"Sama sekali tidak."
"Ibu tidak menegurnya?"
"Percuma. Berkali saya coba, tidak ada hasilnya. Dia seperti tuli. Dia lebih mendengar ambisinya dan mendengar pujian teman-temannya dan mereka yang memujinya sebagai orang berani. Apalagi media sering mengundangnya, memuat wawancaranya. Makin bangga dia dan saya pun makin terpinggirkan. Dia tidak lagi mendengar saya, ibunya. Semoga Tuhan mengampuni saya."
"Amin."
"Selama ini saya sudah mencoba, semampu saya. Sayang, perubahan zaman menggilas semua aturan dan tata krama yang saya ajarkan. Zaman berhasil melambungkan egonya dengan nama vokal dan menghadiahkan label berani. Padahal dia kurang ajar. Saya malu punya anak seperti dia. Semoga Tuhan mengampuni saya dan saya yakin, Tuhan Maha Tahu, pastilah Tuhan melihat semua yang telah saya lakukan dan ketidakberdayaan saya menghadapi zaman yang semakin tak jelas arahnya ini."
"Saya ikut berdoa, Bu."
Di sudut lain ada beberapa ibu yang juga meneteskan air mata.
"Kenapa Bu?" tanya ibu yang mengira ada kebanggaan di hati ibu yang disapanya tadi.
"Saya adalah ibu dari anak-anak yang menginjak-injak, merobek-robek dan membakar foto ketika berdemo."
"Anak sayalah yang mengeluarkan makian kasar."
"Anak saya mencoreng wajah di foto sehingga tampak seperti drakula."