Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Cinta Itu Harus Berurai Air Mata?

28 Desember 2021   11:28 Diperbarui: 28 Desember 2021   11:41 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mula-mula kami bertemu tanpa sengaja. Ketika itu dia kehilangan kunci motornya. Wajahnya yang sekilas manis itu, tampak merengut. Setelah menimbang dengan cepat, saya menghampirinya. 

"Eh, ada yang bisa saya bantu?" Ujar saya dengan suara yang cukup buruk. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu.

Dia melihat saya. Lalu seperti sudah kenal bertahun-tahun, dia menceritakan masalahnya pada saya. Lengkap.

Pertama dia kehilangan kunci motor. Kedua dia memang memiliki kebiasaan serupa, sering kehilangan kunci. Bahkan katanya, hari itu saja sudah tiga kali ia harus menderita gara-gara kehilangan kunci.

"Kalau kamu tidak tergesa-gesa, duduk sebentar saja di sini" ujar saya sembari menunjuk kursi panjang yang tepat berada di dekat saya.

Ternyata ia menurut saja pada ide saya. Ia melangkah, tetap dengan wajah kesalnya, lalu duduk. Saya juga ikut duduk di sebelahnya. 

"Maaf. Kadangkala semakin kita bernafsu mencari sesuatu, justru yang kita cari itu malah tambah tidak ketemu. Saya tidak tahu ini mitos atau apa, tetapi saya sering menerapkan hal demikian."

Dia mengangguk. Lalu melihat jam tangannya. Mengambil gawai di tasnya. 

"Maaf. Aku Anjali terlambat hari ini. Biasa, aku kehilangan kunci lagi. Sekali lagi maaf. Salam sama Abi"

Saya menyodorkan air mineral dalam kemasan botol. Sepertinya ia nampak terkejut. Lalu menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Persis seperti dugaan saya, ia segera membuka tutup botol itu. Lalu mengucap "Bismillah" dan meneguknya.

"Ah maaf. Sebelumnya kita tidak pernah ketemu kan ya? Aku Anjali. Aku ke sini untuk menebus obat mama."

Seperti dalam sinetron, saya mulai memperkenalkan diri. Bicara ini. Bicara itu. Lalu tertawa pada saatnya tiba.

Hingga tiba yang saya harapkan. Dia menjerit ketika tanpa sengaja menyentuh kunci motor di dalam tasnya. Saya tertawa.

Pertemuan kedua kami juga seperti sudah ditakdirkan.

Sore itu saya harus berputar-putar di kompleks X. Aplikasi penunjuk arah di gawai sepertinya punya siasat untuk menipu saya. Saya sudah sesuai arahannya. Tetapi justru kuburan yang saya dapat. 

Tampak satu keluarga berada di pusara yang kelihatannya masih baru. Maksudnya, salah seorang dari keluarga mereka ada yang meninggal. Eh, mungkin wafat tepatnya. 

Ketika saya hendak putar balik, saya melihat wajah itu. Tak salah lagi. Anjali. Matanya sembab. Ia dipapah seorang laki-laki. Karena situasinya tidak begitu tepat, saya memilih untuk memandang ke arah lain.

"Maaf, bisa antar adik saya Mas?"

Saya terkejut. Tiba-tiba saja perempuan yang masih terisak itu sudah ada di motor saya. Di susul laki-laki itu.

"Lurus saja, nanti di sebelah mushola belok kanan"

Saya langsung mengikuti arahan itu. Tidak jauh. Namun jika harus memapah seoerang gadis yang sepertinya tidak puny kekuatan untuk berjalan, susah juga.

Lelaki itu turun. Disusul adiknya. Lalu saya tanpa diduga juga ikut turun. Setelah memarkir motor saya ngumpul di beranda. Beberapa orang bercakap-cakap tentang anggota keluarga yang baru saja tiada.

Saya menyalami mereka satu-persatu. Tentu saja mereka tidak ambil pusing siapa saya. Mungkin mereka menebak jika saya saudara tuan rumah. Dalam kondisi demikian, siapa yang peduli.

"Kemarin masih jalan-jalan sama Anjali. Sore hari. Menyapa saya."

"Mendadak sekali ya Budhe pergi"

Banyak lagi perbincangan yang saya dengar. Hingga saya bisa simpulkan, jika yang tiada mamanya Anjali.

Ketika saya mau meneruskan perjalanan, Anjali keluar. Menemui saudaranya di beranda. Ketika matanya menatap saya, ada keterkejutan di sana.

Tidak ada yang bisa saya perbuat. Saya hanya tersenyum kikuk. Sekilas, walaupun lemah, saya menangkap senyum getir Anjali. Saya menyalaminya. Menyampaikan dengan tulus duka yang dirasakannya.

Sejak itu, Anjali seperti telah menetap dalam kepala saya. Matanya yang sembab, senyum getirnya membayang dalam hidup saya. Karena saya tidak kuat menahan beban yang baru pertama saya alami itu, saya menyerah.

Kurang lebih dua pekan setelah pertemuan di rumahnya, saya memutuskan untuk mengunjunginya. Namun, saya hanya bisa merutuki kebodohan saya. Kenapa harus menunggu lama untuk menemuinya. 

"Seminggu lalu pindah Mas. Ini rumah kontrakkan. Sepertinya ke Makassar. Itu yang saya dengar"

Sepanjang jalan saya tidak bisa lagi menahan kesedihan. Saya menangis sejadi-jadinya. Beberapa pengendara melihat saya dengan heran. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang tertawa. Tapi yang jelas, saya tidak peduli. Air mata sialan ini semakin menjadi-jadi. Meruntuhkan kewarasan.

Temu, 28/12/21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun