Mohon tunggu...
Pandu Adithama Wisnuputra
Pandu Adithama Wisnuputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Seorang penyuka sejarah, bahasa dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Stof en Rook (Bab III: Perjalanan ke Vaals (I))

28 Oktober 2024   17:47 Diperbarui: 28 Oktober 2024   17:53 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Akerstraat, Herlen circa 1920-1940. (Sumber: https://www.goltbeeck.eu/HEERLEN-Akerstraat-A41619)

Pada awalnya, aku berniat untuk membeli tiket kereta ke Maastricht, hoofsdstad provinsi Limburg, tapi aku sempat membaca dari koran bahwa keberadaan polisi militer di Maastricht cukup besar, mungkin karena sebagai kota besar dekat perbatasan, penjagaan harus diperketat, sedangkan Heerlen, setahuku adalah sebuah kota para pekerja tambang batu bara yang tidak terlalu berkembang, sehingga akan sedikit lebih aman bagiku. Lagipula, jarak dari Heerlen tidak terlalu jauh dari Vaals, hanya sekitar 17 km. Uggh, masih dua jam lagi, sebaiknya aku tidur saja. Sebelumnya, pistol telah ditaruh di dalam koperku seperti biasa. Kusenderkan kepala di pinggir jendela dan perlahan menutup mata.

......

Dok dok dok. "Juffrouw? Pemeriksaan identitas, buka pintunya sekarang." Terdengar suara dari balik kabin. Mataku perlahan terbuka, dan langsung merasa tegang. Gawat, apakah aku ketahuan? Sial! Petugas kereta bersama dua polisi militer masuk ke dalam kabin. Petugas kereta duduk di bangku seberangku. "Nona, tunjukkan surat-suratmu." Ia mengulurkan tangannya. Aku meraih koperku dan secara perlahan mengambil surat-suratku dan menyerahkannya ke petugas. Ia membaca surat-suratku, dan mengernyit. "Kenapa foto anda tidak sesuai dengan sekarang? Warna di foto ini jelas-jelas berwarna terang namun rambut anda berwarna hitam. Anda akan kami bawa ke gerbong belakang untuk diinterogasi. Soldats, bawa dia."

Kedua tentara meraih lenganku dan memaksaku berdiri. "Tidak perlu kasar begitu! Aku bisa sendiri!" Namun protesku tidak didengar dan kami keluar dari kabin. Sial, sekarang bagaimana? Kami berjalan melewati koridor, dengan dua bedil ditodong di belakangku, jelas sekali tidak ada kesempatan untuk pergi saat ini. Kereta perlahan mulai melambat dan akhirnya berhenti, terlihat pemandangan peron stasiun yang cukup besar. Station Heerlen? Aku sudah sampai? Berapa lama aku tertidur? Tiba-tiba seorang wanita tua, yang sepertinya tidak sadar kalau ada seseorang yang ditodong bedil berjalan melewati polisi, membuatnya goyah. "Hey! Verdomde oude oma! Kijk naar de rechtse!" (Hey! Nenek tua sialan! Lihat yang benar!) Teriak salah satu polisi, namun nenek itu tidak mendengar dan tetap membuka pintu gerbong dan turun dari kereta.

Dalam beberapa detik, kuambil kesempatan. Kepalaku menghantam dagu salah satu polisi, membuatnya teriak dan melepaskan bedilnya. Sebelum polisi lainnya bertindak, aku langsung memukul wajahnya dan membuatnya goyah. "Tering! Jij Teef!" (Kau jalang!), teriak polisi yang pertama kuhajar. Ia mendekat namun kuhajar dengan popor bedil hingga pingsan. Orang kedua mendekat, tapi kali ini terkena hantaman  Segera aku raih salah satu bedil dan menodong petugas kereta. "Tetap disini, kalau tidak.." Aku menodong tepat di dadanya. Ia terlihat sangat ketakutan dengan mata yang terbelalak serta keringat yang bercucuran, dan hanya bisa merintih di lantai. Tidak ingin membuang waktu lagi, aku keluar dari gerbong kereta berbekal bedil.

Pintu utama stasiun pasti dijaga, sebaiknya aku turun lewat ujung peron saja, pikirku. Aku langsung berlari ke arah ujung peron, melewati beberapa orang yang terkejut melihatku membawa bedil dan melompat ke pekarangan stasiun. Mereka sempat berteriak dan menarik perhatian polisi yang ikut mengejarku. Beberapa tembakan terdengar dari bedil mereka dan nyaris mengenai kakiku, untungnya aku berhasil lolos dari mereka. Kulewati pekarangan stasiun dan keluar melalui gang kecil. Kota Heerlen terlihat lebih sibuk dibandingkan Rotterdam, beberapa orang-orang terlihat berlalu-lalang dengan nuansa Kerstmis yang masih terlihat namun tidak terlalu banyak karena memang sudah sangat larut. Pemandangan kota Heerlen tidak terlalu banyak yang berbeda dengan kota-kota yang kulihat selama ini, arsitektur-arsitektur Belanda memang tidak terlalu bervariasi.

Perkiraanku mungkin benar, tentang di sini tidak terlalu mendapat ancaman dari pemerintah. Polisi masih terlihat, namun jumlahnya tidak banyak, dan itupun hanya beberapa orang yang menjaga beberapa akses masuk dan keluar kota, yang aku untungnya dapat menemukan jalan tersembunyi dan melewati penjagaan. Sialnya, Vaals masih jauh dari sini, tiga jam jalan kaki. Tidak ada pilihan, aku akan jalan. Sebelum berangkat, kulepaskan bedil dan menaruhnya di sudut bangunan yang gelap, agar tidak dicurigai membawa senjata di tengah malam begini.

Setelah berjalan cukup lama melewati kegelapan malam dan dinginnya salju, kakiku mulai sakit. Saat kulihat papan jalan di pinggir jalan, ternyata masih di Bocholz, sebuah desa kecil, satu jam lagi, namun kakiku sudah tidak kuat lagi, sebaiknya kucari penginapan yang masih buka.

......

Tidak banyak rumah yang lampunya masih menyala, dan rasanya tidak sopan untuk mengetuk pintu rumah yang pemiliknya pasti sudah tidur. Namun ada satu yang terlihat masih ada orang di dalamnya sehingga kudekati rumah itu. Pintu depan kuketuk. Aku tidak terlalu berharap bakal diterima menginap, tapi akan kucoba, jika tidak, bisa-bisa meninggal kedinginan di luar.

Pintu terbuka, dan kulihat seorang pria berambut pirang pendek, mungkin berumur sekitar 50-an dan mengenakan sebuah kacamata bulat tebal sedang membawa sebuah buku yang judulnya tertutup tangan. "Goedenacht, meneer. Maafkan ketidaksopananku mengetuk pintu semalam ini, tapi bolehkah aku menginap selama satu malam?" Aku bertanya dengan sopan. Ia melihatku yang terlihat menggigil meskipun memakai coat tebal dan tersenyum. "Tentu tidak masalah juffrouw, silahkan masuk. Saya sedang tidak bisa tidur sebelumnya dan mendengar ketukan di pintu." Ia mundur selangkah dan memperbolehkanku masuk. Kulepas coat milikku dan digantung di sebuah gantungan jaket, menyisakan sebuah kemeja hijau gelap dan celana krem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun