Salju sudah mulai turun dengan lebat, hawa dingin yang menusuk tulang menyengat siapapun yang nekat melewati jalanan kota. Hanya sedikit orang-orang yang keluar rumah namun lampu-lampu di dalam masih masih menyala, menandakan para penghuni rumah masih beraktivitas, wajar saja karena ini masih jam sembilan malam.
Tidak ada pilihan lagi, aku harus pergi ke Vaals, sesuai dengan pesan Marlene. Masalahnya, dari Rotterdam ke Vaals sana butuh waktu lama, sekitar 200 km dari yang kuingat. Salju yang semula turun dengan jumlah kecil sekarang semakin lebat dan cepat. Musim dingin keparat! Kenapa saljunya semakin lebat? Jalanku berhenti ketika dari balik bangunan terdengar suara orang-orang berjalan. Aku langsung bersembunyi di balik tempat sampah dekat sebuah gang gelap dan menahan nafas selagi orang-orang tersebut pergi. Kuintip sedikit dari pinggir tempat sampah dan melihat lima orang, berseragam abu-abu sambil membawa bedil-bedil mereka di punggung dengan yang terlihat seperti pemimpinnya membawa sebuah pistol berukuran sedang. Terdengar juga suara gonggongan anjing kasar dan penuh curiga, berjalan mengikuti lima orang tersebut.
"Luitenant Eerkens doet verslag vanaf de Willembrug. Geen tekenen van verdachte activiteiten. Over." (Letnan Eerkens melaporkan dari dekat Jembatan Willem. Tidak ada tanda-tanda kegiatan yang mencurigakan. Ganti.) Ia berbicara melalui radio kecil yang ia genggam. Kelima orang tersebut jelas bukan orang-orang Zwijgende Jongens, karena dari yang aku sering dengar dari sesama mahasiswa, mereka biasanya menyamar menjadi penduduk biasa sehingga sulit mengetahui siapa yang benar-benar menyamar dan tidak.
Rambutku yang berwarna Lilac muda sedikit menutupi pandanganku sambil mengintip dari balik tempat sampah. Kanker! warna rambutku pasti terlihat mencolok sekali di antara orang-orang kalau tetap dibiarkan, padahal warna rambut alamiku. Aku berjalan perlahan keluar dari gang kecil tersebut dan melihat sebuah papan nama di seberang jalan. Seelen's Kapperszaak (tukang pangkas rambut Seelen), sempurna.
Kulihat sekitar jalan. Kali ini beberapa orang terlihat berlalu lalang, mungkin pengawasan polisi militer tidak terlalu ketat di sini. Hiasan Kerstmis berupa lampu-lampu penghias bagian-bagian depan bangunan yang gemerlap dan pohon-pohon indah yang sebenarnya terlihat di seluruh kota Rotterdam sejak aku dan Marlene turun dari stasiun, namun tidak sempat memedulikan hal tersebut. Pintu depan tempat pangkas rambut terbuka dengan iringan melodi lagu-lagu Kerstmis. Â Seorang lelaki muda, mendatangiku. "Selamat datang juffrouw. Ada yang bisa kubantu?" Kujawab dengan ramah. "Iya. Tolong cat warna rambutku menjadi hitam pekat." Ia mengangguk dan menyuruhku untuk duduk di kursi.
......
Lama kemudian, sosok yang berada di depan cermin tempat pangkas rambut benar-benar tidak mirip denganku. Warna rambutku yang semula berwarna terang menjadi hitam legam, bagaikan sebuah danau yang tidak terlihat dasarnya, elegan dan juga berkilauan. "Terima kasih. Ini uangnya ya." Aku langsung membayar dan berjalan keluar. Kulihat sekeliling, dan orang-orang masih berlalu lalang.
Sekarang aku harus mencari cara agar dapat pergi ke Vaals, sialnya sekarang sudah hampir jam sepuluh malam, sebaiknya naik apa? Mungkin jadwal kereta hari ini masih ada? Aku langsung berlari menuju stasiun. Sama seperti sebelumnya, keadaan stasiun tidak terlalu banyak orang namun tidak sepi seperti saat turun disini. Di pinggir tembok stasiun terlihat jadwal kereta. Bagus! Ada satu kereta berangkat ke Heerlen satu jam lagi! Dompetku langsung langsung kuraih dari saku trench coatku dan segera berjalan menuju loket. Beberapa lama kemudian, aku segera menaiki gerbong kereta, berharap bisa selamat sebelum tiba di tujuan.
......
Peluit kereta bernada rendah terdengar dari kejauhan, diikuti oleh sebuah goncangan pelan, penanda kereta sudah mulai berjalan. Tidak seperti kereta sebelumnya, kali ini penumpang yang menaiki kereta terlihat lebih banyak, dengan beberapa orang masuk kedalam gerbong yang sama, namun nuansa tegang tetap terasa. Polisi militer berjaga di setiap sudut gerbong dengan menenteng bedilnya, dengan tatapan mengerikan bagaikan serigala yang siap menerkam bila melihat mangsanya. Kutarik arlojiku. Jam sepuluh lewat dua puluh malam, masih lama perjalanan menuju Heerlen.