Sementara itu, orang dengan pendapatan Rp10 - 30 juta per bulan mungkin tidak terlalu merasakan dampaknya. Ketidakadilan ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa banyak pihak menolak kebijakan tersebut.
Apa yang salah dengan negara yang punya banyak sumber daya ini?
Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia. Mulai dari hasil pertaniaan, tambang emas, batubara, hingga cadangan gas di Natuna, negeri ini memiliki modal besar untuk menopang perekonomiannya.
Namun, fakta bahwa pemerintah masih harus terus menaikkan pajak menunjukkan ada yang tidak beres dalam pengelolaan sumber daya ini.
Tidak perlu jauh-jauh, Singapura adalah negara kecil yang nyaris tanpa sumber daya alam. Namun, mereka berhasil membangun perekonomian yang stabil dengan tarif PPN hanya 9%.
Rahasianya terletak pada tata kelola yang efisien, sistem perpajakan yang ramah, dan investasi besar pada pendidikan serta teknologi.
Di Indonesia, kita masih bergulat dengan masalah klasik yaitu korupsi, kebocoran anggaran, dan tata kelola yang terkenal tidak efisien.
Data dari KPK menunjukkan bahwa setiap tahun, triliunan rupiah anggaran negara hilang akibat korupsi. Jika uang sebesar ini dikelola dengan baik, kebutuhan untuk menaikkan pajak mungkin tidak akan muncul.
Salah satu argumen utama yang sering diabaikan oleh pendukung kebijakan ini adalah bagaimana kenaikan PPN akan berdampak di lapangan.
Teorinya, kenaikan 1% PPN itu seharusnya berarti penambahan harga barang sebesar 1% juga. Namun, dalam praktiknya, kenaikan harga sering kali jauh lebih tinggi tidak 1%.
Misalnya, harga suatu barang saat ini Rp11.000 dengan PPN 11%, maka akan menjadi Rp11.110 jika tarif PPN naik menjadi 12%. Tetapi di dunia nyata, pedagang mungkin membulatkan harga menjadi Rp12.000. Dari sudut pandang pembeli, kenaikan ini bukan lagi 1%, melainkan nyaris 9%.