Pertama adalah Resolusi Politbiro no. 03-NQ/TW Tahun 1996 tentang pembangunan ekonomi maritim di LCS. Kedua adalah Kebijakan Strategi Maritim Vietnam Menuju Tahun 2020 yang diadopsi oleh Komite Sentral Partai Komunis pada tahun 2017. Ketiga adalah Undang-Undang Hukum Laut Vietnam Tahun 2012 yang memuat kepentingan maritim dan kerangka legal Vietnam di LCS yang disahkan oleh Majelis Nasional Vietnam.Â
Lebih lanjut, bagi Amerika Serikat, tensi terkait LCS dianggap sebagai hal penting untuk mempertahankan supremasi AS di kawasan sekaligus ujian bagi kapasitas militer serta keahlian diplomasi dalam menghadapi kebangkitan China (Kim, 2015).
Ada setidaknya tiga kemungkinan yang dapat terjadi terkait dengan dinamika dan eskalasi di LCS. Kemungkinan pertama adalah adanya berbagai ketegangan namun tidak bereskalasi pada terjadinya perang terbuka antar negara. Kemungkinan pertama ini didorong oleh beberapa latar belakang.Â
Pertama, semenjak pertengahan dekade 1990-an, China menerapkan strategi dengan selalu menunda berbagai resolusi untuk penyelesaian perselisihan terkait LCS.Â
Strategi ini ditujukan untuk mengkonsolidasikan klaim China terkait hak-hak maritim dan yurisdiksi atas laut serta untuk menghalangi negara lain memperkuat klaimnya atas LCS (Fravel, 2011). Hasilnya, strategi penundaan resolusi ini telah mampu mencegah eskalasi ketegangan namun pada sisi lain memperkuat klaim China atas LCS.Â
Selain itu, daya tarik dari manfaat ekonomi yang ditawarkan China juga menjadi determinan yang relatif mampu mendikte perilaku beberapa pemerintah negara Asia Tenggara terkait isu LCS (Jiang, 2019). Beberapa instrumen yang digunakan misalnya adalah megaproyek Belt and Road Initiative serta investasi pembangunan infrastruktur ke berbagai negara Asia Tenggara.
Kemungkinan kedua yang dapat terjadi dari dinamika dan eskalasi perselisihan di LCS adalah adanya ketegangan yang memuncak pada perang terbuka. Ada beberapa dinamika terbaru yang dapat menjadi latar belakang dari kemungkinan kedua ini. Pertama adalah perkembangan kehadiran dari Angkatan Laut China disertasi dengan berbagai misi yang dilakukan di sekitar LCS. Langkah ini diambil oleh China untuk menjustifikasi langkah-langkah asertif guna menekan negara lain, utamanya Vietnam dan Filipina, untuk mengakui kedaulatan China atas LCS (Buzynski, 2012).
Kedua adalah langkah-langkah strategis Vietnam yang menggandeng Jepang sebagai mitra militer strategis di LCS. Jepang telah memperkuat keterlibatan maritim di LCS melalui kemitraan dengan Vietnam untuk menentang proyek reklamasi China di LCS hingga mengirim kapal-kapal patroli guna memperkuat kapasitas maritim Vietnam (Gurung, 2018).Â
Ketiga adalah penguatan kehadiran militer Amerika Serikat melalui repositioning di sekitar LCS dan memperkuat kerjasama keamanan dengan negara-negara Asia Tenggara yang juga memiliki klaim atas LCS (Buzynski, 2012). Perkembangan terbaru memperlihatkan bahwa Filipina telah memberi lampu hijau untuk kehadiran tentara AS yang lebih luas. Berbagai perkembangan yang terkait dengan eskalasi aktivitas militer ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi determinan lahirnya perang terbuka di LCS.
Kemungkinan ketiga adalah berhasil dicapainya manajemen yang efektif atas perselisihan terkait LCS. Manajemen yang efektif ini telah disuarakan oleh banyak negara. Misalnya adalah India yang menyuarakan bahwa perselisihan di LCS merupakan ujian bagi hukum maritim internasional untuk menjaga kebebasan bernavigasi dan akses komersial seperti yang diatur dalam UNCLOS (Jawli, 2016).Â
Selain itu, negara seperti Filipina juga menyuarakan untuk ditegakkannya UNCLOS sebagai instrumen untuk manajemen yang efektif atas perselisihan di LCS (Woods, 2016). Manajemen yang efektif atas perselisihan di LCS dapat dicapai dengan dua cara. Pertama adalah dengan tetap dipertahankannya status quo melalui manajemen dinamika dan eskalasi ketegangan yang baik. Kedua adalah dengan dicapainya kesepakatan resolusi untuk penyelesaian sengketa terkait perselisihan banyak negara atas klaim LCS.