Sebaliknya, di kalangan warga perkampungan atau kawasan pinggiran yang masih terbiasa dengan praktik hidup tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah ke sungai atau membakar sampah secara terbuka. Maka, sulit bagi isu lingkungan untuk diterima secara merata di seluruh lapisan masyarakat utamanya akar rumput.
Selaras dengan teori "politik populer" yang dikemukakan Clifford Geertz dalam studinya tentang politik di Jawa. Menurut Geertz, para politisi akan cenderung memainkan isu-isu yang dekat dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat, yang memiliki manfaat langsung.
Dalam konteks Pilkada ini, janji bantuan langsung, sembako, atau program kesejahteraan lebih menarik simpati masyarakat dibandingkan program lingkungan yang dampaknya tidak langsung dirasakan.
Contoh, seorang calon yang berjanji menyediakan paket sembako untuk warga terdampak krisis ekonomi akan lebih mudah mendapat hati masyarakat ketimbang calon yang menawarkan pembangunan pos pengelolaan sampah di tiap kelurahan.
Demikian juga Rhenald Kasali juga mengangkat konsep serupa dalam bukunya yang menyinggung public engagement. Menurutnya, pemimpin lokal cenderung mengikuti aspirasi mayoritas, terutama di tengah masyarakat yang masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dengan kondisi ekonomi yang masih rentan, masyarakat lebih menginginkan kepastian ekonomi, bukan janji yang terlalu jauh dampaknya dari kehidupan sehari-hari.
Selain masyarakat, ada basis lain yang mungkin juga berperan besar dalam kampanye para calon kepala daerah, yaitu dari dimensi industri dan pengusaha.
Industri-industri besar, terutama yang menghasilkan limbah, diduga punya peran penting dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam pendanaan politik. Membicarakan isu lingkungan secara tajam berpotensi menyentuh kepentingan beberapa pelaku industri ini, yang bagi calon kepala daerah bisa menjadi tantangan tersendiri.
Beberapa kasus polusi sungai atau udara misalnya, seringkali melibatkan industri besar seperti pabrik hingga kegiatan pertambangan.
Jika calon kepala daerah mengusung program yang ketat dalam mengawasi limbah industri, ia tidak hanya berisiko kehilangan dukungan dari pengusaha, tetapi juga bisa menghadapi masalah finansial dalam kampanye. Dalam hal ini, isu lingkungan menjadi "jebakan politik" yang tak ingin banyak kandidat ambil risiko.
Fenomena di atas tidak hanya terjadi dalam Pilkada kali ini, tetapi juga dalam berbagai kompetisi politik di Indonesia.
Burhanuddin Muhtadi berpendapat bahwa politik praktis di Indonesia kerap kali terjebak pada politik elektoral, di mana politisi berusaha menyelaraskan diri dengan apa yang disukai pemilih.