Andika Pramoedya.
Andini Bianca Pradipta.
Entah apa rencana Tuhan yang menyatukan dua makhluk ini di kelas yang sama. Dengan nomor absen yang bersebelahan. Dan aku harus selalu menjadi pihak ketiga. Karena namaku adalah Arista Widyatami, otomatis namaku berada tepat di bawah nomor absensi mereka.
Kami sekelas sejak kelas X-F sampai di kelas XII MIPA 2 ini. Sejujurnya aku sudah berdoa sejak jauh-jauh hari agar di kelas XII nanti aku tidak lagi sekelas dengan mereka. Ternyata doaku tidak terkabul.
Sayangnya lagi, guru-guru di sekolah kami ini krisis kreativitas yang cukup akut. Beliau-beliau ini sepertinya cukup malas membentuk kelompok belajar yang berbeda, sehingga pembagian kelompok hampir selalu: "Nomor absen 1 sampai 5 sekelompok, begitu seterusnya," yang membuatku hampir selalu satu kelompok belajar dengan Andika dan Andini.
Sebenarnya aku tidak begitu mempermasalahkan kemampuan akademik mereka, dua-duanya bukan anak yang bodoh. Dua-duanya cerdas dan pekerja keras. Namun ada faktor lain yang membuatku tidak nyaman. Seperti sekarang ini.
"Diiiin ayolaaah!" rengekku sekali lagi. Ini akan jadi terakhir kalinya aku merengek padanya, ya. Aku sudah lelah menjadi jembatan.
Andini sekali lagi menggelengkan kepala. "Ini kan materinya udah aku kumpulin, udah aku ringkas juga kok, kamu tinggal merangkum aja dan diskusi sama anggota yang lain,"
Anggota yang lain yang dia maksud di sini adalah Andika. Karena pak Edi, guru Biologi kami, hanya membagi kelas menjadi kelompok belajar yang beranggotakan 3 orang saja. Si nomor absen 1, 2, dan 3, yaitu Andika, Andini, dan aku, harus sekelompok lagi. Beneran deh, kenapa Afika di kelas XII MIPA 1 nggak pindah ke sini aja, sih? Atau Aldebaran yang ada di XII MIPA 3? Kenapa harus kami lagi?! Kenapa harus aku lagi?
Dulu di kelas X aku harus jadi saksi bagaimana mereka malu-malu baru mengenal, lalu saling memendam rasa, sampai akhirnya Andika menyatakan cinta menjelang kenaikan kelas XI. Dan ternyata mereka sekelas, yang tentu saja disambut gembira oleh mereka (dan senyum kecut dariku).
Lalu aku harus menjadi saksi betapa menggelikannya sepasang anak SMA dimabuk asmara yang merasa dunia ini hanya milik mereka. Aku sih hanya ngontrak di sekitaran mereka. Oke, aku tolerir saja karena mereka tampaknya merasa tidak enak menjadikanku 'obat nyamuk' di saat kerja kelompok (padahal tidak juga sih, kan memang kami sekelompok dan aku tidak punya pilihan lain) sehingga aku sering kecipratan sebungkus cuanki atau roti goreng cokelat.