Mohon tunggu...
Sadewa Putra Palagan
Sadewa Putra Palagan Mohon Tunggu... Editor - Penulis, peminat buku dan film

Saya lahir dari keluarga petani di Pati, Jateng, kemudian hijrah ke Jambi, kuliah di Padang, dan kini tinggal di Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuala Lumpur Love Story (11)

26 Februari 2019   00:04 Diperbarui: 26 Februari 2019   00:10 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kamu selalu berpikir seolah semua gadis yang dekat denganku adalah pacarku. Atau paling tidak kujadikan mainan..." kata Abi.

"Aku tak pernah berpikir begitu. Itu hanya tuduhanmu..."

"Kata-katamu tadi. Nanti di Kuala Lumpur aku akan menemukan banyak gadis dan mungkin ada yang kujadikan pacar..."

"Selama ini, bukankah banyak pacarmu? Berganti-ganti?"

"Apakah selama ini aku menjadikan dirimu pacarku? Bukankah kita sangat dekat dan hampir selalu bersama?"

Dewi terdiam. Ditatapnya mata Abi dengan tajam. Hatinya bergelombang. Antara kesedihan dan kemarahan. Mengapa Abi tega bicara begitu di saat aku akan pergi jauh? Mengapa omongan itu harus keluar dari bibir cowok yang selama ini selalu bersamaku? Selalu kukagumi? Yang membuat aku selalu ingin bersamanya, meski tanpa status pacar atau apapun? Mengapa Abi tega bicara begitu?

Kemudian, katanya, "Karena aku bukan gadis yang pantas menjadi kekasihmu. Karena aku bukan seleramu. Karena aku tak masuk kriteria yang pantas menjadi kekasihmu!"

Dewi berdiri. Gejolak di dadanya tak bisa dibendungnya. Dia sangat ingin, ingin sekali, Abi mengatakan cinta padanya. Seperti yang mungkin dikatakannya kepada banyak gadisnya. Meski dia tahu bahwa tak ada gadis yang lama dipacarinya. Kata Abi, "Mereka bukan kekasihku, hanya pacar". Tak ada yang bisa dijadikan kekasih, menurut Abi, karena kekasih dan pacar itu beda pemahamannya.

Sebelum gadis itu melangkah, Abi sudah memegang lengannya. "Duduklah, nggak enak. Banyak orang yang melihat kita..." Mendengar suara lunak itu, hati Dewi luluh. Dia akhirnya duduk, tetapi dengan wajah ditekuk. Marah, jengkel...

"Aku tak bermasud begitu. Aku berpikir begini. Aku banyak dekat dengan banyak gadis. Anggaplah dia menjadi pacarku. Aku orangnya pembosan, kalau aku tak suka dengan  tabiatnya, tak suka dengan gayanya, tak cocok di beberapa hal, aku langsung memutuskan hubungan kami..."

"Lalu, apa hubungannya dengan aku?" tanya Dewi masih dengan nada jengkel.

Abi menghela napas. Terasa berat, namun setelah keluar, dadanya terasa ringan.

"Dewi yang cantik... Kamu lebih dari cukup dari seorang gadis yang pantas dan cocok menjadi kekasihku. Sangat pantas, sangat cocok, dan kamu adalah gadis terbaik yang pernah kukenal. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Seperti yang kukatakan tadi, aku orangnya pembosan, dengan alasan lain yang kuceritakan tadi. Aku takut, sejujurnya aku tak mau, jika kemudian nanti aku melihat ketidakcocokan tabiatmu saat kita sudah pacaran, dan langsung putus. Itu sangat buruk bagiku. Itu makanya, aku memilih kita menjadi sahabat seperti selama ini. Toh, kalau kemudian aku menemukan hal-hal yang kamu lakukan dan tak sesuai dengan pikiranku, aku bisa langsung bicara padamu untuk mengubahnya, seperti selama ini kulakukan. Dan kita tetap bisa bersama hingga hari ini. Sudah hampir lima tahun ini... Persahabatan, Dewi, itu lebih kekal dari percintaan. Kita sudah membuktikannya..." kata Abimanyu panjang-lebar.

Kali ini Dewi yang mengambil napas dalam-dalam. Dia merasa jengah dan mengalihkan pandangan  ke arah lain. Pada para pasangan yang sedang asyik ngobrol di banyak meja; ada pasangan anak muda yang sangat mesra yang saat ngobrol mereka saling berpegangan tangan di meja; pasangan paroh baya yang ngobrol sambil terus tersenyum di pojok sebelah kanan; tiga anak muda yang asyik bercengkrama dan sebentar-sebentar mereka tertawa di tengah; atau beberapa pasangan yang duduk satu meja di dekat dinding sebelah kiri, agak dekat dengan para barista yang sedang menyiapkan minuman.

"Seperti yang pernah kukatakan dulu mengapa aku harus membedakan antara kekasih dan pacar. Ibarat rumah, pacar adalah rumah kos. Kita hanya menyewa, membayarnya setiap bulan. Jika terjadi apa-apa, atau kita bosan, kita bisa pindah mencari yang lain. Tetapi kekasih berbeda. Dia seperti rumah yang kita beli dengan mencicil. Pelan-pelan dia akan menjadi milik kita selamanya..." kata Abi lagi.

Dewi tetap melihat  ke  arah lain dengan menopangkan dagunya ke sebelah tangannya. Dia mendengar apa yang dikatakan Abi tadi, tapi dia tak menanggapinya. Mengapa di saat besok dia akan berangkat, mereka harus membicarakan hal ini? Kenapa tidak hal-hal yang indah saja yang dibicarakan?(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun