Mohon tunggu...
Panggah Ardiyansyah
Panggah Ardiyansyah Mohon Tunggu... -

seorang anak bangsa yang berusaha mengenal dan mencintai beragam budaya Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bayat, Sang Pelestari Tradisi Putaran Miring

14 Februari 2012   08:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:40 2470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_171138" align="aligncenter" width="500" caption="Foto: Panggah Ardiyansyah"][/caption] Prolog

Hari masih belum beranjak siang ketika saya dan pacar memasuki perbatasan Sleman-Klaten. Berteman dengan sinar mentari pagi, kami berusaha menemukan sebuah daerah bernama Bayat. Tujuan kami ke sini adalah untuk mengetahui produksi dan pembuatan gerabah di daerah Bayat secara langsung yang konon sudah berlangsung sejak jaman prasejarah.

Untuk menemukan daerah ini sendiri tidak sulit karena sudah tersedia marka penunjuk jalan yang cukup jelas. Dari arah Jogja, kami kemudian berbelok menuju selatan setelah melewati Pabrik Gula Gondang. Daerah Bayat akan ditemui setelah sekitar 30 menit perjalanan dari Jalan Jogja-Solo. Sekitar pukul 08.30 sampailah kami pada gerbang Desa Wisata Melikan di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Setelah melalui gerbang ini, suasana desa gerabah sangat terasa karena kita disambut dengan berbagai kerajinan gerabah yang dipajang di toko-toko yang terletak di pinggir jalan. Terkait penamaan, walaupun secara administratif masuk ke dalam Kecamatan Wedi, gerabah yang dihasilkan sering disebut sebagai gerabah Bayat.

Sejarah Gerabah di Bayat

[caption id="attachment_171136" align="alignleft" width="180" caption="Foto: Panggah Ardiyansyah"]

1329270463245421698
1329270463245421698
[/caption]

Menurut masyarakat sekitar, adanya tradisi pembuatan gerabah di Bayat tidak bisa dilepaskan dari cerita mengenai Sunan Pandanaran. Alkisah, Sunan Pandanaran, atau yang sering juga disebut sebagai Sunan Tembayat atau Pangeran Mangkubumi, merupakan tokoh penyebar agama Islam. Beliau merupakan putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Ketika menggantikan ayahnya menjadi bupati Semarang, Ki Pandanaran mulai melupakan ajaran-ajaran Islam, sehingga setelah mendengar hal ini, Sultan Demak Bintara mengirim Sunan Kalijaga untuk menyadarkan Sunan Pandanaran.

Singkat cerita, Sunan Kalijaga kemudian menyarankan Sunan Pandanaran untuk mengembara ke daerah selatan bersama istrinya, tanpa membawa harta. Sampailah beliau di daerah Wedi dimana beliau membangun sebuah masjid di Desa Melikan sebagai wujud syiar Islam. Dalam masjid tersebut beliau tempatkan sebuah tempat yang terbuat dari tanah liat untuk menampung air wudhu.

Tempat air wudhu tersebut oleh masyarakat sekitar kemudian dinamakan genthong. Genthong tersebut dibuat dengan indah dengan mengambil tanah liat dari perbukitan setempat. Sunan Pandanaran pun mengajarkan bagaimana cara membuat genthong dari tanah liat. Pertama-tama warga membuat genthong tersebut untuk keperluan sendiri sebagai tempat air wudhu di rumah, tetapi ketika sudah banyak yang dibuat, akhirnya genthong tersebut mulai dijual. Seiring perkembangan jaman, warga Bayat pun mengembangkan genthong ke bentuk-bentuk lain.

Berawal dari cerita tadi, dapat kita simpulkan bahwa gerabah Bayat telah berusia kurang lebih 600 tahun karena Kerajaan Demak sendiri berdiri pada akhir abad ke-15. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tahun 2005, menemukan fakta bahwa kemungkinan gerabah Bayat berusia jauh lebih tua lagi, tepatnya dari jaman prasejarah. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa gerabah Bayat masih menggunakan cara-cara lama (prasejarah) mulai dari alat-alat yang digunakan, proses pembuatannya, sampai dengan cara pembakarannya. Fungsi gerabahnya pun masih mempunyai persamaan dengan fungsi gerabah pada jaman prasejarah yaitu sebagai benda praktis dan religius. Dari hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan gerabah di Bayat sudah berlangsung sejak dari jaman prasejarah.

[caption id="attachment_171140" align="aligncenter" width="300" caption="Foto: Panggah Ardiyansyah"]

1329270803175986970
1329270803175986970
[/caption]

Ciri gerabah Bayat mempunyai perbedaan bila dibandingkan dengan produksi gerabah di tempat lain. Warna kehitam-hitaman setelah dibakar menandakan keasliannya. Gerabah Bayat tidak pernah dicat seperti gerabah Kasongan atau gerabah lainnya. Warnanya lebih natural yang merupakan hasil perpaduan dari tanah liat khusus yang diambil dari sekitar desa dengan ditambahkan bubuk pasir halus. Perpaduan ini menghasilkan gerabah yang lebih kuat sehingga tidak gampang pecah ketika dibakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun