Mohon tunggu...
Pak Syam
Pak Syam Mohon Tunggu... Auditor - Pegiat Keayahan

Appraiser Bisnis, Pegiat Keayahan, Direktur Klaten Family Center (Klaten FC) dan Founder Komunitas Ayah Hebat

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Hari-Hari Titip Anak

15 Agustus 2023   10:22 Diperbarui: 15 Agustus 2023   11:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, sibuk kerap bergandeng tangan dengan lelah. Bahkan kesibukan dan kelelahan tak jarang diidentikkan sebagai sahabat karib yang selalu seia-sekata. Runtang-runtung kemana-manalah, kalau istilah tetangga saya.

Begitulah setidaknya pikiran umum yang berhasil saya tangkap kemarin malam, pas yasinan almarhumah salah satu warga RT kami. Pulang yasinan saya pikir-pikir ulang, benarkah kesibukan identik dengan kelelahan ?

Tetiba pikiran saya mendadak berubah menjadi cerdas. Dia melontarkan buah pikiran yang sangat bagus. Dia bilang begini; kesibukan sebenarnya tidaklah identik dengan kelelahan. Karena kesibukan bukanlah subjek, tapi dia hanya sekedar objek. Dia bukan penentu efek, tapi dia sekedar objek belaka. Segala efek bukan berada di tangan dia, tapi bergantung si subjek.

Opo iki maksudnya he he he

Maksudnya kira-kira begini; kesibukan yang menyebabkan tubuh kita kelelahan itu tidak bersifat otomatis. Lelah atau tidak itu piliham. Setelah bersibuk-sibuk ria, sebenarnya kita bisa memilih untuk lelah atau malah milih badan yang segar. Semua tergantung pikiran kita.

Meski sama-sama orang sibuk, yang satu kelelahan yang satunya malah tambah segar. Gitu kah maksudnya ?

Iya kira-kira begitu. Malah ada orang bijak di awal abad pertama hijriah dulu yang bilang bahwa istirahat terbaik adalah bekerja.

Hah apa ?

Istirahat terbaik adalah kerja ?

Ini bukannya mencerahkan, jawabannya malah membingungkan khalayak ramai !

Terlepas dari itu semua saya memiliki pengalaman sibuk tapi tidak lelah. Inilah perwujudan yang nyata dari kesibukan yang tidak menimbulkan kelelahan itu. Pengalaman ini boleh ditiru, tapi tidak harus selalu ya. Ingat ambil baiknya tinggalkan yang buruk he he he

Kesibukan yang saya maksud terkait dengan anak. Begini kurang lebih penjelasannya. Tahun ajaran baru adalah hari-hari sibuk bagi keluarga. Sibuk bagi anak, sibuk bagi ibu juga sibuk bagi ayah. Semua sibuk di lini masing-masing, sesuai porsinya.

Terlebih bagi keluarga dimana anaknya ada yang memasuki pendidikan jenjang baru. Baik dari tingkat sekolah dasar ke tingkat sekolah menengah, dari sekolah menangah pertama ke tingkat menengah atas. Lebih-lebih jika memasuki jenjang pendidikan tinggi.

Tahun ini keluarga kami mengalami lagi. Saya perlu menambahkan diksi "lagi" karena ini adalah momen yang ke empat. Setelah tiga kali kami mengalami kesibukan serupa, kini anak ke empat kami tengah menjalaninya.

Beberapa pekan ini saya menyaksikan kesibukan si sulung ini. Sebagai calon mahasiswa baru dia sibuk ngurusi diri terkait dengan apa yang mesti disiapkan agar dia nanti di kampus gak mati gaya. Minimal tidak ketinggalan mode dari kakak tingkatnya. Maklum ini jenjang pendidikan baru, tempatnya baru, suasananya baru kawan dan gurunya juga baru. Bahkan sebutan guru bukan pak guru atau ibu guru lagi, tapi sudah berubah menjadi pak dosen dan bu.

Dan terutama perubahan pikiran bahwa aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa, jangan diawas-awasi lagi, jangan disuruh-suruh lagi, jangan diceramahi lagi karena aku sudah bisa mandiri. Begitulah kesibukan jiwa dan raganya dalam dua pekan terakhir. Saya bayangkan betapa Ge-eR nya dia memandang dirinya. Saya mahasiswa nih ...senggol dong !!!

Uminya gak mau kalah, dia langsung siaga satu. Dia bikin daftar kebutuhan si buah hati selama di sana. Papan, sandang, pangan, transportasi dia pastikan dalam kondisi yang aman terkendali. Dia memang tergolong makhluk yang paling gak betah untuk ikut cawe2. Gatel tangannya kalau diam. Seterika, bantal, sprey, keset, gallon air adalah deretan barang wajib yang dia siapkan. Biasalah emak2

Lah saya sebagai ayahnya ngapain ? Kayaknya tadi semuanya sudah diberesin sama stake holder masing-masing. Urusan performaa si anak sudah sibuk sejak beberapa pekan lalu, urusan logistic selesai di tangan uminya.

Aha ...ada satu hal penting yang masih kesingsal. Apa itu ?

Lalu saya sibuk kontak sana-kontak sini. Saya mencari kontak ke beberapa rekan yang mungkin bisa saya titipi anak saya. Lah si ayah malah sibuk titip ?

Sebagai ayah saya mau enaknya sendiri ? Anak sendiri malah dititipin ke orang lain ?

Bukan gitu bos. Tapi saya sedang mengamalkan sunah orang-orang shalih terdahulu.

Mengamalkan sunnah orang shalih terdahulu ?

Iya keren kan ?

Coba buka sejarah orang-orang besar jaman dahulu di mana mereka biasa menitipkan anak-anaknya kepada orang shalih di jamannya. Karena meski beliau-beliau sudah bergelar ulama tetapi masih ada ilmu lain yang belim belia kuasai. Ilmu tersebut adanya pada ulama fulan dan fulan.

Lah kalau sekelas ulama saja masih melakukan hal itu, apatah saya sebagai ayah dhoif yang miskin ilmu dan pengalaman serta fakir amal dan keshalihan. Wajib hukumnya untuk mencontoh beliau-beliau itu. Inilah kesibukan yang tidak menimbulkan kelelahan itu he he he ...

Bagi kami yang orang Klaten, Kota Semarang tak ubahnya "wadin ghoiri dzi zar'in" bagi keluarga Ibrahim di masa lalu. Sebuah lembah yang tak berpepohonan. Maka nabi Ibrahim memerlukan penyiapan khusus bagi tempat baru ini sebagai tempat mukim bagi ismail, anak semata wayangnya.

Alhamdulillah setelah melalui kontak sana-kontak sini akhirnya kami menemukan sebuah tempat kos yang representative bagi pengembangan dirinya. Tempat ini, secara fisik mungkin tidak ada yang istimewa, tapi dari sisi penghuninya saya meyakini mereka adalah para kakak tingkat yang layak untuk menjadi teladan bagi adik-adiknya.

Dan tentu saja mereka bukanlah kakak tingkat yang ujuk-ujuk menjadi kakak tingkat yang baik, namun tentu mereka memiliki mentor-mentor kebaikan yang membinanya sehingga sekarang mereka menjadi kakak tingkat yang baik hati, tidak sombog, shalih, intelek, aktif berorganisasi, memiliki skills leadership yang memadai, ramah, dan solutif bagi persoalan sekitar. Disinilah kami menitipkan anak kami. Tak lupa secara khusus saya menitipkan pada sahabat saya.

Begitulah pelajaran yang saya petik dari para ayah shalih di sepanjang jaman. Para ayah yang memiliki kebiasaan menitipkan anak-anaknya pada orang-orang shalih. Itulah kesibukan saya beberapa pekan ini, sebuah kesibukan yang tidak memiliki efek kelelahan sama sekali. Bikin bugar malah.

Terima kasih untuk para kating. Titip adik baru ya he he 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun