Mohon tunggu...
Pandu Adithama Wisnuputra
Pandu Adithama Wisnuputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Seorang penyuka sejarah, bahasa dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Stof en Rook (Bab II: Musim Gugur di Leiden)

26 Agustus 2024   05:30 Diperbarui: 26 Agustus 2024   06:38 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Karya penulis

Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, rapat V.C yang seharusnya tidak berkonflik atau temanku telah menjadi sebongkah daging tak bernyawa. Marlene... kenapa kau tinggalkan aku secepat ini? Selama aku berlari dari polisi militer yang menggagalkan rapat rahasia kami, ingatan beberapa bulan lalu mulai memasuki kepalaku yang sedang berlari di jalanan bersalju yang dingin dan gelap.

......

September, 1920. Kota Leiden, Republik Belanda.

Aku ingat pada saat bertemu denganmu tahun lalu, setelah mendapatkan berita bahwa aku akhirnya diterima di Universitas Leiden, kami sekeluarga segera berangkat ke negeri Belanda dari Makassar. Pada awalnya, banyak yang tidak menyambut kami dengan begitu baik oleh teman-teman seangkatanku ataupun orang-orang disana karena menurut mereka, aku bukanlah orang Belanda “asli”. Orang tuaku selalu membelaku sehingga hatiku sedikit merasa tenang, namun ketegangan tetap terasa. Orang-orang terus menatapku dengan aneh, seringkali dengan muka yang menunjukkan bahwa mereka merasa jijik atau, memberikan cacian langsung. Setelah menemukan rumah kontrakkan yang akan aku gunakan selama kuliah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sekitar kota Leiden. Udara Belanda benar-benar berbeda dengan daerah panas tropis seperti di Makassar, butuh waktu lama untukku agar terbiasa dengan udara di sini. Aku duduk di bangku kecil di dekat kanal Steenschuur, mengeluarkan buku catatan dan mengamati lingkungan sekitar.

Musim gugur benar-benar musim yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kalau selama di Makassar, atau dimanapun di Hindia, cuacanya hanya ada dua macam: panas yang sangat membara di siang hari dan dingin di malam hari yang dapat membuat orang-orang mudah sakit, dan musim hujan. Jujur, aku lebih memilih cuaca hujan, terutama hujan gerimis dengan sedikit angin berhembus. Nuansanya benar-benar membuat hatiku lebih tenang dan damai. Di sini, nuansa tenang bisa didapat dengan angin yang cukup dingin, sehingga aku harus memakai syal tebal kalau di luar. Daun gugur dari pohon-pohon yang turun dengan lambat oleh angin memberikan warna merah tua yang menghiasi bangunan-bagunan,jalanan, trotoar, bahkan air kanal. Aku paham kenapa mereka bilang negeri Belanda sangatlah indah, meskipun karakter orang-orangnya perlu disetel sedikit.

“Kamu sendiri saja di sini?” Tanya seseorang dari arah sebelah. Aku menoleh ke arahnya dan menemukan seorang perempuan muda, kelihatannya seumuran sedang berdiri menenteng sebuah koper. Ia memakai blouse putih bernuansa krem dengan sedikit warna hijau zamrud.“Memang iya, ada masalah?” gerutuku. “Sedikit, kau seperti kelihatan tidak punya teman.” Aku mengernyitkan mata, orang ini kenapa, ikut campur orang secara acak begini?. “Wajar saja, aku kan baru di sini. Jauh-jauh datang dari Hindia.” Perempuan itu terkejut, lalu mengambil tempat kosong di sampingku. “Eh? Kamu dari Hindia? Dari mana? Kamu nggak kelihatan seperti orang Indo.” Ia bertanya dengan nada tertarik, meskipun membuatku sedikit tersinggung. “Dari Makassar, di Pulau Celebes. Aku memang orang Indo, terus kenapa? Mau mengejekku seperti yang lain?” Ia tersenyum. “Tentu tidak. Bagaimanapun, orang Indo tetap memiliki darah Belanda, darah Eropa, itu sudah cukup. Bicara soal Indo, memangnya kamu keturunan mana?”

Ia ternyata tidak seburuk yang aku kira, sedikit aneh tapi ia sopan dan punya rasa tertarik yang kuat. “Ayahku keturunan orang-orang Trekboers, keturunan Belanda di Afrika Selatan, leluhurku dari Eindhoven, Noord-Brabant, ia bekerja sebagai salah satu pemilik perusahaan dagang di sana, namun karena situasi politik yang semakin lama semakin panas, ia memutuskan untuk meninggalkan Afrika dan pergi ke Hindia Belanda, dimana ia yakin dapat melanjutkan bisnisnya di sana. Ia pergi ke pulau Celebes, menetap di sana, menikahi gadis lokal, dan itulah cerita bagaimana aku lahir.”

Ia mengangguk-angguk. “Ooh, kamu ternyata punya cerita yang menarik. Kalau yang aku dengar dari papa, orang-orang Indo dianggapnya sebagai orang-orang di bawah Belanda totok. Aku inginnya tidak percaya begitu.”

Aku menatapnya dengan sedikit marah. “Hanya gara-gara kami bukan seratus persen warga Eropa, kulit kami tidak seputih mereka, dan lahir dari rahim bumiputra yang ‘kotor’!” Aku memukul sandaran besi bangku. Ia terkejut dan bergeser sedikit ke samping. Aku melihatnya sedikit tegang denganku dan mengambil nafas dengan dalam. “Ma-maaf. Aku tadi terbawa emosi, nona...” Baru sadar kalau ia belum menyebutkan namanya. Ia tersenyum sedikit, berusaha untuk tidak terlalu tegang. “Tidak, tidak masalah, aku paham kenapa kamu marah. Aku Marlene. Marlene Vroom. Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Leiden. Kamu?” Aku terkejut mendengarnya. “Kamu ilmu sejarah juga? Wah, kita satu jurusan ternyata. Oh ya, namaku Anna, Anneliese Jan Frederik.” Aku mengulurkan tanganku dan ia menjabatnya dengan tangannya yang lembut. Orangnya baik juga, tidak seperti kebanyakan orang Belanda totok. “Kau beruntung punya kisah yang menarik, aku tidak punya banyak yang bisa diceritakan.” Ia sepertinya menyembunyikan seseuatu, tapi sebaiknya jangan kutanya sekarang.

Kami berbicara selama beberapa waktu sambil melewati hari yang suram musim gugur, kebanyakan berbicara mengenai bagaimana kehidupan perkuliahan nanti. Kami kemudian berpindah dari bangku tersebut dan berjalan-jalan sebentar melewati jalan-jalan kota. “Marlene, teman-temanku akan segera berkumpul satu jam lagi di taman Van der Wert, kau ingin ikut bersamaku?” Ia mengangguk. “Boleh saja, aku juga sedang tidak melakukan apa-apa juga hari ini.” Kami berjalan beberapa menit, kemudian bertemu dengan beberapa teman-teman dari angkatan yang sama di taman Van der Wert.

.......

Beberapa menit kemudian, kami tiba di taman dan melihat beberapa orang yang sedang berkumpul di dekat air mancur. Aku menyapa mereka dan langsung ikut mendengarkan mereka sedang bicara apa.

Dus dat is het, kuliah akan dimulai beberapa minggu lagi, kita harus mempersiapkan diri.” kata Marian Veenhuis, mahasiswi Fakultas Hukum yang sedang merapihkan rambut merahnya. “Kalian sudah dapat tempat untuk tinggal selama di sini? Aku masih kesulitan untuk menemukan tempat yang murah.” tanya Kerstan Maris, mahasiswa Sains berambut keriting, yang sejak tadi membaca buku catatan yang aku sempat intip, ternyata tertulis berbagai alamat yang telah dicoret, sepertinya ia kurang beruntung menemukan kos. Aku menepuk pundaknya dan menyapanya. “Hey Kees, aku tahu tempat yang bagus. Di jalan Langeburg, no 243, milik Mevrouw Fokker tergolong yang paling murah di Leiden, mungkin kau bisa tinggal di sana.” Kerstan menatapku dengan heran. “Bagaimana kau bisa tahu Na?” Mendengarnya bertanya membuatku tersenyum.

“Sejak turun dari kapal, seharian penuh aku mengelingi kota dan melihat iklan-iklan yang tertera di koran, papan-papan di atas pintu, dan bertanya ke beberapa orang bersama orangtuaku. Coba saja, nanti kau akan lihat sendiri harganya.” Kerstan tersenyum. “Baik, aku akan langsung melihatnya, sampai nanti kalian semua!” Ia segera berlari ke halte bus terdekat. Kami berbincang-bincang selama beberapa waktu sebelum datangnya sebuah mobil mewah hitam (sebuah Hispano-Suiza H6) yang berhenti mendadak tepat di sebuah kubangan, mencipratkan airnya ke bajuku. “Hey! Apa-apaan kamu! setir mobil yang benar!”.

Seorang perempuan muda keluar dari mobilnya, ia ditemani seorang pria muda berbadan besar dan berotot yang kelihatan seperti pelayannya. “Salah sendiri kamu berdiri di sebelah kubangan, dasar bodoh. Sekarang kamu telah membuat mobilku kotor!” Aku menatapnya heran, ia serius menyalahkanku? Marlene, yang kebetulan berada di dekatku, ikut bicara. “Joëlle van der Luit... Kau benar-benar tidak ada kerjaan sama sekali sampai-sampai mengurusi mahasiswa baru?” Marlene tersenyum sambil menyindir.

Joëlle merapihkan gaun kremnya dan langsung menjawab. “Anak baru sudah berani sombong ya dengan senior? Marlene!” Ia menunjuk pada Marlene yang berdiri di sebelahku. “Kamu keturunan Gubernur Jenderal Hindia! Malah bermain dengan orang-orang miskin.” Marian dan beberapa lainnya langsung menunduk malu. Marlene terkejut mendengarnya, namun tetap berusaha tenang. “Terus kenapa? Memangnya aku harus bersikap sombong seperti kamu? Anak bangsawan tinggi tapi bodoh, kamu menyuap berapa gulden buat lulus hah?”. Joëlle tiba-tiba mencengkram leher Marlene. “Enak saja! Berani-beraninya menghina keluarga van der Luit! Albert! Hajar si brengsek ini!” Albert, pelayan Joëlle yang sejak tadi duduk di kap mobil langsung berdiri. Ia melepas jas dan rompi hitamnya dan langsung menyingsingkan lengan bajunya. “Jangan bertindak bodoh nona, kamu mau wajah manismu rusak?” Albert mengancam sambil menyengir.

“Hey, pelayan dungu! Urus mobilmu sana!” Ia dan Joëlle menoleh kepadaku yang berada di dekat mobil. Aku bersama salah satu temanku yang mempunyai kamera Kodak kecil berdiri di balik mobil dan memotret Joëlle yang sedang mencengkram kerah baju Marlene. “Apa maumu, hah!?” Joëlle teriak bagaikan beruang. Aku tersenyum kecil. “Tidak ada, akan aku laporkan ke polisi kalau mau, kau tidak mau reputasi keluargamu bernoda kan? Hanya gara-gara masalah kecil seperti tadi.”

Joëlle melepaskan cengkramannya dan menatapku dengan kesal. “Hey, kamu orang Indo bukan?” Ia bertanya dan mendekatiku. “Terus? Ada hubungannya hah? Kamu tidak punya umpatan lain?” Joëlle menghampiriku dan menampar mukaku, rasanya sakit juga untuk tamparan wanita. “Tidak sepertimu, aku tidak lahir dari rahim bumiputra kotor. Lebih buruk lagi ayahmu bukanlah orang Belanda totok, cuma keturunan Trekboers pengecut yang tidak setia terhadap martabat bangsa asalnya, lalu menikahi gadis bumiputra. Hina sekali, Hina!.”

Alis mataku mengernyit. Berani-beraninya ia menghina keluargaku dengan mudahnya. Soal diriku sebagai orang Indo sudah terbiasa namun sampai menghina ibuku sendiri?. Kuhampiri dia dan langsung memukul wajahnya beberapa kali. Perkelahian berat mulai terjadi dimana aku yang sudah tidak tahan lagi amarahnya memukul Joëlle hingga ia berteriak nyaring. “Albert! Bantu aku, dasar bodoh!” Albert langsung menarik kerah bajuku dan memukul begitu kuat di kepala, secara samar-samar aku melihat mereka berdua masuk ke mobil dan pergi. Aku pun pingsan karena dihantam sebegitu kuatnya. Sebelum hilang kesadaran, kulihat mobil mewah Joëlle melaju pesat dan teman-temanku mundur.

.......

“Anna. Kamu tidak apa-apa? Sudah bangun?” Terdengar suara Marlene yang sudah familiar di telingaku. Aku perlahan-lahan membuka mata, ternyata aku tertidur di sebuah sofa, di tempat yang tidaklah familiar. Sekeliling ruangan bernuansa cokelat tua dan memiliki beberapa lukisan pajangan, salah satunya adalah foto keluarga berpakaian mahal yang salah satu orang yang ada dalam foto terlihat seperti... Marlene? “Kau ada di rumahku, tidak apa-apa. Kau dihantam keras sekali tadi.” Ia menjelaskan sambil menggunting potongan perban. Aku sadar bahwa ada perban besar yang melilit di kepalaku, dan saat disentuh, terasa sakit yang sangat kuat.

“Kau beruntung, pelayannya Joëlle memukulmu hingga pingsan, aku langsung membawamu ke rumahku setelah mereka berdua kabur. Teman-temanmu juga ikut membantu.” Marlene berkata ketika ia  mengelap tangannya dengan sapu tangan. “Joëlle keterlaluan, terbiasa di lingkungan orang-orang kaya membuat otak mulusnya berhenti bekerja. Untuk sekarang kamu diperban dulu, nanti akan kubawa kau ke dokter.” Kutatap matanya yang berwarna ungu elegan, yang kontras dengan warna rambut keperak-perakan dan kulitnya yang berwarna terang. “Marlene, aku berhutang banyak kepadamu, terima kasih.” Kuberikan sebuah senyum hangat kepadanya. Ia tersenyum balik. “Sama-sama, kita kan sekarang teman. Lain kali, jika kau punya masalah selama di sini, beritahu aku saja. Akan aku bantu sebisa mungkin.” Aku tersenyum malu, beruntung sekali bertemu dengan orang baik, seorang teman. “B..baik... aku terima...” Ia tertawa kecil setelah melihatku malu. "Dasar kamu, malah malu begitu".

Ia pun membawaku ke dokter untuk diobati secara menyeluruh. Untungnya lukanya tidak terlalu parah. Selama masa penyembuhan, Marlene sering datang ke rumahku setelah kami selesai perkuliahan. Kami ternyata mempunyai hobi yang sama. Kami sering berjalan-jalan berdua mengelilingi kota Leiden hingga malam, membaca buku di perpustakaan kampus sampai tutup, makan bersama hingga terkadang saling menginap di rumah masing-masing. Kami terus melakukannya selama beberapa minggu yang menyenangkan.

Suatu hari, kami berdua sedang duduk di teras rumah milik Marlene. Nuansa malam yang begitu indah di musim gugur yang dingin memberikan nuansa yang indah. “Hey, Marlene, ada yang ingin kutanyakan. Apa benar kamu keturunan Gubernur Jenderal Hindia?” Marlene menoleh sambil mengambil sebatang rokok dari kantong bajunya. Ia sebetulnya jarang merokok, namun hanya dari merek tertentu dari yang aku lihat selama ini. “Iya benar. Charles Ferdinand Pahud. Kalau tidak salah sejak tahun 1856 sampai 1861. Ia memimpin beberapa ekspedisi militer selama menjabat. Djambi, Riouw, Banjarmasin, Celebes, banyak, lalu ia tinggal di Den Haag sampai ia wafat tahun 73. Kenapa?” Ia bertanya. “Tidak. Aku hanya pernah dengar sekali oleh si bodoh Joëlle yang menghajarku beberapa waktu lalu. Cukup penasaran dengan hal itu, tapi aku rasa agak sedikit kasar kalau bertanya tentang ini waktu itu.” Ia mengangguk. “Ia Gubernur-Jenderal yang kompeten, namun banyak juga kengerian yang terjadi selama perang melawan orang-orang bumiputra itu yang selalu ia banggakan. Aku tidak pernah setuju dengannya dalam hal itu.”

Aku menggeleng. “Tidak semuanya buruk. Jika kau baca, ia memasang kabel telegraf pertama di Hindia, tentu membuat komunikasi jauh lebih mudah. Namun kau benar, ia memang memerintahkan berbagai pemberontakan untuk ditumpaskan dengan kekuatan militer. Aku tidak pernah setuju akan hal itu. Juga, ia menyatakan bahwa perbudakan telah dilarang pada tahun 1860, namun kenyataanya, banyak yang masih memiliki budak di luar Jawa. Untungnya keluargaku tidak ikut melakukannya, satu dari sedikit orang-orang yang waras. Orang Indo apalagi.” Aku tersenyum menyindir. Marlene memukul pundakku. “Ayolah, setidaknya yang waras tidak hanya kau. Dunia ini memang gila.” Kami berdua tertawa bersama, layaknya teman yang sudah sangat akrab.

.......

Beberapa waktu kemudian, aku memutuskan untuk ikut organisasi yang ditawarkan Marlene setelah protes besar yang terjadi di pusat kota beberapa minggu lalu. Marlene ternyata bekerja sebagai ketua divisi informasi organisasi tersebut, berarti ia mengumpulkan semua informasi yang dapat digunakan untuk keberlangsungan organisasi dan melaporkannya ke ketua. Hal tersebut sangatlah melelahkan mengingat kami juga adalah mahasiswi yang perlu belajar intensif, tapi aku cukup senang dengan pekerjaan tambahan ini. Aku ditugaskan sebagai juru tulis sekaligus saksi setiap pertemuan yang kami temui dan merapihkan segala informasi yang aku dapatkan.

 Suatu hari, kami mendapat sebuah surat yang menyatakan Marlene harus datang ke Rotterdam untuk membahas temuan yang ingin ia beritahu kepada lainnya. Ia mengajakku untuk ikut, dan tentunya aku menyetujui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun