Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melukis Papa

9 April 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nggak.

Terus?

Aku pengen kerja aja. Lumayan duitnya buat beli baju hangat.

Kamu butuh duit?  Berapa?  Nanti Mama kirimkan.

Gak usah, Ma. Aku pengen ngerasain duit hasil keringat sendiri aja.

Jadi kapan kamu pulang, nak?

Lihat nanti ya, Ma. Aku buru-buru nih, bye.

Bye. Telepon diputus dan dia tidak akan kemana-mana.

Bertahun-tahun sudah Rena tidak pulang, di tanah rantau, bukan tidak pernah dia mimpi akan tempat kelahirannya. Tapi apalah gunanya pulang jika setiap jengkal kota itu tidak lagi menyisakan kenangan masa lalu. Dia telah banyak mengubur ingatannya, dimulai saat pesawat yang mengantarkannya ke London meninggalkan bandara dan menyisakan  isak tangis Mama. Hanya tersisa satu bagian penting hidupnya yang tertinggal di kota itu. Yang tidak bisa dihapus, yang tidak bisa dibawa, yang memang harus selalu dikenang.

Penjaga kebun  itu, yang sering dia panggil dengan Paman Matahari, mungkin lebih tua beberapa tahun dari usia mamanya. Memiliki raut wajah teduh dengan sorot mata yang dalam. Urat-urat tangannya yang biru, bertonjolan di permukaan kulit yang mulai keriput. Bahunya bidang dan rahangnya kokoh. Kata mamanya, Paman Matahari telah lama ikut dengan keluarga mereka. Sejak Mama masih kecil, Nenek dan Kakek telah menganggap Paman Matahari seperti anak sendiri. Disekolahkan, seperti mamanya juga. Tapi paman tidak mau melanjutkan sekolahnya. Hanya sampai lulus SMP saja, katanya dia tidak mau membebani Kakek dan Nenek lagi.  Lalu meminta agar tetap dipekerjakan di keluarga Mama saja.

Apa Paman tidak punya keluarga?  Punya, kata Mama. Cuma sudah meninggal, ibunya meninggal terkena tubercolosa sewaktu Paman masih kecil. Paman tidak sempat mengenal ayahnya. Ayahnya dibawa orang-orang bersenjata pada malam hari dan setelah itu tidak ada kabarnya hingga hari ini. Dibawa? Kemana? Entahlah, tidak ada yang tahu. Kenapa? Dituduh ekstrimis, mata-mata Belanda. Adik-adiknya? Paman tidak punya adik. Kakak? Sama. Disangka ekstrimis juga? Bukan. Paman tidak punya saudara. Ibunya tidak menikah lagi sampai akhirnya meninggal. Berarti ibu paman istri setia? Tanya sendiri saja. Tanya sendiri? Ke siapa? Ke ibunya Paman Matahari.  Kan sudah meninggal. Ya sudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun