Akhirnya saya ikut nimbrung juga ikut menulis, setelah ramai di WA grup dan setelah melihat berbagai analisis yang disampaikan banyak pihak. Memang seru juga langkah Nasdem ini. Selain dari waktu deklarasinya yang tidak pas menurut banyak orang, karena adanya bencana alam gempa bumi dan musibah di Kanjuruhan, juga karena sebagian besar beranggapan "Belanda masih jauh" alias penetapan capres dari salah satu partai itu masih langkah yang terlalu awal.
Tapi nggak apa lah? Saya baca-baca dan coba analisis aja lah ya dari sisi lain. Sisi ngaco maksudnya hehe... Â
Banyak yang berpendapat kalau Nasdem kekurangan suara di wilayah barat Indonesia, apa iya? Seingat saya, Nasdem berhasil "mengamankan" Ridwan Kamil (RK) sebagai gubernur Jawa Barat, bahkan mengalahkan petahana. Belum lagi kemenangan-kemenangan lainnya yang justru ada di luar imajinasi kita. Siapa sangka jagoan Nasdem bisa menang di Sumatera Utara, walau dalam debat calon gubernur, jagoannya nggak pernah terlihat menonjol dan malah cenderung blunder, tapi intinya tetap menang kan?
Yang menarik dari berkaca pada 2 situasi itu adalah menebak "suara" Jokowi (JKW). Masih ingat nggak kalau dahulu kala sebelum pilkada DKI, JKW sempat memanggil RK ke istana, akhirnya RK nggak jadi maju di DKI dan akhirnya menang di Jawa Barat. Tentu saja, pasti banyak pembaca akan mengomentari, ya nggak semudah itu lah analisisnya, lagi pula di Jabar kan RK pun menang tipis nya, nggak banyak kan? Yup, tipis memang, tapi tetap menang. Jangan lupa, unsur "tipis" itu ada di mana. Kalau menurut saya, unsur "tipis" itu ada di penguasa. Bahkan yang "tipis" bisa jadi "tebal" saat penguasanya adalah Demokrat (masih ingat kan kemenangan telak periode 2 yang menurut saya terlalu sangat berlebihan "penebalannya" bandingkan dengan JKW periode 2).
Oke, anggaplah JKW mendukung RK waktu itu di Jabar, lalu bagaimana di Sumut? Nah, ini yang agak rumit. PDIP sebagai partai yang "menugaskan" JKW sebagai presiden atau lebih pasnya begini aja deh... saat JKW lebih memilih RK, tentu PDIP tidak senang (pembaca tentu tau siapa yang sebenarnya tidak senang, karena suara PDIP identik dengan suara bla... bla... taulah). Ini yang menyebabkan JKW sedikit mereda dan tidak terang-terangan menunjukkan dukungan ke salah satu pihak. Tapi kalkulasi akhirnya pembaca tau, setelah dilantik, dan bertugas, kedua pimpinan wilayah itu (Jabar dan Sumut) jelas mendukung JKW di periode 2. Ini supaya cepat saja, sebenarnya masih banyak analisis lain yang mendukung kenapa akhirnya semua mendukung JKW. Sebenarnya mau menambahkan pembelajaran dari wlayah lain, tapi takut nanti artikel ini kepanjangan hehe...
Kembali ke judul artikel kita, kok bisa mengatakan kalau pencapresan Anies adalah amanat JKW ke Pak Paloh (SP)? Jadi begini, siapa yang bisa menebak langkah yang diambil SP? Setelah mengangkat RK "naik sisingaan" di saat RK masih jadi kader Gerindra, setelah berhasil meningkatkan perolehan suara Nasdem pilkada demi pilkada, sehingga mayoritas pimpinan wilayah provinsi yang ada saat ini adalah yang didukung oleh Nasdem saat pencalonannya (coba hitung... jangan-jangan tidak hanya provinsi, kabupaten dan kota juga) dan berbagai langkah lainnya, seakan tidak tertebak langkah SP ini. Benarkah?Â
Kembali ke pencapresan Anies, bukankah ini adalah langkah SP mengangkat Anies "naik sisingaan" seperti waktu RK dulu? Tapi kan Anies bukan kader partai manapun? Yup, betul, tapi semua sudah melabelinya sebagai kader partai "kanan". Dengan pencapresan duluan, SP berusaha "menarik" Anies keluar dari stigma yang sudah cenderung melekat lama. Sebenarnya sudah lama usaha Nasdem/ SP untuk "menarik" Anies kembali, sayang momennya selalu diselingi berbagai peristiwa (non)-politik yang tidak pas, formula E, pemugaran monas, pemugaran TIM, stadion buat Persija yang akhirnya bukan buat Persija yah... ibarat anak nakal nggak mau disuruh duduk diam-diam dan mendengarkan, ya begitu lah... tapi akhirnya saat untuk "mendudukkan" itu pun akhirnya tiba dan dengan waktu yang masih sekitar kurang 2 tahun ke depan dipandang cukup oleh SP untuk mulai melakukan "pembinaan". Mengubah stigma yang sudah lama melekat ke arah yang benar.
Jadi dimana peran JKW? Coba simak beberapa dialog SP terkait dukungannya ke JKW dan lain sebagainya. Juga manuver Nasdem untuk pencalonan JKW mulai periode 1 dan 2, tampak jelas kenapa saya berpikiran hubungan SP dan JKW sangat dekat. SP adalah petinggi partai yang bisa dikatakan netral. Semua tau kalau petinggi partai lain adalah "anak buah" JKW karena mereka menjabat menteri atau... yah... ketua badan misalnya, hehe... walau nggak pernah melakukan riset, tapi SP tidak. Belum lagi kekuatan media yang SP punya, dan yang terkahir, kerelaan SP yang hanya menjadi "Kingmaker" ini menambah netralitas SP dalam pemetaan politik dan lawan dialog yang mumpuni untuk JKW.
Eh, udah kepanjangan nih, langsung saja ya, jadi pasti sudah ada dialog antara SP dan JKW. JKW tak akan mungkin membiarkan kerja 10 tahun sia-sia karena tidak dilanjutkan oleh presiden yang baru dan ini jelas diamini SP. JKW pasti nggak mau nanti nama ibukota Nusantara diganti, atau bahkan tidak jadi pindah ibukota, atau ada program JKW yang sukses nantinya hanya berganti nama.
Jadi skenario 1 adalah, Nasdem/ SP akan terus mendukung Anies hingga pendaftaran capres 2024 dengan memakai banyak kesempatan dan media tentunya untuk mengubah "pola pikir" dan menampilkan Anies yang nasionalis, dan berpikiran cerdas, seperti saat mendukung JKW di periode 1 lalu. Bukan tidak mungkin, kita akan melihat JKW dan Anies akan bertemu dalam berbagai kesempatan ke depan. Bukankah sudah tersenyum bersama di Formula E? Apa langkah selanjutnya? Nasdem tidak akan berkoalisi dengan PKS, menurut saya ya, sehingga PKS akan kesulitan mencari figur, kegamangan yang sempat diderita pendukung Demokrat saat pencalonan JKW di periode 2. Kegamangan yang berdampak pada penggerusan jumlah suara, dan ini yang akan dialami oleh beberapa partai di 2024 yang terlambat mencalonkan Anies.
Jika skenario 1 tidak berjalan mulus, maka ini yang sulit, tapi bukannya tidak mungkin terjadi. Sebutlah ini skenario 2. Di saat-saat terakhir pendaftaran capres, maka bisa saja Nasdem menarik dukungannya terhadap Anies. Oh iya, sebelum skenario 2 ini, kayaknya ada skenario 1.1 (satu titik satu) dimana Nasdem membuka diri untuk partai lain bergabung mendukung Anies (termasuk PKS) tapi tetap menjaga kalau tanpa Nasdem, forum dukungan ini tidak dapat mencalonkan capres sendiri (batas elektoral). Tapi skenario 1.1 ini akan dijalankan Nasdem jika tampak tidak ada tanda-tanda perubahan untuk Anies. Politik identitas tetap melekat, dan kemampuan media SP tidak sanggup mengubah Anies sebagai figur yang nasionalis. Jadi boleh dibilang skenario 1.1 adalah langkah yang akan ditempuh Nasdem sebelum skenario 2 berjalan.
Jika skenario 2 berjalan, Nasdem menarik dukungan ke Anies. Partai yang tadinya seforum mendukung Anies akan kelabakan karena tidak bisa mencalonkan capres sendiri. Melanjutkan skenario 2, Nasdem akan bergabung ke capres yang didukung JKW. Dengan kekuatan media dan tentunya dukungan finansial yang kuat, dukungan Nasdem ke forum parpol yang mendukung calon yang didukung JKW tentu akan dipertimbangkan. Hasil akhir? Tentu saja calon yang didukung Nasdem akan menang, dan calon itu juga didukung oleh JKW.
Sudah dulu ya, namanya juga analisis ngaco. Hehe... pasti banyak yang mau komen, bagaimana peran JK? Bukannya SP lebih dekat ke JK? Belum lagi analisis dewan kolonel vs dewan kopral, bukannya JkW dukung Ganjar? Bisa juga sih. Tapi ya udahlah, itu kita bahas lain waktu.
Salam sehat dan tetap waras saja buat kita semua jelang pilkada dan pilpres nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H