Mental ini, jika terus dibiarkan, hanya akan membuat kita semakin bergantung pada orang lain. Dan ketika harapan itu tidak terpenuhi, kekecewaan yang muncul akan jauh lebih besar.
Apa solusinya? Tentu bukan berarti kita harus berhenti membantu satu sama lain. Tapi penting bagi kita untuk menanamkan semangat kemandirian.
Mulai dari hal kecil: percaya pada diri sendiri, bekerja keras, dan tidak menjadikan belas kasihan sebagai jalan utama untuk keluar dari masalah.
Soal rezeki nomplok, mari kita bicara tentang realitasnya. Hadiah, apa pun bentuknya, tidak pernah dirancang untuk semua orang.
Jika ada 10.000 orang, hanya satu atau dua yang mungkin mendapatkannya. Itulah pola dasarnya: selalu eksklusif, selalu terpusat pada sedikit orang, sementara sisanya hanya bisa menatap dan berharap. Fenomena seperti ini sebenarnya hanyalah cerminan dari bagaimana dunia bekerja.
Saya sepakat dengan pendapat Mas Puthut EA, bahwa dunia ini memiliki mekanisme yang secara alami memastikan jumlah orang miskin selalu lebih banyak daripada orang kaya.
Ketimpangan semacam ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut bagaimana sistem sosial dan psikologis kita dirancang.
Orang miskin selalu menjadi mayoritas, karena roda ekonomi membutuhkan mereka untuk tetap berputar. Tanpa mereka, tidak ada tenaga murah, tidak ada pasar yang besar, tidak ada narasi "kesuksesan" yang bisa dirayakan oleh segelintir orang di puncak.
Kejadian seperti yang dialami Pak Sunhaji menjadi bukti nyata dari bagaimana mekanisme ini bekerja dalam skala kecil.
Di satu sisi, ia mendapat simpati besar hingga mengalir donasi ratusan juta. Tapi, mari jujur: apa yang terjadi pada ribuan penjual asongan lain yang mungkin hidup dalam kondisi lebih sulit daripada Pak Sunhaji?
Mereka tidak viral, tidak terekspose, dan tidak mendapatkan rejeki nomplok. Mereka hanya melanjutkan hidup dalam keheningan, tanpa ada yang melirik.