Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Pesisir Kampung Nelayan

25 November 2010   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berhitung menit aku amati, benar dugaan ku bahwa dia berjari enam ditangan kiri.

"Tak perlu heran, yang seperti  ini sudah biasa." sambarnya menjawab tanya dalam kepalaku. Sontak aku terhenti mengambil gambar dirinya. Tengkukku meremang, tegang. Tak tahu harus berbuat apa, senyumpun tak cukup menutupi ketegangan antara kami. Dari situlah bermula aku mengenalnya.

Entah karena pesisir pantai ini semacam tempat berlabuh perahu nelayan atau memang kebetulan saja, sepagi ini aku berpapasan lagi dengan dia. Sayang, dia tak menoleh padaku. Segera lenyap senyum yang tadi aku siapkan namun tak berbalas. Aku sedikit kikuk.

Dia berjalan terus, menunduk memanggul jala dipundak. Fikiranku melayang pada siaran di televisi tentang lelaki penakhluk ombak. Sebuah himbauan untuk menjadi nelayan, buatan pemerintah berkedok iklan layanan masyarakat.

_______________

Sedang aku asik memandangi anak kecil berpacu sampan di tengah laut nun disana, tertangkap sosok bayang dekat kakiku, ternyata dia. Kami lalu beradu pandang. Perasaan itu muncul kembali, rasa gugup rikuh yang  menelikung. Kurasa dia pun tak beda denganku. Nampak dari tingakahnya yang segera menjauh begitu saja.

Sepagian tadi hujan turun sesekali guntur, menjelang petang matahari merona jingga kemerahan. Semburat pelangi tersamar dibalik kemilau senja. Disatu perahu yang bersandar di tepian pantai, lelaki itu duduk berjulur kaki. Meski perahu oleng kanan, tetap tak mempengaruhi kenyamanannya.

Samar kudengar dari tempat ia berada bunyi harmonika menyayat perasaan. Kutebak  sebuah lagu patah hati dibalut irama sendu. Mendengarnya, timbul semacam pilu yang mendalam. Nadanya teratur syahdu tapi juga merisaukan. Hingga suara itu berhenti, aku masih terlarut dalam sisa dengungan di kepala.

Begitu menyadari kehadiranku, dia beranjak pergi. Menyambar jala dan kadangan karung plastiknya.

_________________

Dua hari menjelang hari terakhir singgah, kuberani-beranikan mendekati dia. Kini kami saling berhadapan. Sekilas setelah menoleh padaku, dilanjutkannya lagi mendempul perahu itu. Perhatiannya tak juga beralih padaku, dengan sigap kusambar tangannya. Kugenggam kuat sekali, nyata ada perlawanan di sana. Tapi, aku harus lebih kuat. Agar dia merasakan hangat tanganku mengalir hingga darahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun