Siapa bilang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi penghalang sebuah daerah untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat? Jika pemerintah daerah memang berniat mensejahterakan masyarakat, maka usaha pengetatan pengeluaran bisa dilakukan dan pengalokasian dana sesuai proporsinya.
Hal ini dibuktikan oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang memaparkan bagaimana kesuksesannya mengelola APBD Surabaya yang tidak banyak supaya bisa memberikan pelayanan yang terbaik. Risma mengaku keuangan pemerintah Surabaya hanya 1/12 dari pemerintah Jakarta.
Namun begitu, ia mengatakan bisa memberikan sekolah dan pelayanan kesehatan gratis. Tak hanya itu, ia juga bisa memberikan makan pada orang kurang mampu sebanyak tiga kali sehari. Juga membayar pengamen untuk bermain di taman kota sebesar Rp 2,5 juta sekali bermain. Untuk melakukan hal tersebut, Risma mengaku melakukan efisiensi pada keuangan.
"Uang kami hanya 1/12 Jakarta, yang kami lakukan membuat organisasi efisien," kata dia saat berkunjung ke BEI, Jakarta, Senin (21/4/2014) (liputwn6.com).
Lalu apa saja yang dilakukan oleh Risma? Risma melakukan efisiensi mengurangi jumlah kelembagaan dan transparansi keuangan. Contohnya dulu lurah jumlahnya 163, sekarang 154. Dari transparansi, ia mengaku bisa menekan biaya dinas dari Rp 19 miliar menjadi Rp 9 miliar. Bahkan biaya untuk beli amplop harus dirinci satu-persatu pada laporan keuangan.
Karena kebijakannya tersebut, Risma mengatakan bahwa
dirinya adalah orang pelit. "Pokoknya pelit saya. Pelit kan demi masyarakat."
Hebat bukan? Pengelolaan keuangan pemerintah dengan efisiensi pengeluaran melalui pengurangan jumlah kelembagaan dan transparansi keuangan adalah cara ampuh untuk bisa mengoptimalkan APBD untuk mensejahterakan masyarakat. Memang terkesan pelit tapi sebenarnya melakukan penghematan dan menghindari penggunaan APBD untuk hal-hal yang kurang tepat.
Sudah jadi rahasia umum bahwa penggemukkan birokrasi merupakan cara bagi kepala daerah untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Jabatan-jabatan yang tidak perlu dibentuk untuk memberikan jatah kepada para pendukungnya ketika melakoni Pilkada. Apalagi hal ini sering dijadikan juga oleh kepala daerah untuk menyediakan dana bagi partainya.
Selain itu, penggunaan biaya dan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah tidak jarang terjadi mark up, atau dengan kata lain, penggelembungan biaya untuk meraup keuntungan. Bahkan tidak jarang ada biaya-biaya fiktif yang membebani APBD.
Melakukan efisiensi dengan melakukan pengurangan atau optimalisasi kelembagaan serta transparansi pengeluaran adalah cara yang tepat untuk membuat APBD dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Sekali lagi, hal ini membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat dibuktikan bukan karena banyaknya APBD atau APBN, melainkan niat sang pemimpin untuk mensejahterakan rakyatnya.
Karena itu, marilah kita dengan jeli melihat siapakah para pemimpin yang punya niatan untuk mensejahterakan rakyat, bukan partainya, keluarganya, dan bahkan perusahaannya. Memilih pemimpin yang siap memberikan segalanya kepada rakyat dengan melakukan optimalisasi birokrasi dan transparansi anggaran. Cara mudahnya adalah dengan melihat kepribadian dan gaya hidup calon pemimpin sebelum mereka menjadi seorang pemimpin.