Saya sedikit tahu tentang pepatah "It takes a village to raise a child." Tapi sayangnya, desa yang kita miliki sekarang sepertinya terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Orang tua sibuk bekerja, guru sibuk dengan laporan dan administrasi, dan pemerintah sibuk dengan program-program baru. Sementara, anak-anak kita tumbuh dengan luka yang tak terlihat.
Nah, di tengah kegalauan ini, saya punya ide yang mungkin bisa jadi solusi, meski terdengar berlebihan. Bagaimana jika satu sekolah, minimal, punya 50 CCTV? Tentu ini bukan soal angka 50, 100, atau bahkan 1000 kamera pengawas. Ini tentang upaya sekolah untuk lebih serius mengawasi setiap sudut, agar insiden yang selama ini terjadi di luar pengawasan bisa terekam dengan jelas. Dengan CCTV yang dipasang di sudut-sudut sekolah, mungkin ada harapan perilaku kekerasan bisa lebih cepat terdeteksi dan dicegah.
Apakah CCTV akan benar-benar efektif mengatasi masalah ini? Tentu saja tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Tapi setidaknya, ini menjadi alat bantu yang bisa mendorong semua pihak lebih waspada. Guru tidak perlu lagi selalu berada di setiap sudut untuk mengawasi, karena ada mata-mata digital yang siap mengawasi. Orang tua pun bisa merasa sedikit lebih tenang, karena ada upaya lebih untuk memastikan keselamatan anak-anak mereka di lingkungan sekolah.
Namun, tentu saja, ini semua hanya sebuah ide. Menghadirkan CCTV di setiap sudut sekolah juga membutuhkan anggaran, perawatan, dan tenaga ahli yang mengawasi hasil rekamannya. Belum lagi soal privasi, yang mungkin akan menjadi perdebatan panjang. Tapi setidaknya, ini bisa menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi membiarkan kekerasan di sekolah begitu saja.
Pada akhirnya, judul tulisan ini hanyalah sebuah ironi. Kekerasan di sekolah tentu saja tidak boleh dipertahankan. Namun, dengan melihat bagaimana realitas di lapangan, sering kali seolah-olah kita memang membiarkan itu terus ada. Kita berbicara tentang perubahan, tapi tindakan kita seringkali hanya separuh hati. Program ada, aturan dibuat, tapi perhatian kita justru tersita pada hal-hal yang lain.
Maka, apakah kita masih bisa berharap bahwa masalah ini akan selesai dengan sendirinya? Atau kita akan terus berpikir bahwa kekerasan di sekolah hanyalah masalah anak-anak yang akan sembuh seiring waktu? Pertanyaan ini seharusnya mengganggu kita, karena jawabannya tidaklah sederhana.
Kekerasan di sekolah tidak boleh menjadi sesuatu yang kita anggap biasa. Ini adalah masalah serius yang butuh perhatian kita bersama, bukan hanya guru atau orang tua. Kita perlu kembali merenung, apakah kita benar-benar peduli pada apa yang terjadi di sekolah-sekolah kita? Ataukah kita hanya peduli ketika masalahnya sudah terlanjur besar, viral dan menjadi berita di tivi?
Saat ini, mungkin sudah saatnya kita mulai lebih mendengarkan. Mendengarkan cerita anak-anak yang menjadi korban, mendengarkan guru-guru yang berjuang di tengah keterbatasan, dan mendengarkan orang tua yang mungkin juga butuh dukungan. Karena, jika kita semua tetap terdiam, maka benar saja, kekerasan di sekolah memang seolah terkesan dipertahankan.
Dan semoga, dengan membaca artikel ini, kita bisa sedikit tersadar, bahwa kita tidak bisa terus menerus membiarkan situasi ini berjalan seperti biasa. Tidak, kekerasan di sekolah tidak seharusnya dipertahankan. Tapi selama kita semua hanya diam, masalah ini akan tetap ada, dan anak-anak kita yang akan menanggung akibatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H