Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Kepentingan Ekonomi Ancaman BCB Salatiga

14 Oktober 2016   09:49 Diperbarui: 15 Oktober 2016   17:43 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerhati Sejarah Kota Salatiga, Eddy Supangkat, memberikan keterangan pers di depan lahan eks bangunan BCB yang telah dibongkar di Jl Pattimura 51 A yang akan dijadikan Ruko Pattimura Centre.(suaramerdeka.com/Surya Yuli P)

Silih berganti bangunan cagar budaya di Salatiga menyusul musnah. Beberapa tahun yang lalu pengelolaan Benda Cagar Budaya (BCB) Salatiga didemo oleh Forum Peduli Benda Cagar Budaya (Forped BCB), menuntut pembangunan mall di lokasi eks Makodim 0714 Salatiga dibatalkan (Suara Merdeka,  16 September 2014).

Baru-baru ini Edi Supangat yang dikenal oleh warga Salatiga sebagai pemerhati cagar budaya, melakukan protes keras terhadap Pemkot Salatiga yang telah merubah bangunan cagar budaya Jalan Patimura No. 51 a, dijadikan ruko (Suara Merdeka, 12 Oktober 2016). Perubahan itu dilakukan pada masa pemerintahan Walikota Yulianto dan Wakil Walikota Muh Haris.

Ada beberapa alasan orang ingin mengalihkan fungsi eks Makodim 0714, rumah eks dr. Muwardi dan rumah Jl. Patimura No. 51 a menjadi pertokoan, pasar modern, karena gedung kuno itu dalam kawasan pengembangan ekonomi, letak strategis, pemilik tidak lagi membutuhkan tanah dan bangunannya, sementara investor yang berminat membangun tidak pro pada cagar budaya, demikian pula kurang pedulinya pejabat Pemkot Salatiga yang memangku BCB untuk melindunginya, karena beranggapan adanya nilai ekonomi,  tanpa memperhatikan nilai sejarah yang dapat diwariskan untuk generasi mendatang.  

Perusakan BCB pada dasarnya dapat disamakan dengan merusak sejarah yang sifatnya non-renewable resources, tidak dapat digantikan dengan yang baru. Keberadaannya diperlukan sebagai saksi sejarah masa lalu, karena tidak semua data sejarah dapat diperoleh dari sumber tulisan. Menghilangkan sejarah BCB identik dengan menghapus ingatan koleftif suatu bangsa. Permasalahan yang sering dijumpai, tidak setiap orang bahkan pejabat pengampu BCB peduli atau berjiwa pelestari budaya.

Kejahatan

Penghilangan jejak cagar budaya dianggap “kejahatan” terhadap karya cipta, dan rasa kebangsaan. Apabila kejahatan itu dibiarkan, dikawatirkan lambat laun dapat mempengaruhi jiwa patriotisme generasi penerus bangsa. Sebab, dalam nilai historis BCB terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat membangkitkan semangat generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap menghargai para pendahulunya, nilai kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur.

Pada hakekatnya BCB dikuasai oleh pemerintah, terikat peraturan dan perundang-undangan. Dikuasai bukan berarti dimiliki, namun secara hukum mengandung konsekuensi diatur pemanfaatannya, sehingga BCB dapat dimiliki oleh masyarakat namun tidak dapat diposisikan sebagai asset pribadi yang sewaktu-waktu dapat dirubah bentuknya. Oleh karena itu Badan Pelestari Pusaka Indonesia memberikan sebutan BCB sebagai pusaka budaya bukan warisan budaya. Dengan menggunakan istilah pusaka budaya, dimaksudkan pemilik dan pemangkunya lebih memahami BCB tidak hanya sekedar warisan dari leluhur, namun ada pemahaman sebagai benda yang harus dijaga dirawat, dan dipelihara.

BCB boleh dihapuskan

Pelestarian BCB merupakan upaya untuk mempertahankan wujud secara fisik baik bentuk, ukuran, warna, dan fungsinya sehingga mendekati pada keadaan semula. Dalam mempertahankan fungsinya perlu memahami pengertian living monument, yaitu BCB yang sampai sekarang masih dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi semula, tetap dapat difungsikan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kelestarian dan pelestariannya, tanpa merubah bentuk dasar bangunan, seperti beberapa BCB yang ditemui di Kawasan Cagar Budaya Jl. Diponegoro dan sekitarnya, dan dead monument yaitu BCB yang saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagaimana fungsi semula, harus dipertahankan tetapi tidak difungsikan seperti kondisi tempo doeloe, contohnya candi.

Pada dasarnya BCB boleh dihapuskan, setelah memperoleh izin dari menteri yang membidangi kebudayaan. Gubernur, bupati dan walikota tidak memiliki kewenangan hukum untuk menghapus, hanya berwenang melakukan pendaftaran. Penghapusan dapat dilakukan setelah melalui kajian yang mendalam terhadap nilai pentingnya, kondisinya, dan alasaan dilakukan penghapusan oleh Tim Ahli Nasional.

Di Salatiga ditemui kasus serupa dengan eks Makodim 0714 pada rumah eks dr Muwardi inventaris bangunan tahun 1900 BCB No 11-73/Sla/115, rumah Jl. Patimura No. 51 a dengan nomor inventaris 11-73/Sla/37. Ada upaya menghapus dan mengalihkan fungsi BCB itu secara perlahan-lahan. Rumah eks dr Muwardi tahun 2012 dirobohkan oleh pembelinya.  Sebelum mereka membeli, pada waktu survei lingkungan bangunan sempat diingatkan oleh Dwi Indah Widowati, penyewanya, pemilik lembaga kursus Be Smart, bahwa rumah itu merupakan BCB sehingga harus dipertahankan keasliannya (SM,1/11/2012).

Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar, pembeli rumah akan mengganti kerugian kepada pemerintah dengan alasan bangunan tidak mungkin dikembalikan seperti semula. Dari kronologi itu terbesit dugaan adanya muslihat, pemilik baru sebelum membelinya sudah mempunyai niat menjual kerangka bangunan dan mengganti bentuk bangunan. Setelah rumah dirobohkan, mereka mengamati reaksi masyarakat. Karena masyarakat bereaksi, mereka menunggu sampai mereda, kemudian secara bertahap berupaya mengalihkan peruntukannya. Cara-cara seperti ini patut diwaspadai.

Acaman Pidana

Pelestarian BCB menghadapi tantangan berat seiring perkembangan jaman. Semakin nyata terlihat pada BCB eks Makodim 0714 dan eks rumah dr Muwardi dan kini rumah Jl. Patimura No. 51 a yang berada dalam RTRW pengembangan kawasan ekonomi. Setiap orang yang sengaja merusaknya diancam dipidana penjara 1 sampai 15 tahun dan/atau denda Rp. 500 juta sd Rp 5 miliar. Bisa dikenakan pidana tambahan 1/3 akibat rusak, musnah, atau hancurnya BCB, bagi masyarakat maupun pejabat yang mengeluarkan perizinan.

Hukuman tambahan bisa juga diberikan untuk mengembalikan seperti aslinya atas tanggungan sendiri terhadap bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaannya. Berlaku pula bagi pejabat pemerintah yang tidak menggunakan kewenangan administrasi, kesempatan, dan sarana yang diberikan oleh undang-undang.

Karena merubah bentuk BCB dilarang, banyak pemilik sengaja membiarkan bangunannya rusak. Di lain pihak ada yang tertarik mengembangkan dengan semangat adaptive reuse. Mampu menjadikan BCB dinamis berdaya guna secara ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pelestariannya, contoh di Salatiga pada Kedai Kopi Merah Putih Jl. Diponegoro.

Apabila lokasi eks Makodim 0714 akan dibangun pusat bisnis, seharusnya tidak merubah bangunan bersejarah, bangunan baru dapat didirikan dibelakang BCB., demikian pula dengan BCB lainnya. Kalau sudah teranjur dirobohkan seperti kondisi sekarang, harus dibangun kembali menyerupai aslinya. Bangunan yang telah dirobohkan harus dikembalikan seperti aslinya atas tanggungannya sebagaimana ketentuan dan ancaman pidana dalam UU No. 11 Tahun 2010 tantang Cagar Budaya, demikian pula untuk BCB eks rumah dr Muwardi, rumah Jl. Patimura 51 a, pembeli atau pemilik baru wajib mengembalikan seperti bentuk semula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun