" Aku takkan seperti itu. Masih banyak yang bisa kulakukan kalau tetap hidup. Maaf, aku sedang tak ingin berdebat. Hari sudah malam." Malaikat tergelak. Bah! Lucu sekali lelaki ini. Tak puas rasanya jika belum benar-benar membuat lelaki ini putus asa.
" Ha ha ha... Ayolah, bilang saja kalau kau memang sudah lama ingin mati kan? Kalau benar, baik kupermudah." Darso berhenti, malaikat girang bukan kepalang.
" Tak semua orang berhidup susah ingin mati. Mungkin ada, tapi tak banyak." Tertohok! Malaikat benar tertohok, tepat sekali di jantung. Dia tak terima, dipepetnya langkah Darso.
" Apa maksudmu? " Tanda kalau ada kesal di suara malaikat tadi, Â nadanya meninggi.
" Manusia masih punya hati. Dan mereka takkan pernah tersesat karena hatilah yang menuntun mereka." Singkat saja jawaban Darso. Malaikat pencabut nyawa diam tak bergerak, apa ini? Tak pernah ada manusia yang menolak mati sebelumnya.
Darso terus mendorong gerobaknya. Lolongan anjing hutan makin samar, angin mulai memainkan perannya. Menghembus kuduk, dingin sekali. Darso mempercepat langkah tanpa menoleh lagi ke belakang.
Lelaki setengah baya itu tersenyum, teringat percakapannya dengan orang yang baru dikenalnya tadi. Bagi Darso, hidupnya sudah bahagia meski tak berkecukupan. Bahagia itu ada pada gerobaknya yang tua, rumah papannya, istri yang berdaster longgar, anak yang minta dipangku meski pundaknya penuh dengan lelah yang menumpuk.
Bagi Darso, mati itu perkara mudah. Tapi hidup juga anugerah. Jadi, kenapa tak dinikmati saja? Bahagia tak sekedar berlebih, tapi lebih pada hati. Dia tersenyum.
____________
Kolaborasi  : Irsyam Syam + Santy Novaria (No 016. duet asoy)
Note : UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG Kampung Fiksi sbb: KampungFiksi@Kompasiana