Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan di Sekolah, Otomatis Dipertahankan!

12 Oktober 2024   11:12 Diperbarui: 19 Oktober 2024   15:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan, kehidupan di sekolah tanpa kekerasan. Tidak ada lagi anak-anak yang jerat-jerit di lorong, tidak ada lagi aksi dorong-dorongan saat istirahat, dan yang paling menyedihkan, tidak ada lagi kisah anak yang menahan air mata karena dikompas (dipalak) oleh kakak kelas, rasanya terlalu damai untuk jadi kenyataan!

Wait, ini bukan soal benar atau salah kekerasan di sekolah ya. Ini soal bagaimana realitas sehari-hari di sekolah yang anehnya masih saja ada dan terus berlangsung tanpa solusi yang berarti.

Sekolah kita, yang katanya tempat mendidik The Next Generation, sering kali terlalu sibuk dengan hal-hal administratif yang melelahkan. Lembar kerja, laporan harian, dan tumpukan soal ujian menjadi pemandangan rutin di meja para guru. Hingga ketika ada seorang murid yang menangis karena dibully temannya, tanggapan yang sering terdengar hanyalah, "Ya, maklumlah, namanya juga anak-anak." Memang, masalah yang sudah dianggap biasa kadang hanya bisa dihadapi dengan senyum lelah.

Di satu sisi, para guru juga manusia biasa yang punya banyak masalah. Mereka mungkin saja pahlawan tanpa tanda jasa di papan tulis, tapi di balik itu, ada tagihan listrik, cicilan motor, dan kebutuhan keluarga yang harus mereka pikirkan. Jadi, apakah kita tega berharap lebih dari mereka? Apakah mungkin mereka fokus pada penanganan kasus kekerasan di sekolah, sementara kesejahteraan mereka saja masih menjadi tanda tanya?

Belum lagi, jika bicara tentang orang tua. Mereka tentu mencintai anak-anaknya, tidak ada yang menyangkal itu. Namun, sering kali cinta itu berbentuk "pasrah" pada sekolah untuk mendidik anak-anak mereka. "Udah, Pak Guru aja yang atur. Saya sibuk kerja, cari nafkah," begitu mungkin kata mereka dalam hati. Anak-anak pun dibesarkan di dua dunia yang berbeda: di rumah yang minim pengawasan, dan di sekolah yang penuh dengan aturan namun kadang kurang pengawasan juga.

Jadi, kita bertanya-tanya, mengapa kekerasan di sekolah tidak juga mereda? Ya, mungkin karena kita semua sudah terbiasa. Kita melihat kasus-kasus kecil seperti perkelahian anak SD sebagai hal yang biasa, dan menunda-nunda penanganannya. Kalau seperti ini, wajar saja kalau ada yang berpikir, "Kekerasan di sekolah sebaiknya dipertahankan." Karena, tanpa kita sadari, itu sudah jadi bagian dari rutinitas.

Di sisi lain, ada beberapa sekolah yang sudah mencoba lebih keras menangani kekerasan. Mereka membuat program anti-bullying, mengundang konselor, bahkan membuat peraturan tegas untuk murid yang berbuat kasar. Tapi apa daya, ketika program itu berjalan, para guru masih harus membagi waktu antara mengurus murid, menyiapkan RPP, dan ikut pelatihan daring yang tak ada habisnya. Akibatnya, program bagus itu hanya menjadi formalitas belaka.

Jika sudah begini, peran siapa yang perlu kita perkuat? Orang tua, guru, atau mungkin pemerintah? Ah, kalau kita serahkan pada pemerintah, ujung-ujungnya akan ada peraturan baru, mungkin akan ada anggaran baru untuk kesejahteraan guru, tapi apakah itu cukup? Atau kita hanya akan berakhir dengan tumpukan kebijakan yang lagi-lagi tidak terlaksana dengan baik?

Kadang saya berpikir, mungkin kita memang belum sepenuhnya paham soal bagaimana membesarkan anak-anak ini. Di luar sana, anak-anak yang menjadi korban kekerasan sekolah sering kali terdiam, belajar menahan sakit sendirian. Kita, orang dewasa, hanya melihat mereka sebagai angka statistik. Sedih memang, tapi itulah kenyataan yang ada.

Peran orang tua juga bukan hanya sekedar membiayai pendidikan. Mereka harus ikut terlibat, mengenali teman-teman anaknya, serta memahami apa yang terjadi di sekolah. Namun, sering kali, kesibukan kerja membuat mereka merasa cukup dengan menyerahkan semua itu pada guru. Mungkin saja, mereka berpikir bahwa sekolah adalah solusi untuk segalanya. Padahal, sekolah adalah tempat belajar, bukan tempat penitipan anak dengan masalah kehidupan.

Tapi di balik semua itu, saya tidak sepenuhnya menyalahkan orang tua. Pekerjaan memang tidak mudah, apalagi jika kita bicara tentang biaya hidup yang belakangan makin tinggi. Mereka tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Namun, tanpa disadari, anak-anak yang mereka cintai ini seringkali menghadapi tekanan di sekolah yang lebih dari sekedar nilai ujian.

Saya sedikit tahu tentang pepatah "It takes a village to raise a child." Tapi sayangnya, desa yang kita miliki sekarang sepertinya terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Orang tua sibuk bekerja, guru sibuk dengan laporan dan administrasi, dan pemerintah sibuk dengan program-program baru. Sementara, anak-anak kita tumbuh dengan luka yang tak terlihat.

Nah, di tengah kegalauan ini, saya punya ide yang mungkin bisa jadi solusi, meski terdengar berlebihan. Bagaimana jika satu sekolah, minimal, punya 50 CCTV? Tentu ini bukan soal angka 50, 100, atau bahkan 1000 kamera pengawas. Ini tentang upaya sekolah untuk lebih serius mengawasi setiap sudut, agar insiden yang selama ini terjadi di luar pengawasan bisa terekam dengan jelas. Dengan CCTV yang dipasang di sudut-sudut sekolah, mungkin ada harapan perilaku kekerasan bisa lebih cepat terdeteksi dan dicegah.

Apakah CCTV akan benar-benar efektif mengatasi masalah ini? Tentu saja tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Tapi setidaknya, ini menjadi alat bantu yang bisa mendorong semua pihak lebih waspada. Guru tidak perlu lagi selalu berada di setiap sudut untuk mengawasi, karena ada mata-mata digital yang siap mengawasi. Orang tua pun bisa merasa sedikit lebih tenang, karena ada upaya lebih untuk memastikan keselamatan anak-anak mereka di lingkungan sekolah.

Namun, tentu saja, ini semua hanya sebuah ide. Menghadirkan CCTV di setiap sudut sekolah juga membutuhkan anggaran, perawatan, dan tenaga ahli yang mengawasi hasil rekamannya. Belum lagi soal privasi, yang mungkin akan menjadi perdebatan panjang. Tapi setidaknya, ini bisa menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi membiarkan kekerasan di sekolah begitu saja.

Pada akhirnya, judul tulisan ini hanyalah sebuah ironi. Kekerasan di sekolah tentu saja tidak boleh dipertahankan. Namun, dengan melihat bagaimana realitas di lapangan, sering kali seolah-olah kita memang membiarkan itu terus ada. Kita berbicara tentang perubahan, tapi tindakan kita seringkali hanya separuh hati. Program ada, aturan dibuat, tapi perhatian kita justru tersita pada hal-hal yang lain.

Maka, apakah kita masih bisa berharap bahwa masalah ini akan selesai dengan sendirinya? Atau kita akan terus berpikir bahwa kekerasan di sekolah hanyalah masalah anak-anak yang akan sembuh seiring waktu? Pertanyaan ini seharusnya mengganggu kita, karena jawabannya tidaklah sederhana.

Kekerasan di sekolah tidak boleh menjadi sesuatu yang kita anggap biasa. Ini adalah masalah serius yang butuh perhatian kita bersama, bukan hanya guru atau orang tua. Kita perlu kembali merenung, apakah kita benar-benar peduli pada apa yang terjadi di sekolah-sekolah kita? Ataukah kita hanya peduli ketika masalahnya sudah terlanjur besar, viral dan menjadi berita di tivi?

Saat ini, mungkin sudah saatnya kita mulai lebih mendengarkan. Mendengarkan cerita anak-anak yang menjadi korban, mendengarkan guru-guru yang berjuang di tengah keterbatasan, dan mendengarkan orang tua yang mungkin juga butuh dukungan. Karena, jika kita semua tetap terdiam, maka benar saja, kekerasan di sekolah memang seolah terkesan dipertahankan.

Dan semoga, dengan membaca artikel ini, kita bisa sedikit tersadar, bahwa kita tidak bisa terus menerus membiarkan situasi ini berjalan seperti biasa. Tidak, kekerasan di sekolah tidak seharusnya dipertahankan. Tapi selama kita semua hanya diam, masalah ini akan tetap ada, dan anak-anak kita yang akan menanggung akibatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun