Ini bisa dilihat dari seringnya istilah "politik transaksional" digunakan dalam kajian politik Indonesia, di mana setiap keputusan politik kerap kali berbasis tawar-menawar kekuasaan, bukan berdasarkan prinsip atau ideologi yang jelas.
Tentu, saya memahami bahwa dalam politik, kompromi adalah bagian dari permainan. Tapi, tidakkah kita berhak berharap sedikit konsistensi dari para pemimpin kita? Tidakkah seharusnya janji politik itu dipegang setidaknya sampai beberapa bulan setelah pemilu?
Ada satu istilah yang setidaknya pernah saya baca, Political Fatigue, yaitu rasa lelah atau jenuh yang dirasakan oleh masyarakat terhadap sistem politik yang kerap kali mengecewakan. Masyarakat menjadi skeptis terhadap janji-janji politikus karena berulang kali dibohongi atau tidak melihat perubahan yang nyata.
Dalam konteks Indonesia, political fatigue ini sangat nyata dan menjadi alasan mengapa banyak orang, termasuk saya, cenderung apatis atau bahkan sinis terhadap janji politik.
Ini juga semakin memperkuat alasan mengapa saya memilih untuk menjaga jarak dari janji-janji politik. Bukan karena saya apatis terhadap politik itu sendiri, tetapi karena saya telah belajar dari pengalaman bahwa janji-janji tersebut jarang sekali dipegang.
Seperti yang dikatakan Dosen saya Pak Suryanto (Dosen STIKOM Semarang), ia mengutip pendapatnya Michael Walzer dalam Spheres of Justice (1983). Politik seringkali menjadi ruang di mana nilai-nilai diperdagangkan dan dinegosiasikan, bukan dipertahankan dengan teguh. Ini berarti, dalam sistem politik yang pragmatis seperti di Indonesia, janji-janji seperti "siap jadi oposisi" atau lainnya mungkin tidak lebih dari sekadar alat negosiasi, bukan prinsip yang dipegang teguh.
Dan, pada akhirnya, apakah saya menyalahkan mereka? Mungkin tidak sepenuhnya. Sistem politik kita memang mendukung terjadinya hal-hal semacam ini. Dengan tidak adanya garis ideologis yang jelas, politik di Indonesia lebih berfokus pada hasil jangka pendek, seperti pembagian kekuasaan dan posisi strategis.
Jadi, ketika Cak Imin dan lainnya memutuskan untuk merapat ke kubu Prabowo Gibran 2024, itu mungkin hanya wujud dari sistem politik yang ada. Tentu saja, kepentingan pragmatis itu lebih menentukan daripada janji kampanye yang sudah diucapkan.
Tapi, sebagai warga negara yang menyaksikan ini semua dari pinggir lapangan, saya punya hak untuk merasa kecewa. Bukan hanya karena janji-janji yang dilanggar, tetapi juga karena politik yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, seringkali hanya menjadi arena untuk mempertahankan kepentingan.
Dan ini bukan hanya soal kekecewaan terhadap individu, tetapi sistem yang mengizinkan kebohongan semacam ini terus berulang. Semua itu hanya memperkuat alasan mengapa saya lebih percaya makelar daripada politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H