Mohon tunggu...
Jall Pomone
Jall Pomone Mohon Tunggu... Menulis -

Bahagia Ketika Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setya Novanto di Antara Perseteruan Agung vs Ical

19 November 2017   22:56 Diperbarui: 19 November 2017   23:23 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika ributnya Partai Golkar soal jabatan ketua umum tahun 2016 lalu, antara Aburizal Bakrie dan Laksono Agung, masyarakat seperti disuguhi sebuah permainan politik kepentingan tingkat tinggi. Karena sebagai partai dengan segudang pengalaman dan sudah melahirkan banyaknya politisi di Indonesia yang kemudian menyebar dan dengan pengalaman di Golkar berhasil membuat partai partai baru, maka kegaduhan yang ditimbulkan di tubuh Golkar sangatlah menyakitkan pendukung mereka.

Untuk menghentikan kekacauan tersebut, maka dicarilah seseorang yang dianggap mumpuni dan mampu untuk menjadi penengah sekaligus  bias diterima diantara keduanya jika kemudian menjadi Ketua Umum Gokar. Maka tertujulah kepada Setya Novanto yang saat itu sedang menjabat sebagai Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar.

Melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa Golakr di Bali bulan Maret 2016, akhirnya nama Setya Novanto terpilih sebagai ketua Umum dengan jumlah suara 277 suara mengalahkan Ade Komarudin yang hanya mendapatkan 173 suara. Setya Novanto akan mengakhiri jabatannya hingga 2019 nanti.

Dimulailah perjalanan Setya Novanto yang dianggap masih belum memiliki rekam jejak yang kotor dalam dunia bisnis dan politik di masyarakat, karena belum pernah diberitakan oleh media manapun. Hingga akhirnya pelan namun masyarakat mulai memantau nama Setya Novanto, hingga akhirnya muncul disebuah kasus yang dianggap sangat menjijikkan, ketika rekaman pembicaraan terkait dengan permintaan Setya Novanto untuk bisa mendapatkan saham dari PT. Freeport.

Akhirnya Setya Novanto yang ketika itu menjabat sebagai Ketua DPR RI harus merelakan jabatannya karena berbagai serangan, adanya pengadilan soal kasus minta saham, lalu dilanjutkan masyarakat dengan membuat tagar #PapaMintaSaham, hingga akhirnya berlangsungnya Sidang Majelis Kehormatan Dewan di DPR RI yang membuat Setya Novanto harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR melalui surat kepada MKD yang sedang bersidang.

Akhirnya Setya Novanto sempat adem, ketika masyarakat sudah tidak lagi membicarakan ketika hukuman yang diterima Setya Novanto yang harus meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Namun belum selesai sampai disitu. Ketika munculnya kasus korupsi KTP Elektronik yang ditujukan kepada mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, bola salju E-KTP semakin bergulir, hingga berujung pada beberapa nama anggota DPR RI juga ikut menikmati hingga harus ditahan. Dan lagi lagi, nama Setya Novanto kembali muncul sebagai salah satu tersangka, ketika salah satu perusahaan atas namanya tersangkut dengan E-KTP.

Akhirnya Setya Novanto harus menerima panggilan untuk pemeriksaan, namun selalu gagal karena setiap akan dipanggil untuk diperiksa, Setya Novanto dikabarkan harus dirawat disebuah rumah sakit karena mengalami gangguan kesehatan. Hingga akhirnya KPK langsung mengeluarkan surat penetapan sebagai tersangka. Dan Setya Novanto yang tidak emngindahkan panggilan KPK, terpaksa harus dipanggil paksa ke rumahnya langsung. Namun dari keterangan yang ada, ternyata Setnov tidak berada di rumah.

Bahkan berbagai spekulasi muncul di masyarakat melalui postingan mereka di social media, yang menganggap jika Setnov dan KPK sudah saling bermusyawarah untuk tidak menangkap Setnov. Bahkan ada yang menulis jika keberadaan 30 anggota Brimob yang berada di kediaman Setnov bersama KPK justru hadir untuk menghalangi KPK membawa Setnov. Namun hal itu belum juga begitu jelas kebenarannya.

Juru bicara KPK akhirnya mengeluarkan pernyataan jika Setnov tidak datang ke KPK untuk diambil keterangan serta mempertanggung jawabkan hasil pemeriksaan KPK maka, maka nama Setnov akan dijadikan Daftar Pencarian Orang. Namun netizen sepertinya menganggap jika Setnov saat ini sudah dalam pengawasan sebagai orang yang tidak boleh bepergian keluar negeri. Dikarenakan baik Menkumham maupun Imigrasi sudah mengeluarkan pernyataan jika sampai tulisan ini dimuat, belum diketemukan nama Setnov dalam daftar penumpang yang bepergian keluar negeri.

Persoalannya jika akhirnya Setnov ditangkap, lalu pertanyaannya siapakah yang akan menjadi Ketua Umum Partai Golkar untuk menghabiskan sisa masa jabatan Setnov hingga 2019 nanti. Apakah akan dikembalikan sementara kepada Agung Laksono yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Golkar akan menggantikan Setnov sementara hingga 2019 nanti, jika akhirnya Setnov ditahan karena sudah berstatus sebagai tersangka.

Karena pada bulan September 2017 lalu, beberapa petinggi Partai Golkar sempat mengeluarkan pernyataan akan mencari Pelaksana Tugas Sementara untuk menggantikan posisi Setya Novanto sebagai Ketum Partai Golkar. Namun dibantah oleh Agung Laksono saat itu.

Arah Partai Golkar saat ini memang masih dianggap sebagai bagian dari pemerintah, dimana kebijakan dan arah pemerintahan Jokowi selalu mendapatkan dukungan penuh. Bahkan Agung Laksono sempat mengeluarkan pernyataan jika Golkar sangat puas dan selalu mendukung Jokowi, ketika mengikuti Musda Kosgoro di Nusa Tenggara Barat pada bulan Maret 2017 lalu. Alasannya karena elektabilitas Jokjowi masih sangat tinggi.

Namun sepertinya Setya Novanto dianggap sudah tidak bisa dipertahankan lagi, apalagi kejadian fatal ketika dukungan Golkar kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilkada Gubernur DKI Jakarta lalu, dianggap tidak maksimal, karena banyak anggota dan pengurus Golkar justru tidak mengindahkan partainya untuk mendukung Ahok malah mendukung seterunya Anies Baswedan, seperti Anggota DPR RI Titiek Soeharto yang sampai saat ini masih aman sebagai anggota DPR RI dari Partai Golakr di DPR RI, dan tidak mendapat sanksi apapun walaupun mendukung Anies secara terang terangan.

Setya Novanto dianggap sudah mengkhianati para pendonor Ahok yang sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam pilkada lalu, karena bukan tidak mungkin Golkar juga ikut menikmati dana kampanye yang sudah disiapkan untuk memenangkan Ahok. Dan pastinya jumlahnya tidak sedikit. Maka satu satunya membalas sakit hati itu dengan menghentikan tindakan Setya Novanto yang semakin hari semakin merasa kuat dengan kemunculan di publik. Mungkin rencana Setya Novanto untuk menjadi top leader di Golkar dengan karir politik menjadi petinggi negeri ini harus diwujudkan.

Namun Setya Novanto akhirnya harus dihentikan oleh Tiang Listrik, ketika KPK sibuk mencarinya dengan menjadikannya Daftar Pencarian Orang karena drama penjemputan paksa dikediamannya ternyata tidak berhasil sama sekali.

Kini masyarakat dan anggota Golkar sedang meraba raba siapa ketum mereka yang tepat, yang pastinya sedang digodok dan sedang saling sikut serta saling tanduk dan mungkin juga saling bisik bisik tetangga, namun bukan tidak mungkin Agung Laksono akan muncul dengan gagah beraninya sebagai pahlawan menyelamatkan partai kuning ini, ketika para elit partai Golkar sudah mulai ribut. Namun harapan kepada Idrus Marham yang saya anggap "Akbar Tanjung Junior", sebagai Plt. Ketum Golkar bisa saja menjadi titik balik. Karena bukan tidak mungkin munculnya nama Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto akan semakin membuat runcing masalah.

Idrus Marham adalah salah satu anggota Golkar yang memiliki kepribadian yang cukup unik. Uniknya Idrus Marham karena dari beberapa kali saya bertemu dengan Idrus Marham kesan saya politisi ini cukup kalem, dan sangat mengenalkan saya dengan gaya politik seorang Akbar Tanjung. Bahkan Idrus Marham bisa menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar,merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Dan kesan yang saya dapatkan jika Idrus akan masuk dalam salah satu calon Gubernur Sulawesi Selatan, namun waktunya saya tidak tahu. Karena itu dia perlu seorang Titiek Soeharto untuk langkah berikutnya.

Tapi keberadaan Agung Laksono yang hampir saja menjadikan Golkar sebagai partai terbelah dipucuk pimpinan ketuanya bukan tidak mungkin akan kembali mengambil jabatan tersebut, hanya saja ini perlu moment dan kesempatan yang perlu ditangani bukan dengan cara mudah, karena perlu sebuah "drama" dan biaya yang tidak sedikit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun