Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Beramai-ramai Bertani di Ladang Orang

16 November 2024   05:13 Diperbarui: 16 November 2024   08:21 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gambar Sendiri

Ada masa ketika saya merasa menjadi orang asing di dunia yang saya jalani ini. Dunia visual, tempat saya bekerja sekarang, bukanlah rumah asli saya.

Secara formal, saya lahir dari rahim teknik, tumbuh dengan oli dan kunci pas, bermimpi menjadi engineer besar di NASA. Tapi hidup, seperti biasa, penuh plot twist. Jalannya berkelok, lalu membawa saya ke sebuah ladang yang sama sekali berbeda: desain grafis, fotografi, videografi---sebuah ranah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Di awal perjalanan, ada rasa canggung. Bukan hanya karena saya merasa menjadi pendatang baru di sini, tetapi juga karena ada ketakutan lain yang tak kalah besar: kekhawatiran dianggap "mengambil lahan" orang lain.

Bayangkan, saya lulusan teknik, tiba-tiba muncul di dunia visual, bersaing dengan mereka yang memang menghabiskan bertahun-tahun di bangku kuliah desain grafis, multimedia, atau seni rupa. Wajar kalau rasa minder seringkali muncul.

Rasa itu semakin menjadi ketika pertama kali saya mencoba menunjukkan karya saya di media sosial facebook. Bukannya mendapat apresiasi atau kritik membangun, justru yang saya terima adalah komentar-komentar sarkas dan sindiran pedas.

Bermacam-macam komentar turut meramaikan postingan itu. Ada yang bilang desain saya terlalu sederhana, terlalu mirip dengan visual ini-itu, hingga komentar yang menyedihkan seperti yang saya tulis sebelumnya.

Inti komentar-komentar itu seolah menyudutkan saya ke pojok. Mereka membuat saya merasa kecil dan tak pantas berada di sini. Ditempat yang semestinya milik mereka.

Saya pun semakin memilih bekerja di bawah radar---menyelesaikan proyek-proyek saya secara diam-diam, tanpa gembar-gembor, tanpa eksposur. Ada semacam perasaan bahwa karya saya tak cukup layak untuk dipamerkan.

Seiring waktu berjalan, hal-hal tidak mengenakkan sedikit berkurang. Saya memberanikan diri klik tombol "gabung" ke berbagai grup dan komunitas daring di media sosial. Grup Freelancer Indonesia, Muslim Designer Community, Komunitas Desain Grafis Indonesia dan masih banyak lagi. Butuh waktu hampir setahun untuk menyadari bahwa ternyata saya tidak sendirian.

Bertani di Ladang Orang, Tapi Bersama-sama
Saya mulai menemukan bahwa ada banyak sekali orang di Indonesia yang berkarier di dunia kreatif tanpa latar belakang pendidikan yang relevan. Tidak sedikit dari mereka yang, seperti saya, datang dari jalur yang sama sekali berbeda.

Eksistensi mereka bermacam-macam. Lulusan ekonomi sukses jadi desainer grafis, kuli bangunan menjadi Digital artist, guru sd freelance backend, hingga mereka yang bukan siapa-siapa tapi sukses dari hobinya memfoto jenis fauna kecil dan masih banyak lagi.

Mereka berkarir lintas negara, mengelola proyek-proyek dari klien di Amerika, Eropa, Australia, dan lainnya. Menariknya sebagian besar mereka bekerja dari rumah, cukup dengan komputer atau laptop dan koneksi internet, mereka menghasilkan dolar, euro bahkan hingga dinar.

Fenomena ini membuat saya berpikir ulang. Apa yang tadinya saya anggap sebagai "mengambil lahan orang lain" ternyata bukanlah sesuatu yang eksklusif milik saya. Kenyataannya, ada ratusan, bahkan ribuan orang di Indonesia, yang juga bertani di ladang orang---melintasi batas-batas tradisional dalam dunia karier.

Di sini, "bertani di ladang orang" bukan semata-mata berarti kita berkarier di dunia yang seharusnya dikuasai oleh mereka yang memiliki gelar formal di bidang itu. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana teknologi dan internet menciptakan ekosistem baru yang memungkinkan siapa saja belajar, berkembang, dan bersaing.

Kultur Baru, Virus Baru
Saya menyebut ini sebagai sebuah kultur baru. Sebuah virus yang, jika kita sudah terpapar, sulit untuk tidak terpengaruh. Kita melihat peluang, kita mencoba, dan akhirnya kita menemukan diri kita benar-benar larut di dalamnya.

Seiring waktu, saya menyadari bahwa internet telah menghapus banyak batasan tradisional. Kalau dulu seseorang harus menempuh pendidikan formal untuk masuk ke dunia audio visual, sekarang cukup dengan niat belajar dan akses ke internet, siapa pun bisa menjadi editor.

Ada ribuan tutorial gratis di YouTube, ratusan blog yang memberikan panduan, dan puluhan komunitas daring yang selalu siap membantu dan berbagi ilmu.

Kultur baru ini menciptakan ekosistem yang inklusif. Orang-orang dari berbagai latar belakang---baik yang lulusan seni rupa maupun mereka yang sama sekali tidak pernah belajar seni secara formal---bertemu di tempat yang sama. Mereka bekerja bersama, berbagi ilmu, dan bersaing secara sehat.

Tentu, ini bukan berarti pendidikan formal menjadi tidak penting. Untuk beberapa bidang, seperti kedokteran atau penerbangan misal, jalur formal tetaplah mutlak.

Tapi untuk bidang kreatif seperti desain, fotografi, video atau kepenulisan, sepertinya karya nyata jauh lebih diutamakan daripada sekedar selembar ijazah. Toh tidak kuliah pun, Agus Mulyadi sukses menulis lima buku.

Tidak Sendirian di Lautan Ini
Dari semua pengalaman dan pengamatan saya, satu hal yang paling menenangkan adalah menyadari bahwa saya tidak sendirian. Lautan ini ternyata begitu luas, dan ada banyak sekali perahu lain yang berlayar di dalamnya.

Bertemu dengan orang-orang yang juga "bertani di ladang orang" membuat saya lebih percaya diri. Saya tidak lagi merasa seperti penyusup. Sebaliknya, saya merasa menjadi bagian dari sebuah gerakan besar---sebuah revolusi kecil dalam dunia kerja, di mana batas-batas lama mulai runtuh dan digantikan dengan peluang baru yang lebih inklusif.

Sekarang, ketika saya melihat karya saya sendiri, saya tidak lagi terlalu khawatir dengan pendapat orang lain. Saya tahu, ada banyak orang di luar sana yang juga memulai dari nol, belajar dari internet, dan sekarang berdiri di panggung yang sama.

Dan pada akhirnya, karya kitalah yang berbicara melalui lampiran portfolio pada proposal penawaran. Entah kita lulusan formal atau otodidak, yang penting adalah bagaimana kita terus belajar dan berkembang.

Bertani di ladang orang bukan lagi tentang siapa yang berhak dan siapa yang tidak. Ini adalah tentang bagaimana kita beradaptasi dengan dunia yang terus berubah, tentang bagaimana kita menemukan peluang di tempat yang tak terduga, dan tentang bagaimana kita terus bertahan dan berkembang.

Jadi, untuk siapa saja di luar sana yang juga merasa seperti saya---merasa menjadi pendatang di dunia yang baru---ingatlah, kamu tidak sendirian. Kita semua ada di lautan yang sama, berlayar bersama, dan belajar dari setiap ombak yang datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun