu terlalu lama. Aku sudah punya keluarga di sini." Hanifah memandangi lelaki itu.
"Bagaimana denganku? Bukankan aku juga keluargamu? Kau yang bilang begitukan?" Tenggorokan Hanifah tercekat, suaranya gemetar. Karena cuaca dingin dan kekecewaan yang menghantamnya terlalu tiba-tiba. Dia tidak sempat membangun pertahanan diri.
"Maaf. Tolong maafkan aku. Aku sungguh menyesal" Tuan Kim meraih botol soju di meja. Tapi batal menenggaknya.
"Aku sudah terlalu jauh mencarimu ke sini. Tak mengapa kalau kau sudah melupakanku. Dan, itu normal kalau kau sudah punya keluarga lain. Aku hanya ingin melihatmu saja, bukan untuk masuk dalam kehidupanmu. Ibuku juga pasti tidak akan tenang di sana jika aku membebanimu."
Tuan Kim meraih tangan Hanifah. "Bagaimanapun, aku mencintaimu. Sangat. Kau bagian dari hidupku yang tidak bisa kulepaskan, sekuat apapun aku berusaha."
"Terimakasih sudah mengatakannya, Tuan Kim. Aku bahagia. Besok, aku ke Seoul. Ada peragaan busana dari mahasiswa Esmod International Fashion University. Aku harus ke sana sebelum pukul sepuluh pagi. Maaf tidak bisa menemanimu terlalu lama. Aku permisi."
Tuan Kim berdiri dari duduknya, "Boleh aku memelukmu?". Hanifah menggeleng. "Pelukan akan membuat kita menangis. Dan aku takut, aku tidak bisa pergi darimu. Lebih baik tidak. Let me love you in silent." Hanifah berbalik, meninggalkan Tuan Kim.
"Tunggu!" Langkah Hanifah terhenti. "Bisakan kau memanggilku ayah? Sekali saja. Aku telah menunggu lama untuk itu." Hanifah berbalik. Memperhatikan wajah Tuan Kim.
"Abeoji..."
Hanifah ternyata tidak benar-benar membenci Tuan Kim, tapi dia juga tidak lagi mencintai Tuan Kim seperti dulu. Perasaannya sekarang datar. Perlahan, dia merasa ikatannya dengan lelaki itu perlahan punah. Mengunjungi kota ini tidak lebih seperti berziarah ke tempat sakral. Menyisakan sesak tak tergambarkan. Hatinya tertusuk ribuah panah api. Sakit dan perih..
catatan sok ngarti: