Dalam hal pewarisan hukum adat patrilineal maupun matrilinal masih kerap ditemui pembedaan gender yang sangat mencolok. Begitu juga dengan masyarakat penganut sistem patrilineal suku Batak Toba yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja dan kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mendapat warisan sedikitpun kecuali apabila ada kesepakatan bersama dalam suatu keluarga. Masyarakat patrilineal ini menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan “dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga yang dimiliki suaminya.
Makna “gender” dalam adat istiadat suku Batak Toba mengandung pengertian perbedaan antara laki-laki dengan perempuan secara sosial. Kedudukan kaum wanita Batak Toba masih sangat lemah bila dibandingkan dengan laki-laki. Fenomena ini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, namun akibat dari kebiasaan masyarakat hal ini menjadi kebudayaan yang dijaga dengan baik serta tidak boleh dilanggar.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat di lihat dari berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum-hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah di bandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Budaya patrilineal yang sudah merasuki hampir seluruh lapisan kehidupan masyarakat tentu tidak akan bisa dihilangkan begitu saja. Karena pada umumnya mereka terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan yang ditempatkan dalam arena domestik dan kungkungan adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagi profesi-profesi terhormat dalam masyarakat, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Contoh sederhananya mereka harus melahirkan anak, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi keluarga suaminya maupun kelompok kekerabatan ayahnya tanpa ada warisan yang diperoleh kelak dikemudian hari. Berkaca dari fakta tersebut, sudah sepantasnya pada masa sekarang ini pembagian harta warisan secara hukum waris adat Batak Toba dilaksanakan secara sama rata terhadap laki-laki dan perempuan walau ada kemungkinan akan merusak struktur dan falsafah yang telah dipegang erat.
Hubungan yang sub-ordinasi (suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain) dialami oleh seluruh perempuan Batak Toba tanpa pengecualian. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari ideologi patriarki yakni ideologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan sub-ordinasi tersebut.
Hakekatnya dilihat dari sisi hukum nasional, ketentuannya sangat jauh berbeda terutama soal warisan. Tragis memang, di era demokrasi dan emansipasi wanita, hukum adat Batak Toba belum mampu menyelaraskan kesetaraan dan keadilan gender. Bisa dibayangkan, Indonesia yang sudah pernah memiliki seorang presiden wanita sama sekali belum mampu merubah pola pikir masyarakat Batak Toba untuk menaikkan harkat wanita dalam berbagai hal, utamanya dalam adat.
Kedudukan perempuan yang sangat lemah ini harus ditinggalkan sebab bertentangan dengan hak azasi dan jelas merupakan suatu indikasi bahwa adat Batak Toba ini diskriminatif terhadap perempuan. Masalah ini memang sudah sering menjadi sorotan atau topik pembicaraan dalam berbagai seminar atau pembahasan secara resmi. Namun hingga saat ini realisasi untuk perubahan atau pendukung untuk menaikkan harkat wanita belum ada.
Pada hal, kalau dilihat dari kemampuan wanita Batak Toba secara nasional tidak perlu diragukan. Seseorang yang namanya Miranda Gultom, sudah pernah menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kemudian, ada Basariah Panjaitan yang juga merupakan salah satu calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpangkat Irjen atau jenderal bintang dua. Begitu juga dengan nama tenar, Duma Riris Silalahi yang merupakan Runner-Up Putri Indonesia 2007 mewakili Sumatera Utara.
Bila diulas lebih jauh, pembedaan gender sebenarnya sudah tampak sejak suatu keluarga terbentuk. Dalam suatu rumah tangga yang memegang erat budaya Batak Toba secara tradisional, jika mereka tidak mempunyai anak laki-laki mereka akan berusaha selalu memproduksi anak sampai mereka mempunyai anak laki-laki. Karena anak laki-laki itu yang akan menjadi garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka dari itu anak laki-laki sangat istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak laki-laki sangat di “anak emaskan”.
Didalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga, anak laki-laki sangat ditabukan untuk melakukan pekerjaan perempuan, Anak laki-laki hanya disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan belajar. Anak laki-laki walaupun dia masih duduk dibangku sekolah lanjutan tingkat atas kedua orang tuanya sudah mempersiapkan anak laki-lakinya hendak kemana ia akan menempuh hidupnya, misalnya ia akan dipersiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi seperti bangku perkuliahan.
Namun,hal tersebut sangat jauh berbeda dengan anak perempuan. Orang tuanya akan berpikir berkali-kali untuk menyekolahkan anak perempuannya tersebut, karena terkadang ada pemahaman orangtua; untuk apa menyekolahkan anak perempuan sampai tingkat yang lebih tinggi, kalau pada akhirnya si anak perempuan akan dinikahkan dan tidak memiliki pengaruh positif sedikitpun bagi keluarga dalam hal adat.
Perbedaan gender telah banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan psikologis. Laki-laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan yang derajatnya sama. Hanya satu perbedaan diantara perempuan dan laki-laki yaitu perempuan dapat mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki tidak.
Dalam sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba ternyata juga mempengaruhi kedudukan janda yang merupakan anak perempuan. Kedudukan janda menurut adat bertitik tolak pada asas bahwa wanita sebagai orang asing sehingga tidak berhak untuk mendapat warisan, namun selaku istri turut memiliki harta yang dimiliki suami karena adanya ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itulah, janda pada masyarakat Batak Toba ada suatu ketentuan, yaitu apabila janda diintegrasikan ke dalam kerabat suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkahnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut memisahkan diri dari kerabat suaminya, janda tidak akan pernah berhak membawa benda milik suaminya.
Kenyataan yang sangat ironis dalam budaya atau adat Batak Toba, jika seorang perempuan menjadi janda cerai karena kematian suami maupun janda cerai hidup suami, maka dia tidak berhak mendapatkan apa-apa dari harta suami dan harta yang mereka kumpulkan bersama. Dapat dikatakan seorang janda bagi masyarakat Batak Toba sangat menderita, dia tidak mendapat hak warisan dari orangtuanya dan dia juga tidak berhak mewarisi harta suaminya.
Maka dalam kenyataannya, seorang janda cerai karena kematian suaminya maupun janda cerai hidup tidak berhak mendapatkan warisan dari suaminya, hanya sebagai pengguna atau pemakai untuk sumber hidupnya. Harta dari suaminya akan diserahkan kepada anak laki-lakinya jika ada, namun apabila dalam keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki maka warisan akan diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya.
Ideologi Menyalahi Aturan Hukum Konstitusi
Masalah warisan memang selalu enak untuk dikaji, karena tidak jarang masalah hukum yang satu ini menjadi biang kerok rusaknya tatanan ikatan persaudaraan.
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah, uang atau tanah tidak diberikan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair.
Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan. Mereka yang berhak menerima warisan dibagi lagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris.
Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal suatu saat nanti. Ini semua termasuk dibahas mengenai persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa kategori yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.
Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris. Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.
Berdasar uraian diatas, tentu tidak ada alasan lagi bagi suatu keluarga Batak Toba untuk mendiskriminasikan perempuan selama tidak terjerat masalah dalam hukum undang-undang yang berlaku. Pembagian warisan secara absentantio tentu tidak mengenal pembagian warisan berdasarkan gender sehingga sangat cocok untuk menaikkan harkat maupun derajat perempuan suku Batak Toba dalam pembagian warisan.
Sementara pembagian warisan secara testamentair mungkin kurang berpihak pada perempuan karena orangtua maupun alamarhum suami sebagai pemberi warisan tentu tidak ingin melanggar falsafah adat dengan memberikan surat wasiat berisi pemberian warisan kepada anak perempuannya atau istri.
Dewasa ini sistem hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak Toba dalam hak warisan bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini berkaitan dengan peraturan hukum nasional bagi seluruh warga negara Indonesia, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Oleh sebab itu hukum adat Batak tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki–laki dan perempuan adalah sama dalam pembagian warisan. Namun dalam kenyataannya tidak sama, dalam prakteknya yang terjadi anak perempuan tetap tidak pernah mendapatkan harta warisan orangtua maupun almarhum suaminya bagi seorang janda meskipun sudah ada peraturan dari hukum nasional atau konstitusi.
Kedudukan laki-laki dan perempuan Batak Toba sama dalam pembagian warisan sepertinya tidak terlalu kuat meski telah dipertegas pasca Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961. Penerapan amanah undang-undang tersebut belum secara penuh dan bulat menyelesaikan sengketa waris pada adat Batak Toba, apalagi penyelesaian sengketa warisan melalui peradilan negara akan berimplikasi terputusnya hubungan persaudaraan yang sangat kontradiksi dengan falsafah dasar masyarakat Batak Toba Dalihan Na Tolu (DNT); somba marhula-hula (hormat kepada keluarga pihak istri), manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga) dan, elek marboru (mengayomi wanita) .
Pengadilan Negara yang mengadili sengketa harta warisan sejatinya hanyalah terbatas pada harta benda fisik an sich, sementara warisan non fisik tidak pernah tersentuh Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang merupakan hak waris fundamental tradisional berdasarkan kultur budaya Batak Toba. Sehingga pilihan penyelesaian sengketa warisan Batak Toba perlu dipertimbangkan matang, seksama dan hati-hati.
Ideologi Menyalahi Aturan Hukum Agama dan Harapan Kedepannya
Berbicara mengenai hukum adat dan hukum konstitusi rasanya kurang lengkap tanpa menyertakan pandangan dari hukum agama. Masyarakat Batak Toba yang dominan menganut agama Kristen Protestan juga memiliki pandangan tersendiri terhadap pembagian harta warisan. Seperti yang tertulis dalam RPP HKBP (aturan-aturan dalam organisasi keagamaan Kristen Protestan);
1.“Molo naung jumolo amai, maninggalhon ina na mardakdanak marboru, unang ma dibagi-bagi harta warisan molo metmet dakdanak, alai na boido lehonon ni inai panjaeon tu angka gallengna namagodang hombar turingkotna”
yang memiliki pengertian apabila dalam suatu keluarga seorang ayah telah meninggal dunia serta meninggalkan anak laki-laki dan perempuan serta istri, harta warisan hendaknya jangan diberikan kepada anak apabila masih berstatus lajang, namun apabila anak laki-laki maupun wanita telah menikah dan memiliki keturunan hendaknya harta tersebut dibagi rata.
2. “Molo jumolo ama maninggalhon ina nasomaranak so marboru, berhak do inai mamangke harta warisan i saleleng dingoluna jala ndang muli tu nasing”
yang memiliki pengertian apabila dalam suatu keluarga seorang ayah telah meninggal dunia hanya meninggalkan istri tanpa ada keturunan, maka istri yang ditinggalkan berhak untuk memiliki warisan dengan catatan tidak akan menikah lagi.
Dilihat dari pandangan agama tersebut, jelas bahwa pembedaan gender tidak dibenarkan perihal pembagian harta warisan baik untuk anak perempuan maupun janda.
Kembali lagi kepada kenyataan bahwa, walaupun masyarakat Batak Toba adalah kelompok suku yang taat terhadap perintah agama namun menerapkan aturan agama dalam pembagian harta warisan masih enggan untuk dilakukan. Hal itu juga diperparah oleh ciri dari hukum agama yang bersifat tidak tegas karena hubungannya hanya melibatkan manusia dan Tuhan yang Maha Esa.
Singkatnya, ideologi adat Batak Toba dapat kita lihat sebagai paham yang tidak dapat diubah oleh paksaan hukum konstitusi dan hukum agama yang menyangkut hubungan antara manusia dengan sang pencipta setidaknya sampai saat ini.
Melalui Peringatan Hari HAM Se-dunia ke-67 kiranya menjadi suatu momentum untuk menjunjung tinggi hak setiap insan manusia dan yang lebih utama bahwa harapan besar masih ada untuk menaikkan harkat dan martabat wanita Batak Toba dalam adat istiadatnya.
Jayalah Indonesia!!! Selamat hari HAM Se-dunia ke-67!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H