Setelah menikmati periode dekade yang stabil dari 2010-2019, dunia menghadapi dekade penuh gejolak yang eksponensial dan berdampak multidimensional pada dekade ini. Gejolak dimulai dari pandemi COVID-19 yang merembet menjadi resesi ekonomi global yang kemudian dilanjutkan krisis geopolitik multi-episentrum.Â
Berbagai studi telah memprediksi bahwa ada dua hotspot yang berpotensi menjadi episentrum krisis geopolitik ke depannya yaitu Laut China Timur (LCT) dan Laut China Selatan (LCS) (Jiang, 2019; Kalimuddin dan Anderson, 2018; Nie, 2016; Nguyen, 2016; Severino, 2010). LCT menjadi hotspot karena ada persinggungan kepentingan antara China, Taiwan dan Jepang.Â
Sementara LCS menjadi hotspot karena terdapat persinggungan kepentingan multi sektor dan multi aktor di dalamnya. Terkhusus untuk  yang disebut terakhir, dampaknya bagi ekonomi global, politik internasional dan keamanan regional sangat tinggi. Oleh karena itu, Indonesia perlu menaruh perhatian lebih untuk berbagai dinamika di Laut China Selatan dalam rangka memainkan peran yang vital dan strategis baik untuk kepentingan domestik maupun regional.
Tensi di sekitar LCS memiliki sejarah yang panjang dan bermula pada tahun 1947 ketika China mengeluarkan peta yang mengklaim kepemilikan atas LCS berbasis bukti-bukti sejarah 2000 tahun sebelumnya. China menaruh klaim dengan instrumen garis historis yang umum disebut sebagai nine dash line yang mencakup keseluruhan LCS. Klaim ini mendapat tentangan dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Taiwan.Â
Lebih dari itu, Amerika Serikat juga menunjukkan tentangan atas klaim ini utamanya karena LCS merupakan rute transit penting untuk jalur minyak bumi dan terdapat kehadiran Angkatan Laut AS di LCS (Jawli, 2016). LCS saat ini telah menjadi titik sentral rivalitas antara China dan Amerika Serikat yang menjadi isu penting saat ini (Buzynski, 2012).Â
Selain itu, mengingat LCS merupakan jalur perdagangan internasional yang ramai maka terdapat juga negara non claimant seperti India dan Jepang yang berkepentingan tetap menjaga LCS sebagai laut internasional.
Tensi terkait LCS merupakan suatu ketegangan yang bersifat multidimensional. Dalam artian, bukan hanya terkait dengan perselisihan teritorial. Lebih dari itu, terdapat juga tensi politik, tensi terkait potensi dan kerugian ekonomi serta diwarnai oleh potensi konflik antar negara yang tinggi. Perselisihan teritorial terjadi karena ada klaim yang meliputi wilayah maritim dan beberapa pulau di LCS. China mengajukan klaim bahwa memiliki hak ekslusif secara historis atas LCS, klaim yang ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Internasional di Hague.Â
Secara ekonomi, diestimasikan bahwa setiap tahunnya nilai perdagangan internasional yang melewati LCS mencapai angka $5 triliun (Gurung, 2018). Hal yang tentunya akan memberi dampak ekonomi masif bagi pemegang hak eksklusif atas LCS dan kerugian besar bagi negara yang kehilangan akses atas LCS. Lebih dari itu, diperkirakan terdapat potensi minyak bumi sebesar 7,5 miliar barel dan gas alam sebesar 145,5 triliun kaki kubik (Jawli, 2016).Â
Berbagai dinamika yang mengarah pada konflik juga telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya adalah terjadinya beberapa kali persinggungan antara Armada Penjaga Pantai China dan Filipina.
Ketegangan multidimensional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya apabila tidak disikapi dengan langkah-langkah yang tepat dan efektif berpotensi meinumbulkan krisis multidimensional.Â
Apalagi, studi dari Gurung (2018) dengan jelas menemukan bahwa terdapat benturan doktrin kebijakan internasional antara China dan Vietnam terkait LCS. Pada satu sisi, China mengesahkan dua undang-undang yang menjadi basis klaim zona ekonomi eksklusif di LCS. Keduanya adalah Undang-Undang Tahun 1992 tentang Laut Teriorial dan Zona Tambahan serta Undang-Undang Tahun 1998 tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Pada sisi lain, Vietnam mengesahkan tiga kebijakan yang menjadi doktrin kebijakan internasional Vietnam terkait LCS.Â
Pertama adalah Resolusi Politbiro no. 03-NQ/TW Tahun 1996 tentang pembangunan ekonomi maritim di LCS. Kedua adalah Kebijakan Strategi Maritim Vietnam Menuju Tahun 2020 yang diadopsi oleh Komite Sentral Partai Komunis pada tahun 2017. Ketiga adalah Undang-Undang Hukum Laut Vietnam Tahun 2012 yang memuat kepentingan maritim dan kerangka legal Vietnam di LCS yang disahkan oleh Majelis Nasional Vietnam.Â
Lebih lanjut, bagi Amerika Serikat, tensi terkait LCS dianggap sebagai hal penting untuk mempertahankan supremasi AS di kawasan sekaligus ujian bagi kapasitas militer serta keahlian diplomasi dalam menghadapi kebangkitan China (Kim, 2015).
Ada setidaknya tiga kemungkinan yang dapat terjadi terkait dengan dinamika dan eskalasi di LCS. Kemungkinan pertama adalah adanya berbagai ketegangan namun tidak bereskalasi pada terjadinya perang terbuka antar negara. Kemungkinan pertama ini didorong oleh beberapa latar belakang.Â
Pertama, semenjak pertengahan dekade 1990-an, China menerapkan strategi dengan selalu menunda berbagai resolusi untuk penyelesaian perselisihan terkait LCS.Â
Strategi ini ditujukan untuk mengkonsolidasikan klaim China terkait hak-hak maritim dan yurisdiksi atas laut serta untuk menghalangi negara lain memperkuat klaimnya atas LCS (Fravel, 2011). Hasilnya, strategi penundaan resolusi ini telah mampu mencegah eskalasi ketegangan namun pada sisi lain memperkuat klaim China atas LCS.Â
Selain itu, daya tarik dari manfaat ekonomi yang ditawarkan China juga menjadi determinan yang relatif mampu mendikte perilaku beberapa pemerintah negara Asia Tenggara terkait isu LCS (Jiang, 2019). Beberapa instrumen yang digunakan misalnya adalah megaproyek Belt and Road Initiative serta investasi pembangunan infrastruktur ke berbagai negara Asia Tenggara.
Kemungkinan kedua yang dapat terjadi dari dinamika dan eskalasi perselisihan di LCS adalah adanya ketegangan yang memuncak pada perang terbuka. Ada beberapa dinamika terbaru yang dapat menjadi latar belakang dari kemungkinan kedua ini. Pertama adalah perkembangan kehadiran dari Angkatan Laut China disertasi dengan berbagai misi yang dilakukan di sekitar LCS. Langkah ini diambil oleh China untuk menjustifikasi langkah-langkah asertif guna menekan negara lain, utamanya Vietnam dan Filipina, untuk mengakui kedaulatan China atas LCS (Buzynski, 2012).
Kedua adalah langkah-langkah strategis Vietnam yang menggandeng Jepang sebagai mitra militer strategis di LCS. Jepang telah memperkuat keterlibatan maritim di LCS melalui kemitraan dengan Vietnam untuk menentang proyek reklamasi China di LCS hingga mengirim kapal-kapal patroli guna memperkuat kapasitas maritim Vietnam (Gurung, 2018).Â
Ketiga adalah penguatan kehadiran militer Amerika Serikat melalui repositioning di sekitar LCS dan memperkuat kerjasama keamanan dengan negara-negara Asia Tenggara yang juga memiliki klaim atas LCS (Buzynski, 2012). Perkembangan terbaru memperlihatkan bahwa Filipina telah memberi lampu hijau untuk kehadiran tentara AS yang lebih luas. Berbagai perkembangan yang terkait dengan eskalasi aktivitas militer ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi determinan lahirnya perang terbuka di LCS.
Kemungkinan ketiga adalah berhasil dicapainya manajemen yang efektif atas perselisihan terkait LCS. Manajemen yang efektif ini telah disuarakan oleh banyak negara. Misalnya adalah India yang menyuarakan bahwa perselisihan di LCS merupakan ujian bagi hukum maritim internasional untuk menjaga kebebasan bernavigasi dan akses komersial seperti yang diatur dalam UNCLOS (Jawli, 2016).Â
Selain itu, negara seperti Filipina juga menyuarakan untuk ditegakkannya UNCLOS sebagai instrumen untuk manajemen yang efektif atas perselisihan di LCS (Woods, 2016). Manajemen yang efektif atas perselisihan di LCS dapat dicapai dengan dua cara. Pertama adalah dengan tetap dipertahankannya status quo melalui manajemen dinamika dan eskalasi ketegangan yang baik. Kedua adalah dengan dicapainya kesepakatan resolusi untuk penyelesaian sengketa terkait perselisihan banyak negara atas klaim LCS.
Bagi Indonesia, sangat penting untuk dapat memainkan peran strategis dalam memanfaatkan perselisihan di LCS untuk memperoleh keuntungan dari berbagai kesempatan yang ada. Setidaknya ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia terkait dengan ketegangan di LCS. Pertama adalah peluang ekonomi yang terbuka baik dari arus perdagangan internasional maupun manfaat ekonomi dari China.Â
Terkait arus perdagangan internasional, diestimasikan bahwa nilai perdagangan internasional yang melewati LCS mencapai $5 triliun (Gurung, 2018). Karenanya, Indonesia perlu berperan aktif dalam menjaga stabilitas di LCS karena goncangan dapat memberi dampak ekonomi yang signifikan. Selain itu, China menempati ranking pertama dalam kerja sama ekonomi dan ranking kedua dalam sumber daya ekonomi pada Asia Power Index. Sesuatu yang perlu dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memperoleh investasi dan berbagai manfaat ekonomi lain dari China melalui manajemen diplomasi yang efektif terkait LCS.
Kedua adalah peluang untuk memperkuat peran politik Indonesia sebagai pemimpin di kawasan dengan berperan aktif mendorong manajemen yang efektif terkait perselisihan di LCS. Posisi Indonesia pada dasarnya relatif strategis karena Indonesia merupakan pemimpin tradisional negara-negara ASEAN. Selain itu, posisi Indonesia yang tidak terlibat perselisihan langsung terkait klaim China di LCS membuat Indonesia lebih fleksibel dalam menerapkan strategi diplomasi.
Ketiga adalah peluang untuk menjalin kemitraan pertahanan dengan berbagai negara guna memperkuat kapasitas pertahanan Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan ketegangan di LCS yang telah menyeret negara-negara dengan kapasitas militer besar seperti China, Amerika Serikat dan Jepang. Indonesia dapat meniru langkah Vietnam dengan memanfaatkan perselisihan LCS untuk menjalin kemitraan yang dapat memperkuat militer Indonesia. Sebagai gambaran, kemitraan pertahanan maritim antara Vietnam dan Jepang memuat setidaknya kerja sama keamanan maritim, industri pertahanan dan transfer teknologi (Gurung, 2018).
Dalam rangka mendorong manajemen efektif dalam penanganan perselisihan LCS perlu ada sebuah cetak biru strategi bagi Indonesia agar dapat berperan aktif. Cetak biru strategi ini setidaknya perlu mengandung tiga prinsip. Pertama adalah strategi yang disebut oleh Scholvin dan Wigell (2018) sebagai penggunaan instrumen-instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan geo-strategi atau hasil-hasil geo-politik yang diinginkan. Kedua adalah apa yang disebut oleh Jain (2019) sebagai penggunaan instrumen-instrumen militer untuk melayani kepentingan geo-ekonomi. Ketiga adalah prinsip proposisi menang-menang (win-win propositions) dalam menjalankan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan geo-ekonomi dan geo-politik.
Secara lebih detail, Indonesia perlu untuk menjalankan cetak biru strategi yang penulis beri nama Strategic Smart Move Blueprint. Terdapat tiga basis strategi yang dapat dijalankan oleh Indonesia dalam Strategic Smart Move Blueprint ini.Â
Pertama adalah strategi untuk memainkan peran sebagai pemimpin dalam diplomasi ASEAN terkait perselisihan LCS (lead the diplomacy). Hal ini dapat dilakukan melalui peran aktif dalam menyusun, mengajukan dan mendiskusikan berbagai proposal kebijakan dan proposal resolusi perselisihan LCS di ASEAN maupun mewakili ASEAN dalam perundingan dengan pihak lain.Â
Terdapat dua instrumen yang dapat digunakan untuk basis strategi pertama ini. Instrumen pertama adalah instrumen kelembagaan utamanya ASEAN dan berbagai organisasi internasional lain yang diikuti oleh Indonesia dan berkepentingan di LCS. Instrumen kedua adalah informasional melalui manajemen informasi dan media yang efektif untuk mempromosikan peran Indonesia sebagai pemimpin diplomasi ASEAN untuk isu LCS.
Kedua adalah strategi untuk melakukan penyerapan nilai tambah ekonomi (economic value absorption). Hal ini dapat dilakukan dengan secara aktif menggunakan berbagai instrumen diplomasi ekonomi dengan berbagai negara yang memiliki kepentingan di LCS guna memperoleh manfaat ekonomi bagi Indonesia.Â
Terdapat dua instrumen utama yang dapat digunakan dalam menjalankan basis strategi kedua ini. Instrumen pertama adalah melalui pengembangan tata kelola ekonomi regional (regional economic order) yang menguntungkan bagi Indonesia terkait aktivitas ekonomi di LCS. Instrumen kedua adalah melalui peran aktif mendorong kerja sama ekonomi bilateral yang menguntungkan dengan negara-negara yang berkepentingan di LCS seperti China, Amerika Serikat dan Jepang.
Ketiga adalah memanfaatkan situasi perselisihan di LCS yang melibatkan negara dengan kemampuan militer besar untuk memperoleh peningkatan kapasitas militer (defense smart move). Hal ini dapat dilakukan dengan secara aktif mengajukan berbagai proposal kerja sama militer, utamanya bantuan alutsista dan transfer teknologi, dengan para negara klaiman di LCS.Â
Terdapat dua instrumen utama yang dapat digunakan dalam menjalankan basis strategi ketiga ini. Instrumen pertama adalah melalui kemitraan keamanan praktis (practical security cooperation) dengan negara-negara yang berselisih di LCS. Instrumen kedua adalah adalah melalui diplomasi guna menjaga arsitektur keamanan regional yang tetap stabil.
Indonesia diharapkan dapat menerapkan Strategic Smart Move Blueprint sebagai kerangka kebijakan luar negeri terkait LCS. Diharapkan Indonesia dapat memperoleh tiga manfaat utama baik secara geo-ekonomi, geo-politik maupun geo-strategi dari cetak biru strategi ini.Â
Pertama adalah Indonesia dapat menjadi pemimpin diplomasi ASEAN terkait LCS. Tentunya sekaligus menjadi pemain berpengaruh dalam diplomasi bilateral dengan negara klaiman non ASEAN seperti China serta negara berkepentingan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India.Â
Kedua adalah Indonesia dapat memperoleh manfaat ekonomi dari masuknya investasi dan peningkatan perdagangan dengan negara klaiman dan berkepentingan di LCS utamanya China.Â
Ketiga adalah diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kapasitas militer melalui kerja sama alutsista dan transfer teknologi serta terjaganya arsitektur dan tata kelola keamanan regional di kawasan sekitar LCS.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Buszynski, L. (2012). Chinese Naval Strategy, the United States, ASEAN and the South China Sea. Security Challenges, 8(2), 19-32.
Fravel, M. T. (2011). China's strategy in the South China Sea. Contemporary Southeast Asia, 292-319.
Gurung, A. S. B. (2018). China, Vietnam, and the South China Sea. Indian Journal of Asian Affairs, 31(1/2), 1-20.
Jain, R. (2019). The South China Sea Issue. Indian Journal of Asian Affairs, 32(1/2), 27-48.
Jawli, N. (2016). South China Sea and India's geopolitical interests. Indian Journal of Asian Affairs, 85-100.
Jiang, Y. (2019). Money and Security in the South China Sea: CAN CHINA BUY PEACE?.
Kalimuddin, M., & Anderson, D. A. (2018). Soft power in China's security strategy. Strategic Studies Quarterly, 12(3), 114-141.
Kim, J. (2015). Territorial disputes in the South China Sea: implications for security in Asia and beyond. Strategic studies quarterly, 9(2), 107-141.
Nguyen, P. (2016). Deciphering the shift in America's South China Sea policy. Contemporary Southeast Asia, 389-421.
Nie, W. (2016). Xi Jinping's foreign policy dilemma: One belt, one road or the South China Sea?. Contemporary Southeast Asia, 422-444.
Severino, R. C. (2010). ASEAN and the South China sea. Security Challenges, 6(2), 37-47.
Woods, S. (2016). The Sino-Philippine South China Sea Dispute. American Journal of Chinese Studies, 159-171.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H