Penulis : Dwi pandu wijaksana
         Dovi Prashauman
Mahasiwa Hukum Tata Negara Uin Sunan Gunung Djati Bandung
Politik identitas mengacu pada praktik dan strategi politik yang berfokus pada kepentingan serta pengalaman kelompok sosial tertentu yang didasarkan pada identitas kolektif, seperti ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau kelas sosial. Fenomena ini biasanya muncul sebagai respons terhadap pengalaman marginalisasi, diskriminasi, atau ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok tersebut, sehingga memotivasi mereka untuk memperjuangkan pengakuan, representasi, serta hak-hak mereka dalam ranah politik, sosial, maupun budaya.Â
Dalam praktik politik identitas, individu sering kali memobilisasi identitas kelompok mereka untuk memperjuangkan posisi yang lebih adil dalam masyarakat. Hal ini mencakup upaya pengakuan terhadap keberagaman identitas serta perlawanan terhadap dominasi kelompok mayoritas yang membentuk norma atau struktur kekuasaan. Fenomena politik identitas menjadi semakin kompleks di era digital, di mana media sosial menyediakan ruang baru yang memungkinkan individu dan kelompok untuk mengekspresikan, membangun, serta memperjuangkan identitas mereka secara lebih fleksibel dan dinamis.
Politik identitas di era digital merupakan fenomena yang kompleks, mencerminkan perubahan mendasar dalam cara manusia memahami, membangun, dan mengekspresikan identitas sosial-politik melalui teknologi digital. Perkembangan media sosial menciptakan ruang baru di mana identitas tidak lagi bersifat statis dan terikat pada batasan geografis atau struktur tradisional. Dalam konteks digital, identitas mengalami perubahan mendasar, memungkinkan individu untuk secara dinamis membentuk, memodifikasi, dan mengelola representasi diri yang multidimensional. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter menjadi sarana bagi individu untuk menciptakan persona digital yang mungkin berbeda dari identitas fisik mereka.
Fragmentasi identitas menjadi ciri utama di era digital. Seseorang tidak lagi terbatas pada satu identitas tunggal, melainkan dapat memiliki berbagai persona di platform digital yang berbeda. Hal ini menciptakan ruang negosiasi identitas yang lebih fleksibel dan cair. Media sosial juga berfungsi sebagai arena simbolik di mana kelompok sosial memperjuangkan pengakuan dan representasi. Komunitas virtual membentuk solidaritas baru yang melampaui batas-batas tradisional, seperti etnis, agama, dan geografis, menciptakan ruang untuk membangun dan mendefinisikan ulang identitas kolektif.
Digitalisasi telah mendemokratisasi produksi konten, memberikan peluang bagi individu untuk menjadi produsen makna, bukan sekadar konsumen informasi. Namun, demokratisasi ini juga memiliki risiko, seperti polarisasi dan terbentuknya "gelembung filter" (filter bubble), di mana individu hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa. Fenomena ini dapat menyebabkan fragmentasi sosial dan menghambat dialog lintas perbedaan.
Dari sudut pandang kekuasaan, teknologi digital sering menjadi alat kontrol dan pengawasan yang canggih. Identitas digital tidak hanya menjadi ruang ekspresi bebas, tetapi juga arena di mana negara, korporasi, dan aktor lainnya dapat melakukan intervensi dan manipulasi. Praktik berbagi (sharing) di media sosial mengubah cara individu mengonstruksi dan mengomunikasikan identitas. Setiap unggahan dan interaksi digital menjadi bagian dari proses performatif identitas yang dinamis dan berkelanjutan.
Kompleksitas politik identitas digital tercermin dalam kemampuan individu untuk melakukan resistansi dan negosiasi makna. Ruang digital memungkinkan kelompok marjinal menciptakan ruang alternatif untuk mengekspresikan perspektif mereka yang sebelumnya terpinggirkan. Interseksionalitas identitas semakin kompleks, dengan kategori seperti gender, ras, kelas, dan orientasi seksual yang saling berinteraksi membentuk identitas hibrid.
Namun, etika dan privasi menjadi isu kritis, di mana individu menghadapi dilema antara mengekspresikan diri dan risiko kehilangan kontrol atas data personal. Generasi muda, sebagai pionir dalam transformasi identitas digital, mengembangkan literasi digital untuk menghadapi kompleksitas ini. Politik identitas di era digital tidak hanya merefleksikan fenomena teknologi, tetapi juga transformasi sosial-budaya yang signifikan.