Mohon tunggu...
Dwi Pandu Wijaksana
Dwi Pandu Wijaksana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Playing Billiard

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dampak Dari politik Identitas di Era Digital Terhadap Dinamika Sosial

16 Desember 2024   17:30 Diperbarui: 16 Desember 2024   16:26 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis : Dwi pandu wijaksana

                  Dovi Prashauman

Mahasiwa Hukum Tata Negara Uin Sunan Gunung Djati Bandung

Politik identitas mengacu pada praktik dan strategi politik yang berfokus pada kepentingan serta pengalaman kelompok sosial tertentu yang didasarkan pada identitas kolektif, seperti ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau kelas sosial. Fenomena ini biasanya muncul sebagai respons terhadap pengalaman marginalisasi, diskriminasi, atau ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok tersebut, sehingga memotivasi mereka untuk memperjuangkan pengakuan, representasi, serta hak-hak mereka dalam ranah politik, sosial, maupun budaya. 

Dalam praktik politik identitas, individu sering kali memobilisasi identitas kelompok mereka untuk memperjuangkan posisi yang lebih adil dalam masyarakat. Hal ini mencakup upaya pengakuan terhadap keberagaman identitas serta perlawanan terhadap dominasi kelompok mayoritas yang membentuk norma atau struktur kekuasaan. Fenomena politik identitas menjadi semakin kompleks di era digital, di mana media sosial menyediakan ruang baru yang memungkinkan individu dan kelompok untuk mengekspresikan, membangun, serta memperjuangkan identitas mereka secara lebih fleksibel dan dinamis.

Politik identitas di era digital merupakan fenomena yang kompleks, mencerminkan perubahan mendasar dalam cara manusia memahami, membangun, dan mengekspresikan identitas sosial-politik melalui teknologi digital. Perkembangan media sosial menciptakan ruang baru di mana identitas tidak lagi bersifat statis dan terikat pada batasan geografis atau struktur tradisional. Dalam konteks digital, identitas mengalami perubahan mendasar, memungkinkan individu untuk secara dinamis membentuk, memodifikasi, dan mengelola representasi diri yang multidimensional. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter menjadi sarana bagi individu untuk menciptakan persona digital yang mungkin berbeda dari identitas fisik mereka.

Fragmentasi identitas menjadi ciri utama di era digital. Seseorang tidak lagi terbatas pada satu identitas tunggal, melainkan dapat memiliki berbagai persona di platform digital yang berbeda. Hal ini menciptakan ruang negosiasi identitas yang lebih fleksibel dan cair. Media sosial juga berfungsi sebagai arena simbolik di mana kelompok sosial memperjuangkan pengakuan dan representasi. Komunitas virtual membentuk solidaritas baru yang melampaui batas-batas tradisional, seperti etnis, agama, dan geografis, menciptakan ruang untuk membangun dan mendefinisikan ulang identitas kolektif.

Digitalisasi telah mendemokratisasi produksi konten, memberikan peluang bagi individu untuk menjadi produsen makna, bukan sekadar konsumen informasi. Namun, demokratisasi ini juga memiliki risiko, seperti polarisasi dan terbentuknya "gelembung filter" (filter bubble), di mana individu hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa. Fenomena ini dapat menyebabkan fragmentasi sosial dan menghambat dialog lintas perbedaan.

Dari sudut pandang kekuasaan, teknologi digital sering menjadi alat kontrol dan pengawasan yang canggih. Identitas digital tidak hanya menjadi ruang ekspresi bebas, tetapi juga arena di mana negara, korporasi, dan aktor lainnya dapat melakukan intervensi dan manipulasi. Praktik berbagi (sharing) di media sosial mengubah cara individu mengonstruksi dan mengomunikasikan identitas. Setiap unggahan dan interaksi digital menjadi bagian dari proses performatif identitas yang dinamis dan berkelanjutan.

Kompleksitas politik identitas digital tercermin dalam kemampuan individu untuk melakukan resistansi dan negosiasi makna. Ruang digital memungkinkan kelompok marjinal menciptakan ruang alternatif untuk mengekspresikan perspektif mereka yang sebelumnya terpinggirkan. Interseksionalitas identitas semakin kompleks, dengan kategori seperti gender, ras, kelas, dan orientasi seksual yang saling berinteraksi membentuk identitas hibrid.

Namun, etika dan privasi menjadi isu kritis, di mana individu menghadapi dilema antara mengekspresikan diri dan risiko kehilangan kontrol atas data personal. Generasi muda, sebagai pionir dalam transformasi identitas digital, mengembangkan literasi digital untuk menghadapi kompleksitas ini. Politik identitas di era digital tidak hanya merefleksikan fenomena teknologi, tetapi juga transformasi sosial-budaya yang signifikan.

Di tengah tantangan ini, komunikasi politik tetap memiliki potensi besar untuk mendukung perubahan sosial positif. Melalui partisipasi aktif dalam proses politik dan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat, demokrasi dapat diperkuat. Komunikasi politik yang jujur, inklusif, dan berbasis kepercayaan menjadi kunci untuk menciptakan masa depan demokrasi yang sehat, di mana suara setiap individu dihargai.

Reference

Appiah, K. A. (1994). Identity, Authenticity, Survival: Multicultural Societies and Social Reproduction. Cornell University Press.

Castells, M. (2010). The Power of Identity: The Information Age: Economy, Society, and Culture. Wiley-Blackwell.

Hobsbawm, E. (1996). Identity Politics and the Left. New Left Review.

Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society. Wiley-Blackwell.

Bauman, Z. (2000). Liquid Modernity. Polity Press.

Turkle, S. (1995). Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet. Simon & Schuster.

Boyd, D. (2014). It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens. Yale University Press.


Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972--1977. Pantheon Books.


Bruns, A. (2008). Blogs, Wikipedia, Second Life, and Beyond: From Production to Produsage. Peter Lang.


Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York University Press.


Melucci, A. (1989). Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society. Hutchinson Radius.


Anderson, B. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.


Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Harvard University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun