Mohon tunggu...
Lingga Wastu
Lingga Wastu Mohon Tunggu... -

Ladang Aksara Yang Jarang Gagal Panen.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Antara Uang dan (Gaya) Hidup

9 Maret 2016   01:22 Diperbarui: 27 April 2019   02:32 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Uang bukan segalanya." - Anonim

Menarik ya kutipan di atas? Semua pasti pernah dengar kan? Uang memang bukan segalanya, tapi sialnya segalanya (seakan-akan) butuh uang. Lalu, bagaimana cara kita mendapatkan uang? Tentu saja dengan bekerja.

Bekerja, menurut saya adalah berkarya. Ada orang bekerja keras, ada juga yang bekerja cerdas. Saya bekerja di lingkungan orang-orang kreatif yang bekerja sesuai passionnya: ada yang suka gambar, ada yang suka bikin strategi, ada yang suka sama temen sekantor, banyaklah jenis passion di situ.

Saya punya teman bernama Iqbal yang baru saja menikah beberapa bulan lalu. Iqbal adalah lelaki Sunda yang mengais rejeki di jakarta untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama istrinya. Setiap hari Senin dan Kamis dia sangat rajin berpuasa, ibadah baginya juga bisa menyelamatkan isi kantongnya dari sebungkus rokok. Mungkin pahalanya berlipat ganda, selain ibadah, dia juga menjauhkan diri dari hal yang konon katanya bisa "membunuhmu." Di hari lainnya, Iqbal seringkali memesankan sebungkus krecek sebagai santapan malam kesukaan istrinya. Setiap hari Iqbal pulang pergi Jakarta - Ciawi - Jakarta - Ciawi - Sampai nanti dia dapat kerja di kantor lain.

Bagi Iqbal, mungkin 50 ribu akan digunakan untuk membeli sekardus mie instan dan seliter beras. Tapi, bagi yang lain 50 ribu bisa saja digunakan untuk membeli segelas kopi bermerk internasional yang saat diteguk, rasanya seperti kisah cinta di masa lalu. Pekat dan pahit.

Bukan cuma Iqbal, di luar sana pasti banyak orang seperti dia yang bekerja untuk menyambung hidup, tapi di luar sana juga banyak orang yang bekerja untuk menyambung gaya hidup.

Mari belajar dari Iqbal, yang bekerja untuk menghidupi hidupnya, bukan menghidupi gayanya.

Manusia dan Nilai Tambah

Sekarang ini manusia terlalu banyak dicekoki nilai tambah dari produk-produk yang populasinya lebih banyak daripada anak punk bau ketek di pinggir jalan. Ada beberapa teman yang begitu antusias menjelaskan kalau produk kosmetik kesayangannya adalah produk yang ramah lingkungan dan tidak melakukan percobaan kepada hewan. Ada juga teman lainnya yang begitu menolak sebuah produk sepatu karena mendukung kampanye LGBT. Apakah keduanya salah? Tentu tidak, keduanya sama-sama punya keyakinan, bedanya, yang satu mendukung, yang satu menolak. Pasar selalu bisa diciptakan! (Begitu juga penolakan. Kita tanpa sadar telah berkali-kali tercuci otaknya setiap kali terpapar iklan, obrolan, gosip, atau lainya.

Perlu kita ingat, sebelum ada mata uang, manusia bertransaksi menggunakan rempah-rempah, atau saling bertukar barang. Kemudian kecerdasann manusia berhasil menciptakan uang sebagai sebuat alat tukar barang yang sah. MANUSIA MENCIPTAKAN UANG! Tapi sayangnya, malah banyak dari kita yang diperbudak oleh uang. Kita yang menciptakan uang, kemudian kita harus mencarinya untuk bertahan hidup, tapi kemudian kita takluk pada nilai-nilai tambah yang membuat definisi mempertahankan hidup menjadi mempertahankan gaya hidup.

Untuk apa para wanita mencukur alis kalau ujungnya mereka menggambar kembali alis yang mereka cukur? Untuk apa kita bekerja keras kalau kita sudah tahu gaji bulanan tidaklah akan berubah sekeras apapun kita bekerja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun