“Kau beruntung, pelayannya Joëlle memukulmu hingga pingsan, aku langsung membawamu ke rumahku setelah mereka berdua kabur. Teman-temanmu juga ikut membantu.” Marlene berkata ketika ia mengelap tangannya dengan sapu tangan. “Joëlle keterlaluan, terbiasa di lingkungan orang-orang kaya membuat otak mulusnya berhenti bekerja. Untuk sekarang kamu diperban dulu, nanti akan kubawa kau ke dokter.” Kutatap matanya yang berwarna ungu elegan, yang kontras dengan warna rambut keperak-perakan dan kulitnya yang berwarna terang. “Marlene, aku berhutang banyak kepadamu, terima kasih.” Kuberikan sebuah senyum hangat kepadanya. Ia tersenyum balik. “Sama-sama, kita kan sekarang teman. Lain kali, jika kau punya masalah selama di sini, beritahu aku saja. Akan aku bantu sebisa mungkin.” Aku tersenyum malu, beruntung sekali bertemu dengan orang baik, seorang teman. “B..baik... aku terima...” Ia tertawa kecil setelah melihatku malu. "Dasar kamu, malah malu begitu".
Ia pun membawaku ke dokter untuk diobati secara menyeluruh. Untungnya lukanya tidak terlalu parah. Selama masa penyembuhan, Marlene sering datang ke rumahku setelah kami selesai perkuliahan. Kami ternyata mempunyai hobi yang sama. Kami sering berjalan-jalan berdua mengelilingi kota Leiden hingga malam, membaca buku di perpustakaan kampus sampai tutup, makan bersama hingga terkadang saling menginap di rumah masing-masing. Kami terus melakukannya selama beberapa minggu yang menyenangkan.
Suatu hari, kami berdua sedang duduk di teras rumah milik Marlene. Nuansa malam yang begitu indah di musim gugur yang dingin memberikan nuansa yang indah. “Hey, Marlene, ada yang ingin kutanyakan. Apa benar kamu keturunan Gubernur Jenderal Hindia?” Marlene menoleh sambil mengambil sebatang rokok dari kantong bajunya. Ia sebetulnya jarang merokok, namun hanya dari merek tertentu dari yang aku lihat selama ini. “Iya benar. Charles Ferdinand Pahud. Kalau tidak salah sejak tahun 1856 sampai 1861. Ia memimpin beberapa ekspedisi militer selama menjabat. Djambi, Riouw, Banjarmasin, Celebes, banyak, lalu ia tinggal di Den Haag sampai ia wafat tahun 73. Kenapa?” Ia bertanya. “Tidak. Aku hanya pernah dengar sekali oleh si bodoh Joëlle yang menghajarku beberapa waktu lalu. Cukup penasaran dengan hal itu, tapi aku rasa agak sedikit kasar kalau bertanya tentang ini waktu itu.” Ia mengangguk. “Ia Gubernur-Jenderal yang kompeten, namun banyak juga kengerian yang terjadi selama perang melawan orang-orang bumiputra itu yang selalu ia banggakan. Aku tidak pernah setuju dengannya dalam hal itu.”
Aku menggeleng. “Tidak semuanya buruk. Jika kau baca, ia memasang kabel telegraf pertama di Hindia, tentu membuat komunikasi jauh lebih mudah. Namun kau benar, ia memang memerintahkan berbagai pemberontakan untuk ditumpaskan dengan kekuatan militer. Aku tidak pernah setuju akan hal itu. Juga, ia menyatakan bahwa perbudakan telah dilarang pada tahun 1860, namun kenyataanya, banyak yang masih memiliki budak di luar Jawa. Untungnya keluargaku tidak ikut melakukannya, satu dari sedikit orang-orang yang waras. Orang Indo apalagi.” Aku tersenyum menyindir. Marlene memukul pundakku. “Ayolah, setidaknya yang waras tidak hanya kau. Dunia ini memang gila.” Kami berdua tertawa bersama, layaknya teman yang sudah sangat akrab.
.......
Beberapa waktu kemudian, aku memutuskan untuk ikut organisasi yang ditawarkan Marlene setelah protes besar yang terjadi di pusat kota beberapa minggu lalu. Marlene ternyata bekerja sebagai ketua divisi informasi organisasi tersebut, berarti ia mengumpulkan semua informasi yang dapat digunakan untuk keberlangsungan organisasi dan melaporkannya ke ketua. Hal tersebut sangatlah melelahkan mengingat kami juga adalah mahasiswi yang perlu belajar intensif, tapi aku cukup senang dengan pekerjaan tambahan ini. Aku ditugaskan sebagai juru tulis sekaligus saksi setiap pertemuan yang kami temui dan merapihkan segala informasi yang aku dapatkan.
Suatu hari, kami mendapat sebuah surat yang menyatakan Marlene harus datang ke Rotterdam untuk membahas temuan yang ingin ia beritahu kepada lainnya. Ia mengajakku untuk ikut, dan tentunya aku menyetujui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H