"Hey."
"Hai."
"Kamu masih di sini?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kamu stay?"
Dia terdiam cukup lama. "Kamu bisa pergi, loh. Kamu bisa pilih cewek lain yang normal."
"Normal is overrated. I want awesome. You are awesome." kalimat 'I want you' tidak terucapkan, tetapi kalimat itu terasa nyaring terdengar.
"Kamu di sini cuma kasian sama aku, kan?" gadis itu bertanya lirih. Lelaki sebaya yang duduk di samping ranjang rumah sakit tempat ia berbaring hanya menatapnya penuh arti. Dipandangnya luka-luka di lengan kanan gadis itu. Kulitnya yang kuning langsat tidak mulus, cenderung kering karena kurang asupan air yang diminumnya. Pemandangan yang sama persis yang ia yakin bisa ia lihat di lengan kiri sang gadiss, atau bahkan mungkin lebih parah, namun lengan itu berada di balik tubuh ringkih si gadis. Tersembunyi di balik selimut bergaris. Pandangannya beralih ke manik mata hitam yang penuh tanya dan penuh harap itu.
Apakah ia di sini karena kasihan?
"Emangnya kamu perlu dikasihani?" ia balik bertanya. Gadis itu terdiam.
"Kamu lihat sendiri, lah, aku kayak gimana."
"Emang kayak gimana?" ia bertanya dengan nada cukup tajam, membuat gadis itu tidak berkutik. Gadis itupun sadar, kali ini, betapa menyedihkannya ia. Betapa konyol, namun ia sendiri tidak kuasa menghentikannya pada saat itu.
"Aku kan gila."
Pemuda itu yang ganti salah tingkah. Matanya tetap awas, namun nada bicaranya melembut, "kamu nggak gila, Ras."
"Hanya orang gila yang melukai dirinya sendiri, Wan."
"You have your moment."
"I will have more and you cannot stop me."
Irwan, pemuda itu, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia ingin marah, namun ini bukan saatnya, dan bukan pada orang yang tepat. "Tentu saja aku enggak bisa, Ras. Kamu yang bisa menghentikannya. Kamu. Aku di sampingmu karena ingin menemani kamu."
"Kamu bakal capek. Kamu bakal bosan."
"Well. sekarang aku enggak capek dan sama sekali enggak bosan. Lagipula aku suka sibuk kayak gini. Aku enggak punya waktu untuk yang lain. Aku suka seperti ini."
Aku suka kamu, lagi-lagi tak terucapkan, namun sangat nyaring terdengar. Saras mungkin tidak sepenuhnya waras, tapi ia ingin sekali memegang harapan itu erat-erat, berharap ia bisa bertahan cukup dengan harapan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H