Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kramat!

14 Desember 2010   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lima hari Paman tak *menderes. Mendemam berkeringat seharian, ada biru lebam di lengan kirinya. Kata orang-orang Paman baru saja ditegur penunggu tempat yang dilewatinya. Sudah berkali ganti tabib tak kunjung sembuh juga, kami kemenakannya bergilir merawat Paman.

Paman tak punya anak, sungai menguap sewaktu Mak Cik mendulang pasir, menggulung tubuh kurusnya lalu mendamparkan nyawanya pada belukar bibir sungai. Meninggal.

__________

"Hei, ku dengar Pakcik engkau sakit?" Aku hanya mengangguk.

"Kenapa? Apa dah jadi?" Kuhentikan langkah, sepagi ini aku tak ingin diganggu. Kepalaku masih pusing kebanyakan mengunyah pinang untuk obat Paman.

"Aku dengar, Pakcik engkau *tersapo? Nape tak dibawa ke Datok yang berumah di ujung kampung tu? Dia kan sakti. Cubalah!" Naik darahku, akhirnya.

"He, engkau ni bising je lah! Dah pun dibawa ke sana, tak mempan. Jadi, engkau diamlah. Tak payah nak menyibuk urusan orang!"

Mampus! Biar lah di hirup nafasku yang berbau sirih ini. Aku pastikan dia terkejut melihat sikap kasarku. Tapi, lidah ku yang terbakar panas dari mengunyah sirih ikut berandil menyulut emosi.

Kisah Paman yang tertegur penunggu pohon karet agaknya sudah tersebar hingga kekampung lain.

____________

Telah banyak tahun kulewati, benar saja, banyak yang berubah. Kampung kami yang dulu desa seperti telah disulap oleh kekuatan maha dahsyat. Kini sudah ada taman berlampu menyala saban petang, menjelang sore banyak anak-anak berkejaran bermain bola. Aku tersenyum.

Tunggu dulu! Disebelah sana! Ya Tuhan, anak-anak itu keterlaluan sekali. Aku terkesiap. Mereka berebut memanjati pokok Mangga itu. Tak perduli kalau tepat disebelahnya tiga kuburan tua berderet berjajar. Tampaknya, ranum Mangga yang menggelayuti ujung rantingnya lebih menarik. Ah, anak sekarang, tak ada takut-takutnya.

_________

Pernah kudengar dari guru ku, kalau orang demam berhari-hari macam Paman tak sembuh-sembuh juga, ada kemungkinan terkena Demam Berdarah. Harus dibawa ke Puskesmas. Kalau tidak, akan khatam umurnya.

"Ah, Umak tak pecaya. Puskesmas itu cuma untuk orang berkurap ato nak melahirkan. Kalo penyakit macam Pakcik engkau tu manalah mungkin bisa sembuh disana." Umak asik menyangkal usulku sambil terus mengaduk nasi di periuk.

" Tapi Mak, tak salah pun kalo kita berusaha. Biar cepat sembuh." Guruku itu pintar, lulusan sekolah tinggi. Pasti aku mendengarkan usulannya.

"Tau apa guru engakau tu? Dia tuh orang kota, tak ada orang keteguran disana. Lagipun, kata Datuk tu obat dari dia berpantang dicampur ngan obat dari Pak Dokter. Bisa fatal akibatnya." Aku lelah sebenarnya meyakinkan Umak.

" Tapi, Mak..." Belum sampai kalimat ku, Ibu sudah memotong.

"Banyak nian cakap engkau ni. Baik kau basuh piring tu. Selesai perkara. Tak perlu kau menyoal Umak lagi." Kalau sudah sampai pada kalimat 'selesai perkara', berarti Umak benar-benar tak ingin disanggah. Aku terdiam, telak!

___________

Kampung kami kini semakin ramai, semakin padat pula penduduknya. Tak macam bertahun lalu, tiap rumah masih berpekarangan. Dulu, tiap menjelang Maghrib tak ada anak-anak berkeliaran dirumah. Pantang. Nanti disembunyikan hantu, tak pulang lagi kerumah.

Tapi sekarang, alamak! Makin sore, makin banyak anak-anak bermain. Bahkan tak sikit pula orang tua mereka menemani. Kubandingkan dengan Ibuku dan Ibu teman-temanku, mereka akan panik sekali jika anaknya tak pulang hingga lewat Maghrib.

"Joloklah dengan kayu ni!"

Kulihat seorang anak mengangsurkan kayu lapuk pada temannya yang sedang menggapai-gapai buah Mangga. Makin kutajamkan penglihatanku, anak itu sekarang lebih berani. Dia berdiri diatas kuburan, dan kayu yang akan diberikannya itu, itu kayu nisan.

Malang sekali orang yang berbaring disana, tak lagi dihargai. Meski dia sudah mati sekalipun. Bayanganku lari pada cerita masa kecil kami bertahun silam...

__________

"Baik kita pulang. Kata Umak aku, tak boleh bermain sejauh ni."

"Iyalah, mari kita *balek."

"Eh, jangan lewat sini. Didepan sana ada kuburan Wak Japon."

"Kuburan Wak Japon? Mana?"

"Engkau tak tau? Itu sebelah sana. Buta lah mata engkau tu."

"Eh, engkau jangan maintunjuk kuburan sembarangan. Tak baek. Kualat nanti."

"Alamak, dah sempat. Macam mana ni?"

"Kalau nak menunjuk kuburan, jari harus engkau *pengkokkan. Habis tuh masukkan dalam mulut, kalau tak ingin kena tuah"

"Iya lah.. Iya lah.. Sekarang aku masukkan mulut."

Serentak kami berlarian pulang. Gerimis dipenghujung hari yang beranjak petang adalah panggilan alam menyuruh kami menyudahi permainan.

______________________________________

Catatan Pelengkap:

Menderes : Mengambil getah dari pohon karet.

Tersapo : Keteguran makhluk halus.

Balek : Pulang kerumah.

Pengkok : Bengkok, kalau untuk jari biasanya dilipat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun