DIA ingat tiga tahun lalu. Saat dia  menempuh tugas belajar dari fakultasnya, dia mengenal gadis itu di di Perpustakaan Negara, di Jl Tun Razak, ketika di luar panas sangat terik dan para petugas sudah berkemas-kemas mau istirahat makan siang.Â
Sejak pagi dia berada di ruang baca --juga ruang yang bisa digunakan untuk menulis-- yang berbentuk lingkaran berdinding kaca, sehingga bisa melihat aktivitas semua orang di ruangan lainnya. Ruang baca berbentuk bulat itu berada di tengah ruangan besar yang berisi puluhan ribu buku berbagai genre.
Gadis itu datang dan kemudian duduk di salah satu kursi di sebelah kanannya ketika dia mau berdiri. Mereka bersenggolan, dan gadis mengatakan "maaf" tanpa melihat ke arahnya. Di tangan gadis itu ada buku Control of Land and Labour in Colonial Java karya Jan Breman. Buku yang membuat dia penasaran karena dibaca oleh seseorang yang jauh dari objek penelitian profesor sejarah asal Amsterdam itu. Setelah itu ia, si gadis, membaca dengan santai tanpa menghiraukan beberapa orang di ruangan itu sambil mulutnya terus mengunyah permen karet.
Karena tak bisa memendam penasaran, akhirnya dia mengajaknya bicara. "Tertarik dengan sejarah Jawa?" tanyanya.
Ia hanya melirik dirinya sejenak tapi tak menjawab apa-apa. Setelah itu ia kembali pada bacaannya.
"Punya darah keluarga dari Jawa atau Indonesia?" tanyanya yang semakin penasaran.
Keyakinannya, melihat profil pada wajahnya, ia gadis Melayu, tak terlihat prototipe Jawa di situ. Atau aku yang salah, yang tak memahami ilmu tentang itu? Dia membatin.
Dia mengumpat dalam hati. Sialan wanita ini. Selama ini tak ada perempuan yang secuek ini ketika  dia sapa. Padahal aku menyapanya dengan baik, tak bermaksud yang aneh-aneh.
Gadis itu menoleh padanya, kali ini dengan pandangan yang sepertinya kurang suka. Lalu, katanya, "Ruangan ini dibuat bukan untuk becakap..." katanya dengan logat Melayunya yang kental.
Beberapa orang yang sebelumnya asyik membaca atau menulis di masing-masing laptop-nya kemudian menoleh padanya. Dia dibuat salah tingkah, juga malu. Dia dibuat mati kutu dengan jawaban ketus itu. Dia kemudian keluar dari ruangan itu dengan hati dongkol dan berharap tak bertemu dengan gadis  itu lagi.
Sepanjang perjalanan di kereta api hingga sampai di flatnya di dekat kampusnya di Selangor, dia merasa menyesal telah bertemu dengan gadis tadi. Dia merasa dipermalukan. Dia merasa telah berniat baik. Bertanya dengan baik-baik. Bicara baik-baik. Berusaha sesopan mungkin. Tapi apa yang didapatkannya? Di depan orang banyak di ruangan itu, dia harus mendapat malu. Kecuali dia bersikap kurang ajar, misalnya menggoda berlebihan, bolehlah dia diperlakukan begitu. Tetapi, bukankah aku bertanya dengan cara yang baik, sesuai adap yang berlaku di Indonesia dan juga berlaku di sini?
Martino, teman seflatnya, bertanya mengapa kepalanya seolah ditekuk sepulang dari Perpustakaan Negara. "Dapat literatur yang kamu cari?" tanya lelaki asal Flores itu.
"Dapat, tapi kecil-kecil," jawabnya mencoba bercanda. Tapi terasa garing.
"Aku serius..." kata Martino lagi.
"Aku juga..." jawabnya.
"Kenapa? Kamu ditangkap police karena kencing di sembarang tempat?" tanya Martino lagi. Masih bercanda.
"Polisi mana berani menangkapku?" balasnya.
Mereka kemudian tertawa.
Dibukanya jaket dan digantungnya di belakang pintu. Dia kemudian rebahan. Martino tetap menunggunya. Menunggu cerita apa sampai dia melihat temannya ini wajahnya terlihat buram sepulang mencari literatur. Namun tak juga keluar cerita itu dari mulutnya. Bahkan, dia malah terlihat tertidur.
Martino menghela napas. Kemudian mengambil sebuah novel yang dibawanya dari Indonesia. Larung, karya penulis feminis, Ayu Utami. Martino kemudian tenggelam dengan cerita tentang kehidupan para pejuang demokrasi bawah tanah semasa Orde Baru berkuasa secara absolut itu. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H