Rena ingat percakapannya dengan Mama sewaktu mereka duduk berdua di taman belakang rumah. Sejak itu, tumbuh semacam rasa dalam hati Rena terhadap lelaki yang telah mengabdikan diri pada keluarga mereka. Semacam rasa iba. Dia tidak tahu bagaimana perasaan Paman saat ibunya meninggal, tapi dia bisa tahu seperti apa pedihnya ditinggalkan ayah. Mungkin karena dia dan Paman Matahari sama-sama tidak memiliki ayah, maka dia bisa merasakan betapa perih menanggung nasib seperti itu.
Suatu hari teman-teman mengolok-olokinya dengan sebutan anak haram. "Anak haram, anak haram. Lahir tapi gak punya papa." Dia pulang sekolah berurai air mata. Diraihnya gagang telepon, memutar nomor, yang menjawab suara laki-laki. Katanya Ibu Diana sedang meeting dengan pimpinan direksi. Akan saya sampaikan kalau dik Rena tadi menelepon, begitu kata si lelaki penerima telepon. Dia sungguh-sungguh sedih, lalu tertidur dengan sisa isak tangis dan pipi yang basah. Hingga larut, mamanya tak juga pulang. Tangisnya pecah untuk ke dua kali.
Kata Mama, dia punya papa. Mama punya fotonya. Foto Mama dengan seorang lelaki berperawakan tinggi dan rambut ikal yang disisir rapi ke samping. Berkulit cerah dan berhidung mancung. Tapi kenapa tidak ada foto dia dan Papa? Waktu itu kamu rewel sekali, suka menangis. Karena itu Papa pergi? Bukan. Lantas? Karena itu tidak ada juru foto yang mau mengambil gambar kamu. Kata Mama sambil terbahak. Ooohh..
Padahal, dia ingin sekali punya papa, sama seperti teman-temannya yang lain. Sering dia iri pada mereka yang diantarkan papanya ke sekolah, sebelum pergi, papa mereka akan membungkuk lalu mengecup lembut di kening, mengusap kepalanya dan berpesan, belajar yang rajin ya, sayang. Dia ingin sekali belajar cemberut pada papa saat keinginannya tidak terpenuhi, membanting pintu kamar kuat-kuat, dan papa akan datang dengan penuh penyesalan lalu meminta maaf, berbisik pelan dan memanggil namanya dengan suara yang berirama. Mama bilang hidup mereka akan baik-baik saja meski tidak ada papa di rumah. Tapi menurut dia tidak, dia mau papa. Mama punya papa, kakeknya. Sayang kakek kepadanya sama seperti sayang seorang papa. Dia membantah, kakek tidak bisa dipanggil papa! Mama melotot, dia tidak suka. Dibantingnya vas bunga biru kesayangan Mama. Dia hanya ingin tahu di mana papa, apa susahnya? Mama diam lalu pergi. Dia tidak pernah lagi membicarakan tentang Papa di depan Mama.
Pernah dia melempar kepala temannya hingga delapan jahitan. Dia dibawa ke ruangan guru, disuruh berdiri di pojok, ditanyai macam-macam hingga kepalanya pusing. Mama datang tergopoh-gopoh, berbicara dengan wali kelas dan meliriknya berkali-kali. Dia melihat mata Mama berkilatan seperti mata kucing di malam hari, dengan bibir merah menyala, mencolok sekali. Suara sepatu hak tinggi Mama berkeletak sepanjang koridor sekolah, ketiaknya sakit karena Mama menyeret tangannya terlalu kuat. Sampai di rumah, Mama mendorongnya ke sofa.
"Terserah kamu mau dikatain anak haram, Mama tidak perduli! Asal jangan pernah lagi Mama dipanggil ke sekolah karena ulahmu." Mama berteriak-teriak di ruang tengah sambil memegangi kepalanya.
Dia menunduk dalam, bukan menyesal, tidak sedih, dia hanya berpikir, kenapa temannya hanya luka delapan jahitan saja? Padahal, batu yang dilemparkannya sebesar kepalan tangan. Mungkin kepala Mamanya waktu itu juga sakit karena wali kelasnya terlalu banyak bicara, sama seperti yang dia alami. Kepalanya pusing kalau terlalu lama mendengarkan orang berbicara. Mama masuk kamar dan dia masih tertunduk saat Paman Matahari mendekatinya, menggendongnya, lalu mereka duduk berdua di taman belakang rumah.
Sampai larut, mereka duduk berdua di taman, saling diam, tidak ada yang bersuara. Paman Matahari memeluknya, erat tapi tidak sakit, hangat tapi terasa sejuk, dia mendengar suara jantung Paman Matahari yang berdetak. Dug.. dug.. dug.. dug..
Tak terasa air matanya tumpah membasahi dada Paman Matahari. Setengah mati dia berusaha menyembunyikan sengguk tapi tak berhasil. Dia merasakan sesuatu yang ganjil, semacam perasan aneh yang membingungkan. Paman mengusap rambutnya dan berkali-kali menciumi kepalanya. Dia ingin selalu seperti ini.
Semakin lama, dia merasa nyaman tiap kali Paman Matahari ada di dekatnya. Setiap hari, dia melalui banyak hal dengan semangat. Gairah belajarnya semakin meningkat, memang Mama tidak pernah sempat datang ke sekolah mengambil raport, tapi itu tidak membuatnya sedih. Dia hanya ingin selalu menjadi yang pertama. Di sekolah, di kursus piano, di kelas balet, di manapun. Dia selalu ingin punya sesuatu untuk dibanggakan pada Paman Matahari. Mama menghujaninya dengan banyak hadiah mahal. Di usianya yang ke tujuh belas, Mama membelikan mobil dan membayar supir khusus untuknya. Dan lagi, dia sudah diizinkan pacaran. Hatinya berbunga-bunga. Dia bahagia, sangat bahagia.
Setamat SMA, Mama melemparkan bermacam-macam brosur kuliah di luar negeri. "Kuliahlah di mana kamu suka. Paris, Australia, London, Perth, kemana pun." Tapi dia menolak. Dia hanya ingin kuliah di kota ini, dia ingin tetap tinggal di rumah ini. Tapi Mama bersikeras menolak. "Pokoknya kamu harus kuliah di luar negeri. Bekerja di sana kalau perlu." Kenapa? Kenapa Mama selalu saja merusak semua rencana-rencananya? Kenapa Mama tidak pernah ingin melihatnya bahagia dengan hidup yang telah dipilihnya sendiri? Dia berteriak-teriak kalap. Dia ngeri melihat pantulan dirinya di cermin, dia mirip Mamanya kalau sedang mengamuk.