Ramadhan itu bukan sekedar bulan suci nan mensucikan. Tapi ia adalah komoditi industri yang layak jual. Bagi pelaku ekonomi kreatif (insan pertelevisian), Ramadhan ibarat mata uang yang takkan pernah habis terkuras. Karena itu, dalam dua puluh empat kali putaran jarum jam selama bulan puasa berlangsung haruslah dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendulang keuntungan financial.
Bukankah sudah mahfum di negeri ini bila setiap bulan Ramadhan tiba, umat muslim dan non muslim kenyang disuapi oleh tayangan-tayangan yang “berpakaian” Islam. Islam seakan-akan begitu dekat dan mengepung setiap detik kehidupan. Mulai dari bangun sahur hingga nanti menjelang tidur, semua hal yang nampak di televisi senantiasa beraroma Islam.
Pada satu sisi, realitas demikian sangat enak dipandang. Tayangan-tayangan keislaman di berbagai stasiun televisi terasa begitu menyentuh kondisi psikologi keagamaan umat muslim kala menjalani aktifitas puasa. Islam sepertinya tidak lagi hanya berfungsi sebagai bungkus sosial semata layaknya sebelum Ramadhan. Namun sudah merasuk hingga ke dalam diri pribadi masing-masing individu.
Tapi, di satu sisi yang lain, kemeriahan Ramadhan dengan segala macam tayangan dan model promosi iklannya telah melahirkan ruang kesadaran batin baru. Benarkah spirit yang dibangun insan pertelevisian dalam mengkonsep acara-acara islami selama Ramadhan berangkat dari kesadaran untuk berdakwah? Berangkat dari kemurnian niat untuk menyebarkan kebaikan? Berangkat dari satu prinsip nilai yang bersumber dari ajaran Islam? Atau barang kali sebaliknya. Hanya sekedar memanfaatkan moment sosial keagamaan dengan mengusung spirit kapitalisme.
Dugaan ini bukanlah tidak beralasan karena sudah umum di mata masyarakat kalau media massa itu tidak bebas nilai. Ia sarat dengan kepentingan. Satu dari sekian banyak kepentingan yang kemudian menjadi bahan pertimbangan eksistensi media dalam menyajikan tayangan adalah kalkulasi untung rugi. Mulai dari keuntungan dan kerugian yang sifatnya ekonomis hingga yang beraroma politis.
Sihir Televisi
Pada tataran kulit luarnya, puasa memang nampak sebagai ibadah fisik dan hadir pada bulan Ramadhan an sich. Tapi, pada level yang lebih substansial, puasa tidak berhenti untuk sekedar tidak makan minum dari terbit matahari hingga senja hari sebagaimana makna tekstualnya. Ia bukan sekedar olah badan dengan terapi lapar dan haus. Namun juga olah jiwa dengan konsep ajaran menahan. Artinya, yang berpuasa jangan hanya perut dan alat kelaminnya saja, tapi seluruh onderdil tubuh harus juga ikut berpuasa termasuk hati dan pikiran.
Kesadaran spiritual macam ini ternyata juga didukung oleh insan pertelevisian. Ada banyak sekali program acara yang berorientasi untuk membangun pemahaman tentang puasa yang lebih utuh. Mulai dari siraman rohani menjelang buka puasa sampai pada acara-acara model talk show dengan nara sumber yang pengetahuan agamanya mumpuni. Semuanya memang sangat bagus untuk menampah bekal pemahaman.
Namun pada saat bersamaan, televisi juga menyajikan pemandangan dilematis. Di saat umat muslim sedang berpuasa, dikala sedang menempuh metode hidup menahan, umat muslim malah berada dalam kepungan “godaan” untuk melampiaskan keinginan yang bersifat konsumtif. Anehnya lagi yang menciptakan dorongan untuk melampiaskan itu bersumber dari televisi juga.
Iklan makanan, minuman, pakaian dan sebagainya begitu deras mengalir ke hadapan pemirsa. Seakan-akan orang yang berpuasa “wajib” hukumnya buka puasa dan makan sahur dengan ini itu seperti yang diiklankan. Belum lagi bila menjelang Idul Fitri nanti. Kemasan iklan begitu lihai merayu umat muslim agar ketika lebaran harus memiliki apa saja seperti yang ada di televisi.
Sungguh, televisi tak ubahnya tukang sihir yang setiap mantranya mampu menyihir pemirsa. Dan anehnya, para pemirsa tidak sadar kalau sedang disihir oleh tayangan televisi. Efek nyata dari tebaran iklan ini bisa dilihat dari geliat tingkat konsumsi umat muslim yang melonjak drastis justru di saat sedang menjalani ibadah puasa. Jumlah makan berkurang tapi biaya makan malah tambah besar. Aneh memang, tapi inilah realitas sosial keagamaan umat muslim di negeri ini.
Potret pengaruh sihir tayangan televisi semakin nampak nyata seiring dekatnya waktu lebaran tiba. Selain perputaran uang semakin deras mengalir, beragam model pakaian seperti yang dipakai oleh kalangan selebritis menjadi barang dagangan laris manis. Banyak orang tergoda untuk membeli baju seperti yang diperagakan oleh para artis yang mereka tonton di televisi. Adapun puncaknya, dikala Idul Fitri nanti, umat muslim di tanah air bukan sekedar menjalankan ritual tahunan untuk silaturrahim, tapi disadari atau tidak sebenarnya sedang terjadi ajang fashion show.
Di balik kenyataan ini, benarkah kesucian Ramadhan telah bisa dicicipi oleh umat muslim dengan metode puasanya? Bukankah sudah lumrah terjadi di masyarakat bila Ramadhan lebih dimanfaatkan sebagai media industrialisasi dan sarana konsumsi massif ketimbang diolah menjadi tarikat pendakian spiritual. Bukankah kita tidak bisa menutup mata kalau Ramadhan lebih sering diperalat untuk menambah sumber pendapatan dari pada sebagai moment mengolah kesucian jiwa. Tapi, ini sekedar satu sisi dari wajah Ramadhan. Karena pada sisi satunya, ada banyak umat muslim yang sedang berpuasa menjadikan Ramadhan sebagai sarana untuk menyucikan diri dari beragam najis yang menempel di comberan hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H